Penulis: Mario Martins
Editor: Andriano Bobby
HIV tidak hanya dapat menyerang orang dewasa, bayi pun bisa terinfeksi virus ini. Sebagian besar bayi tertular virus melalui ibunya yang positif HIV. Penularan kepada bayi bisa terjadi saat masih dalam kandungan, proses persalinan, dan menyusui.
Walaupun konsumsi ARV memiliki efek samping yang cukup mengganggu bagi sebagian orang, namun hal itu tidak sebanding dengan manfaatnya yang jauh lebih besar. Jika Ibu hamil yang memiliki HIV mengonsumsi ARV dengan rutin dan teratur, maka virus di dalam tubuhnya akan tersupresi sehingga mencegah penularan kepada bayi.
Baca Juga:
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, hingga September 2019 ini sudah terdapat 910 anak berusia kurang dari 4 tahun yang terinfeksi HIV, atau sebanyak 1,8% dari total jumlah kasus HIV di Indonesia.
Penularan itu seringkali disebabkan oleh banyaknya ibu hamil yang tidak mengetahui bahwa dirinya memiliki HIV dan mereka tidak pernah menggunakan antiretroviral (ARV), obat untuk menurunkan virus dalam tubuh. Padahal ARV sangat penting dikonsumsi agar penularan infeksi HIV pada bayi bisa dicegah sejak masa kehamilan.
Mengetahui status HIV sejak awal pada ibu hamil juga sangat penting agar bayi yang dilahirkan dari ibu yang terinfeksi HIV akan langsung mendapat upaya pencegahan penularan HIV dari Ibu ke anak. Cara yang dilakukan adalah dengan memberikan profilaksis ARV pada bayi hingga enam minggu.
Pencegahan Penularan dari Ibu ke Anak (PPIA) merupakan bagian dari Program Nasional Pengendalian HIV dan AIDS serta IMS. Kegiatan PPIA dilakukan dengan komprehensif pada ibu hamil dan bayinya, yang dilakukan selama masa kehamilan, persalinan, dan sesudahnya. Intervensi yang dilakukan berupa pelayanan kesehatan ibu dan anak yang komprehensif, layanan testing dan konseling, pemberian obat antiretroviral (ARV), konseling tentang HIV dan makanan bayi, serta pemberian makanan bayi, dan persalinan yang aman.
Ibu hamil yang memiliki HIV harus patuh mengonsumsi ARV dengan rutin dan teratur. ARV sudah terbukti aman dikonsumsi oleh ibu hamil sehingga tidak perlu timbul kecemasan yang berlebihan terkait hal-hal yang diangap mengganggu janin apabila mengonsumsi ARV.
Hanya saja, hal yang sering terjadi adalah beberapa orang dengan HIV terkadang merasa tidak tahan dengan efek samping dari mengonsumsi ARV. Mereka tidak tahan dengan efek mual, pusing, hingga halusinasi. Hal tersebut sebenarnya tidak perlu dikhawatirkan karena efek samping itu hanya dialami pada awal-awal konsumsi ARV saja dan tidak berdampak serius terhadap perkembangan janin maupun kondisi fisik orang yang mengonsumsi ARV.
Walaupun konsumsi ARV memiliki efek samping yang cukup mengganggu bagi sebagian orang, namun hal itu tidak sebanding dengan manfaatnya yang jauh lebih besar. Jika Ibu hamil yang memiliki HIV mengonsumsi ARV dengan rutin dan teratur, maka virus di dalam tubuhnya akan tersupresi sehingga mencegah penularan kepada bayi.
Proses persalinan pada ibu yang memiliki HIV sebaiknya dilakukan dengan cara normal. Namun persalinan dengan cara operasi caesar dapat dilakukan setelah berkonsultasi dengan dokter dan yang pasti tidak putus mengonsumsi ARV serta memiliki jumlah virus yang tersupresi.
Pemantauan kondisi bayi dilakukan semenjak bayi baru lahir. Bayi yang lahir dari ibu dengan HIV akan diberikan profilaksis ARV selama enam minggu sebagai bentuk pencegahan penularan HIV pada bayi. Untuk mengetahui apakah bayi positif HIV atau tidak, dilakukan pemeriksaan PCR yang disebut early infant diagnosis (EID). Tes untuk mendiagnosis bayi dan anak di bawah 18 bulan adalah DNA polymerase chain reaction (DNA-PCR) baik dengan dry blood spot (DBS) maupun whole blood sample (WBS). Pemeriksaan pada bayi baru bisa dilakukan setelah enam minggu dari kelahirannya.
Jika bayi tidak memiliki HIV, penggunaan profilaksis ARV akan dihentikan dan dapat diberikan imunisasi seperti bayi lainnya. Namun bayi harus tetap diperiksa hingga berusia 18 bulan. Kalau status bayi negatif setelah usia 18 bulan, maka bayi sudah pasti tidak memiliki HIV.
Jika bayi positif HIV, bayi akan langsung diberikan ARV dalam bentuk cair. ARV untuk bayi, balita, hingga anak-anak adalah ARV berupa tablet cair yang dilarutkan. Pemberian ARV pada bayi juga tidak sama dengan dosis orang dewasa, yaitu sesuai berat badan bayi atau anak tersebut. Pengobatan HIV pada bayi ditangani oleh dokter anak, bukan dokter umum hingga mereka beranjak dewasa. Setelah dewasa, mereka harus mengonsumsi ARV dalam bentuk pil seumur hidupnya.