Photo by user20678629 from Freepik
Penulis: Sinta Tiara Rini
Editor: Andriano Bobby
Perempuan yang hidup dengan HIV memiliki kemungkinan lebih besar terkena kanker serviks daripada perempuan yang berstatus negatif HIV. Sebuah studi di Amerika Serikat (AS) baru-baru ini mendapat temuan bahwa meskipun risiko kanker serviks invasif meningkat di sebagian besar kelompok usia, risiko ini jarang terjadi pada gadis remaja.
Vaksinasi HPV direkomendasikan untuk anak perempuan dan laki-laki pada usia 11 atau 12 tahun, karena dapat mencegah kanker serviks serta keganasan terkait HPV lainnya, seperti kanker dubur dan kanker mulut.
Baca Juga:
“Pada dasarnya, penelitian ini berdasarkan skrining kanker serviks pada perempuan usia 21 tahun yang terinfeksi HIV,” tutur peneliti Elizabeth Stier, MD, dari Boston Medical Center, AS.
Kanker serviks disebabkan oleh human papillomavirus (HPV), yang merupakan infeksi oportunistik pada orang dengan kondisi kekebalan tubuh yang terganggu. Skrining Pap dan tes HPV secara teratur dapat mengurangi risiko pengembangan kanker serviks invasif dengan menangkap perubahan sel prakanker pada tahap awal yang dapat diobati.
Vaksinasi HPV direkomendasikan untuk anak perempuan dan laki-laki pada usia 11 atau 12 tahun, karena dapat mencegah kanker serviks serta keganasan terkait HPV lainnya, seperti kanker dubur dan kanker mulut.
Kanker serviks ditetapkan sebagai kondisi terdefinisi AIDS pada tahun 1993, mengingat bahwa perempuan dengan HIV lebih mungkin didiagnosis dengan kanker serviks pada usia yang lebih muda dan pada stadium yang lebih lanjut.
Perempuan dengan HIV yang tidak melakukan terapi antiretroviral (ART) dan jumlah CD4 yang rendah, lebih cepat mengalami perubahan dari prakanker (displasia serviks dan neoplasia) menjadi kanker invasif. Tetapi sayangnya, perempuan yang hidup dengan HIV terus mengalami peningkatan insiden kanker serviks dan keganasan terkait HPV lainnya, meskipun ada kemajuan dalam pengobatan antiretroviral.
Kebanyakan orang-orang terinfeksi HPV setelah mereka menjadi aktif secara seksual. Inilah mengapa para ahli sebelumnya merekomendasikan bahwa semua perempuan harus memulai skrining kanker serviks pada saat itu.
Stier dan tim ilmuwan membandingkan kejadian kanker serviks invasif di antara perempuan yang hidup dengan HIV dan perempuan dalam kelompok populasi umum, dengan menyesuaikan usia dan ras atau etnis mereka. Para peneliti melihat data dari tahun 2002 hingga 2016 untuk populasi penelitian dari 164.000 perempuan yang hidup dengan HIV. Hampir dua pertiga (64%) berkulit hitam, 22% hispanik dan 13% berkulit putih. Penularan heteroseksual adalah faktor risiko yang paling umum (45%) diikuti oleh penggunaan narkoba suntikan (21%).
Selama masa penelitian, 552 kasus kanker serviks invasif dilaporkan di antara perempuan dengan HIV, atau 47,7 per 100.000 orang. Insiden tertinggi terjadi pada kelompok usia 40-44 dan 35-39 (masing-masing 66,1 dan 64,5 per 100.000). Namun, tidak ada kasus yang dilaporkan di antara perempuan HIV-positif di bawah 25 tahun. Tim Stier juga menemukan bahwa tingkat kanker serviks meningkat secara signifikan di antara perempuan dengan HIV di semua kelompok usia antara 25 dan 54 tahun.
“Tidak adanya kanker serviks invasif di antara perempuan yang hidup dengan HIV berusia di bawah 25 tahun, menunjukkan bahwa seharusnya skrining serviks dimulainya pada usia 21, untuk mencegah kanker pada perempuan yang hidup dengan HIV pada usia dengan risiko kanker serviks invasif yang lebih tinggi,” demikian kesimpulan para peneliti. “Yang paling penting, semua anak (terlepas dari status kekebalan) harus menerima vaksin HPV profilaksis.”
Berkat skrining rutin, perubahan serviks prakanker sering terdeteksi lebih awal, dan angka prevalensi kanker serviks invasif di antara perempuan dengan HIV di Amerika Serikat tidaklah tinggi.
Sayangnya, di negara-negara di mana perempuan tidak melakukan skrining rutin dan di mana mereka yang hidup dengan HIV yang mungkin tidak menggunakan pengobatan antiretroviral, tingkat kanker serviks lebih tinggi. Ya, di seluruh dunia, perempuan dengan HIV enam kali lebih mungkin menderita kanker serviks daripada perempuan berstatus HIV-negatif.
Dominik Stelzle, MD , dari Technical University of Munich, Jerman, dan rekan melakukan studi literatur sistematis dari lima database untuk mengidentifikasi studi yang menganalisis hubungan antara HIV dan kanker serviks. Hasilnya, hampir 6% kasus baru kanker serviks pada tahun 2018 terjadi pada perempuan yang hidup dengan HIV, atau sekitar 33.000 kasus baru.
Para peneliti memperkirakan bahwa 5% dari semua kasus kanker serviks disebabkan oleh HIV. Dari 10 negara dengan kasus kanker serviks tertinggi, hanya empat negara yang memiliki program skrining berkelanjutan.
“Perempuan yang hidup dengan HIV memiliki peningkatan risiko kanker serviks secara signifikan. Vaksinasi HPV dan skrining kanker serviks untuk perempuan yang hidup dengan HIV sangat penting bagi negara-negara di Afrika Selatan dan Afrika Timur, di mana kasus kanker serviks yang disebabkan HIV telah menambah kasus kanker serviks yang ada,” para peneliti menyimpulkan.
Sumber: Women With HIV Are at Greater Risk for Cervical Cancer