Photo by @rawpixel.com from Freepik
Namaku Defa, usiaku 29 tahun, lahir dan besar di Jakarta. Ini adalah kali pertama aku menceritakan hidupku sebagai ODHIV setelah sebelumnya aku pernah menulis kisah perjalananku melela (coming out) yang aku tulis untuk media asing.
Aku sempat terdiam dan berpikir, “Apakah ini sudah waktunya? Apakah ini keputusan Tuhan memberikan hukuman ini kepadaku?”
Baca Juga:
Sabtu 2 Januari 2021 adalah hari saat aku mengetahui statusku sebagai ODHIV melalui tes rapid VCT (Voluntary Counseling and Testing), tes yang dilakukan untuk mengetahui status HIV dan dilakukan secara sukarela serta melalui proses konseling terlebih dahulu. Tes ini menggunakan alat portabel yang bisa dibawa dan digunakan di mana saja dengan mudah dan cepat yang memiliki tingkat keakuratan hingga 98%.
Pada saat itu aku melakukan tes didampingi oleh seorang pendamping dari sebuah yayasan yang aku kenal dari hasil rekomendasi temanku karena pada hari itu klinik tempat aku biasa melakukan VCT masih tutup libur Tahun Baru. Aku sangat gelisah karena sudah lebih dari 3 bulan belum melakukan tes kembali dan aku cukup khawatir untuk melakukan hubungan seks jika belum mengetahui status HIV terbaruku. Aku menunda berhubungan seksual hingga mendapatkan hasil VCT yang terbaru.
Karena tes rapid VCT ini masih terbilang memiliki beberapa persen tingkat keraguan pada hasilnya, dibutuhkan tes konfirmasi di laboratorium klinik untuk hasil yang valid. Dua hari kemudian aku melakukan konfirmasi tes VCT di laboratorium salah satu klinik di Jakarta yang baru buka setelah libur Tahun Baru 2021. Hasil tes konfirmasi yang keluar menunjukkan hal yang sama, yaitu reaktif.
Sebelumnya aku masih menaruh harapan pada hasil dari konfirmasi tes laboratorium ini, berharap menerima hasil non-reaktif. Namun kenyataan berkata lain. Aku sempat terdiam dan berpikir, “Apakah ini sudah waktunya? Apakah ini keputusan Tuhan memberikan hukuman ini kepadaku?”
Setelah hasil dibacakan oleh dokter, beliau langsung mengambil sempel darahku kembali untuk tes lanjutan yang dinamakan SGOT – SGPT (serum glutamic oxaloacetic transaminase – serum glutamic pyruvic transaminase), yaitu tes untuk mengecek fungsi organ liver. Puji Tuhan, hasil tesnya bagus. Saat itu aku menerima hasil tes SGOT – SGPT beberapa hari setelah tes dilakukan. Saat itu pihak klinik mengabariku melalui telepon dan membacakan hasilnya. Begitu juga dengan hasil skrining TB (tuberkulosis) yang bisa dibilang baik-baik saja setelah aku cek di puskemas terdekat.
Aku jadi teringat kembali ketika satu minggu sebelum aku divonis menjadi ODHIV. Ada seseorang yang saat ini sudah menjadi teman yang aku kenal dari sebuah aplikasi kencan daring. Saat itu dia menghubungiku melalui Whatsapp, mengaku bahwa dia terkena HIV dan dia sedang di luar negeri melanjutkan pendidikan pascasarjana sendirian. Entah kenapa dia berkata bahwa hanya namaku yang terpikirkan olehnya untuk berbagi cerita. Padahal saat itu kami belum pernah bertemu satu sama lain secara langsung. Kami hanya sekedar saling mengikuti di akun Instagram dan sempat bertukar nomor Whatsapp. Curhatan dia menjadi pengingat untukku apabila suatu saat aku ada di posisi dia.
Saat ini hal itu menjadi kenyataan. Beberapa hari setelah aku mendapat kenyataan bahwa aku memiliki HIV, aku menghubungi dia melalui Whatsapp sebagai salah satu orang pertama yang aku kabari. Saat itu aku berkata, “Hai, kita berada di satu tim! Saya kini menjadi ODHIV.”
Semenjak saat itu kami menjadi lebih dekat dan saling menguatkan satu sama lain.
Entah kenapa, aku tidak begitu merasakan penyesalan dan ketakutan yang berlebihan yang membuat mentalku runtuh atau bahkan mengalami gejala depresi. Aku merasa seperti sudah siap mendapatkan kenyataan tersebut. Selain aku tahu konsekuensi atas aktivitas seksual berisiko yang aku jalani. Selama ini aku sudah cukup mendapat pengetahuan mengenai virus HIV itu sendiri, mulai dari cara penularannya, bagaimana cara mengakses obat apabila terpapar, dan sebagainya. Aku mendapatkan semu informasi tentang HIV tersebut dari teman-teman komunitas LGBTIQ yang ada di lingkaran pertemananku.
Bahkan aku memiliki seorang teman pelari ODHIV yang menjadi salah satu inspirasi banyak orang dan juga menginspirasiku untuk keberaniannya membuka status sebagai ODHIV dan tetap menjalani kehidupan sehari-hari layaknya orang sehat pada umumnya. Aku belajar banyak darinya. Aku pun berusaha untuk tidak terlalu stres memikirkan HIV di tubuhku dan tetap fokus dengan pengobatan hingga semuanya baik-baik saja.
Aku menghubungi salah satu teman dekat yang tahu banyak soal HIV dan cara mengakses pengobatannya. Setelah lama berteman dengannya, baru aku tahu bahwa dia juga seorang ODHIV hingga akhirnya kami saling memberi dukungan.
Dia sangat banyak membantuku dan selalu siap sedia membantu memeriksa kondisiku. Aku selalu memintanya memberi waktu untukku berkonsultasi dan memberitahu kondisiku yang sedang tahap awal skrining untuk pengobatan hingga mendapatkan akses antiretroviral (ARV). Aku bersyukur memiliki sahabat seperti dia. Semoga Tuhan membalas kebaikannya.
Dua hari setelah tes konfirmasi, aku mulai mengonsumsi obat ARV yang katanya merupakan jenis ARV terbaru dan sudah tidak ada efek samping apapun bagi si pengguna. Aku mendapatkan 15 butir pil pertama dan selanjutnya diberikan 30 pil untuk 30 hari ke depan yang dikonsumsi setiap hari dengan tepat waktu.
Hari-hari yang kujalani bisa dikatakan sama saja seperti hari-hari biasa. Tidak ada hambatan tertentu yang disebabkan perubahan pola hidup mengonsumsi ARV. Aku hanya menambah kegiatan meminum ARV setiap hari pada pukul 10 malam sebelum tidur. Aku anggap ARV seperti vitamin yang aku minum seumur hidup untuk daya tahan tubuhku. Aku bilang itu adalah obat penyambung hidupku.
Aku selalu berpikir, di situasi seperti ini pun aku merasa Tuhan masih sangat baik kepadaku. Ya, Tuhan sangat baik. Aku tahu bahwa Tuhan sangat mengasihiku. Mungkin ini cara atau bentuk kasih sayang Tuhan kepadaku dan Dia menyadarkanku melalui virus ini dan membuatku menjadi manusia yang lebih baik. Memikirkan ini saja dapat membuatku menangis haru. Aku bukan orang yang relijius, tapi hanya kepada Tuhan saja selama ini pelarianku, curhatku, tangisku, bahagiaku dan perasaan bersyukurku. Tanpa-Nya, aku bukan siapa-siapa.
Aku belajar untuk selalu bersyukur di segala kondisi. Aku belajar bersyukur tidak hanya pada yang aku peroleh, tetapi juga bersyukur atas hal-hal yang belum atau tidak aku dapatkan tanpa membedakan kondisiku dengan orang lain. Aku juga belajar banyak mengenai penerimaan diri. Kini sudah tidak sulit lagi untukku menerima keadaanku sebagai ODHIV. Sedikit demi sedikit aku sudah mulai membuka statusku sebagai ODHIV ke sahabat terdekat yang aku percaya. Aku juga bahkan membuka statusku di sosial media, khususnya twitter. Aku merasa di sana ada ruang aman buatku untuk berbagi cerita, memotivasi dan menginspirasi diriku sendiri.
Aku juga bersyukur memiliki sistem dukungan yang baik di komunitas LGBTIQ, bahkan di luar komunitas juga mempunyai sahabat yang sangat mendukung dan selalu menerima keadaanku. I will keep those kind of circle. The most important thing is to be kind and human being.
Lebih dari setengah tahun berlalu hingga cerita ini kutulis untuk teman-teman Saya Berani. Aku telah sejak lama mengikuti akun sosial media Saya Berani dan merasa sangat terbantu dan belajar banyak serta mendapatkan akses informasi dan ilmu seputar LGBTIQ, khususnya mengkampanyekan tentang pendidikan seks, juga stigma dan diskriminasi terhadap teman-teman ODHIV. Aku juga selalu berusaha mengedukasi dan memberi dukungan kepada teman-teman LGBTIQ yang minim informasi atau edukasi seputar penerimaan diri, coming in and coming out, edukasi HIV karena stigma dan diskriminasi di dalam lingkaran pertemanan komunitas LGBTIQ pun masih banyak aku temukan.
Selang satu bulan setelah aku divonis sebagai ODHIV, aku mengecek seberapa banyak imun di dalam tubuhku, yang disebut tes CD4 pada tanggal 14 Februari 2021. Puji Tuhan, hasilnya menunjukkan bahwa aku memiliki jumlah CD4 yang baik, yaitu di angka 616 dari nilai rujukan 500-1500. Aku belum melakukan pengecekan CD4 kembali seperti yang disarankan setiap 6 bulan sekali karena saat ini sedang mencari info untuk tes viral load yang seharusnya juga disarankan pada 6 bulan pertama pasca didiagnosis sebagai ODHIV.
Seharusnya bulan lalu aku sudah mengetahui jumlah virus yang ada di dalam tubuhku, akan tetapi terkendala pada biaya tes viral load yang tidak murah. Aku masih harus mencari informasi lain apakah tes viral load bisa didapatkan secara gratis atau paling tidak bisa diringankan dengan menggunakan BPJS, karena aku mendengar dari pendampingku bahwa dia mendapatkan tes viral load secara gratis tanpa keluar biaya sepeser pun di salah satu Rumah Sakit dengan menggunakan bantuan BPJS, begitu pun dengan pengecekan CD4.
Aku selalu percaya bahwa Tuhan selalu punya rencana yang indah dan punya alasan atas yang terjadi dalam hidupku. Aku tidak akan berhenti untuk menyuarakan dan mengedukasi melalui sosial media dan dimana pun mengenai edukasi seks dan menjadi wadah bagi mereka yang membutuhkan dukungan moril. Aku juga tidak akan berhenti untuk membantu menuntun mereka di saat mereka tidak tahu bahwa ada wadah dan komunitas yang siap membantu agar mereka tahu bahwa mereka tidak sendirian. Mungkin ini salah satu dari banyak hal yang bisa aku lakukan untuk komunitasku dan membuat hidupku lebih bermakna.
Hidup dengan HIV saat ini tidak seburuk beberapa tahun silam karena sekarang sudah ada obatnya, yaitu dengan terapi ARV (antiretroviral). Penelitian terkini bahkan sampai pada pengembangan obat HIV suntik yang tidak menutup kemungkinan bisa menyembuhkan. Tetap semangat teman-teman seperjuanganku. Kalian tidak sendirian. Aku yakin kita bisa melewati ini semua dan dapat terus berkarya melanjutkan dan meraih impian kita. Jangan lupa untuk selalu menerapkan hidup sehat!