Tiga dekade lalu, mereka yang terdiagnosis positif HIV, tak ubahnya divonis hukuman mati karena pada waktu itu belum ada obat yang berhasil mengendalikan perkembangan HIV. Tetapi hari ini, HIV bukan lagi virus yag mematikan — khususnya bagi mereka yang disiplin mengonsumsi obat antiretroviral, yang dapat membuat virus tidak terdeteksi dan tidak dapat ditransmisikan secara seksual.
Menurut Dr. McKellar, alasan mengapa HIV terus menyebar dan AIDS masih menelan korban jiwa di berbagai belahan dunia — termasuk di negara maju seperti AS — tak lain dan tak bukan karena stigma.
Baca Juga:
Kemajuan pengobatan saat ini dapat membuat individu mengendalikan HIV sepenuhnya. Namun faktanya, epidemi HIV dan AIDS belum sepenuhnya dapat dihentikan, dan di seluruh dunia masih banyak penderita AIDS yang akhirnya meregang nyawa — terlepas dari kenyataan bahwa perawatan semakin efektif dan mudah untuk diakses.
Pada peringatan 30 tahun Hari AIDS Sedunia tahun 2018, seperti yang dilansir situs researchblog, Centre for Sexual and Gender Diversity at Duke University, Amerika Serikat (AS), menampilkan tiga ilmuwan peneliti HIV dan AIDS, Dr. Mehri McKellar, Dr. Carolyn McAllaster, dan Dr. Kent Weinhold. Menurut Dr. McKellar, alasan mengapa HIV terus menyebar dan AIDS masih menelan korban jiwa di berbagai belahan dunia — termasuk di negara maju seperti AS — tak lain dan tak bukan karena stigma.
“Penelitian telah menunjukkan bahwa rasa malu karena stigma,dan hasilnya kesehatan pasien HIV semakin memburuk; dan sayangnya, rasa malu karena stigma adalah masalah besar yang dihadapi oleh masyakat AS saat ini,” papar McKellar yang menambahkan bahwa di bagian selatan AS, hanya ada sedikit dana yang dikucurkan untuk mengurangi stigma seputar HIV dan AIDS.
Jika orang yang hidup dengan HIV (ODHIV) tidak mendapatkan dukungan dari komunitas mereka, itu membuat mereka kesulitan mengakses perawatan dan pengobatan yang tepat. Seperti yang dikisahkan oleh salah satu pasien Dr. McKellar yang mengatakan kepadanya bahwa mereka tidak merasa nyaman untuk datang ke klinik dan mendapatkan obat-obatan ARV, karena mereka mengenal petugas kesehatan yang bekerja di sana dan mereka merasa malu lantaran ketahuan mengidap HIV.
Di North Carolina, AS, undang-undang sebelumnya mengharuskan ODHIV untuk mengungkapkan status mereka dan wajib menggunakan kondom dengan pasangan seksual, bahkan jika mereka telah menerima pengobatan dan tidak lagi dapat menularkan virus secara seksual. Bagi ODHIV yang melanggar hukum ini maka mereka bisa dipidanakan. Dr. McAllaster telah membantu menciptakan dan mengesahkan versi baru undang-undang tersebut, yang akan membuat kehidupan ODHIV di North Carolona jauh lebih mudah. hidup jauh lebih mudah bagi orang yang hidup dengan HIV di North Carolina.
Pada tahun 2005, Duke membuka Pusat Penelitian AIDS yang sekarang dipimpin oleh Dr. Kent Weinhold. Dalam dekade terakhir, mereka telah memfokuskan pada upaya untuk menemukan vaksin HIV. Duke juga membuka Klinik PrEP pada tahun 2016 untuk memberikan pengobatan pencegahan bagi individu yang mungkin berisiko terkena HIV. PrEP adalah singkatan dari Pre-exposure prophylaxis atau profilaksis pra pajanan, dan itu adalah obat yang diminum sebelum pajanan terhadap HIV untuk mencegah penularan virus. Pengobatan ini juga adalah cara lain untuk mengurangi stigma negatif terhadap HIV.
Sayangnya, di AS dan mungkin di seluruh dunia, orang-orang yang paling membutuhkan PrEP justru tidak mendapatkannya. Di mana kelompok yang memiliki insiden HIV tertinggi di AS adalah laki-laki muda, ras kulit hitam dan gay. Tetapi kelompok yang paling sering menerima PrEP justru pria gay berkulit putih, yang lebih tua. Dokter setempat, terutama di Selatan, sering juga tidak akan meresepkan PrEP kepada kelompok yang berisiko terpajan HIV, bukan karena mereka tidak bisa tapi mereka memang tidak mau memberikannya — lagi-lagi karena korban stigma dan kekurangan pengetahuan.
Para pembicara sepakat, diskriminasi dan bias seringkali merupakan hasil dari pendidikan yang tidak memadai. Semakin banyak orang yang berpendidikan dan mengetahui tentang kebenaran hidup dengan HIV, maka akan semakin tinggi pula simpati dan empati terhadap ODHIV. Ya, HIV memang dapat diobati tapi stigma lah yang membunuh para ODHIV.