Penulis: Mario Martins
Editor: Andriano Bobby
Aku dibesarkan di negara di mana jika kamu hidup dengan HIV, kamu akan dianggap sekarat, seakan-akan ajal akan segera menjemputmu. Ini adalah negara di mana ODHIV tidak akan mau mengungkapkan status HIV mereka karena takut menjadi bahan tertawaan masyarakat dan di mana mereka dianggap aib bagi keluarganya. Dengan kata lain, membicarakan HIV itu tabu. Jadi, orang akan bertanya kepadaku bagaimana aku memiliki HIV di usia yang sangat muda?
Beginilah ceritanya.
Pada titik tertentu, aku memutuskan untuk berbagi cerita dengan beberapa teman dekat, dan aku memberi tahu mereka bagaimana caraku untuk bisa terus bertahan. Tidak semua dari mereka menanggapi dengan cara yang sama. Aku sempat kehilangan beberapa teman selama proses kesaksian hidupku.
Baca Juga:
Orang tuaku menyadari bahwa aku HIV positif ketika aku berusia lima tahun. Saat itu aku jatuh sakit dan dirawat di rumah sakit tempat aku didiagnosis menderita meningitis yang hampir merenggut nyawa. Pada saat itu, aku masih terlalu muda untuk memahami apa yang terjadi. Aku mulai minum ARV pada usia lima tahun dan memeriksakan diri setiap bulan.
Aku harus bolos sekolah setiap bulan dan karena tidak mengerti apa yang sedang terjadi, aku selalu bertanya ke Ibu kenapa kami pergi ke rumah sakit setiap bulan dan dia akan memberi tahu bahwa aku memiliki masalah gigi. Sejujurnya aku percaya padanya meski tidak pernah ada pemeriksaan gigi setiap ke rumah sakit.
Ketika aku kelas 5, seorang teman yang orang tuanya mengenal ibuku, memberi tahu semua orang di sekolah bahwa aku positif HIV. Beberapa temanku yang lain menceritakan apa yang telah dia katakan. Pada saat itu, aku tidak terlalu mengambil pusing omongan mereka karena hal itu tidak menggangu kepercayaan diriku.
Saat itu aku berpikir, bagaimana seorang gadis dengan tubuh sehat seperti ini bisa terinfeksi HIV positif? Kondisi kulitku yang bersih tidak tampak seperti orang yang memiliki HIV. Aku berpikir seperti itu karena di lingkunganku, ada anggapan bahwa jika seseorang terlihat kurus dan penuh jerawat, orang akan berpikir bahwa mereka itu HIV positif.
Pada hari itu, aku pulang dan bertanya kepada bibi apa benar yang aku dengar di sekolah tentang kondisi tubuhku. Dia tidak menjawab dan sebaliknya, memberi tahu ibuku, yang dari reaksinya sudah menjelaskan segalanya untukku.
Begitulah caraku mengetahui bahwa aku hidup dengan HIV positif. Semenjak itu keadaan pun berubah. Aku mulai berjuang dengan diriku sendiri dan orang-orang di sekitarku. Aku terkadang merasa tidak berharga, tidak berguna, jelek dan aku tidak pernah mengerti mengapa Tuhan memberiku HIV di usia yang begitu muda.
Aku punya ribuan pertanyaan yang tak terjawab pada alam semesta. Aku menyimpan begitu banyak emosi yang dalam untuk waktu yang sangat lama. Hal ini kemudian menyebabkan gejolak dalam diriku sehingga menimbulkan pikiran untuk bunuh diri, kecemasan, dan depresi selama tiga tahun.
Selama periode kelam itu, aku belajar banyak tentang virus ini dan tentang diriku sendiri sehingga membentuk diriku untuk menjadi lebih kuat. Meskipun aku merasa hancur, aku berhasil meyakinkan diriku bahwa aku lebih besar dan lebih berdaya dari HIV yang ada di dalam tubuhku. Aku pun selalu mengingat bahwa diriku sangat berharga. Aku berniat membagikan kisah hidupku untuk didengar semua orang. Keyakinan yang membuatku untuk terus bertahan adalah, jika bukan aku yang memulainya, lalu siapa lagi?
Pada titik tertentu, aku memutuskan untuk berbagi cerita dengan beberapa teman dekat, dan aku memberi tahu mereka bagaimana caraku untuk bisa terus bertahan. Tidak semua dari mereka menanggapi dengan cara yang sama. Aku sempat kehilangan beberapa teman selama proses kesaksian hidupku.
Meskipun demikian, aku terus melanjutkan apa yang telah aku mulai, menceritakan kisahku sehingga membuatku lebih kuat menghadapi stigma dan diskriminasi terkait HIV.
Stigma dan ketakutan yang aku hadapi membuat diriku menjadi tegar. Aku bertekad bahwa pada suatu hari nanti aku akan berkata, aku siap memberi tahu dunia tentang perjalanan hidupku dengan HIV.
Aku menyadari bahwa hidup dengan HIV bukanlah akhir dari sebuah kehidupan, bukan berarti membuat kamu menjadi pribadi yang lebih rendah. Hidup dengan HIV tidak menentukan perjalanan hidupmu, jadi jangan biarkan hal itu menjadi penghalang.
Sebaliknya, kamu harus membuatnya menjadi lebih berarti bagi sesama.
(Tulisan ini merupakan saduran dari artikel yang dimuat di situs web aids2020.org yang berjudul: San Francisco and Oakland Youth Force (SFOYF), STORIES OF RESILIENCE – The Truth about Living with HIV, oleh Adelaide Hamese).