Photo by sayaberani_id from youtube.com
Bagi Ida Farida atau Chani (36 tahun), demikian panggilan akrabnya, saat itu dunia terasa indah. Nyaris selangkah lagi ia akan menjadi warga negara Singapura, setelah menikah dengan lelaki setempat yang ia temui di Kota Surabaya, pada 2009 silam.
Chani tak hanya terus berkembang dalam dunia kerjanya, ia bahkan juga menemukan cinta sejatinya saat menikah dengan Antonio (37 tahun) — sesama ODHIV yang ia kenal di komunitas di tahun 2017.
Baca Juga:
Tiga tahun kemudian, Chani menetapkan hatinya untuk melamar sebagai permanent residence di Singapura agar bisa memiliki properti di sana. Namun impiannya seketika runtuh setelah mengetahui lamarannya ditolak lantaran ia terinfeksi HIV. Medical check up memang menjadi salah satu persyaratan dan saat itu di tahun 2012, pemerintah Singapura menolak orang yang hidup dengan HIV (ODHIV) untuk menjadi warga negara Singapura.
Chani lantas menceritakan hasil tes HIV tersebut kepada pasangannya, lantaran ia tidak mengetahui bagaimana tiba-tiba ia bisa memiliki virus tersebut. “Saya pikir ini tidak mungkin terjadi, dan ketika hal itu saya ceritakan kepada pasangan, kami berdua memutuskan untuk kembali melakukan pemeriksaan dan memang pasangan saya juga terbukti positif HIV,” kisah Chani yang mengaku bahwa selama menikah, mantan suaminya itu telah berselingkuh sebanyak tiga kali dengan orang yang berbeda-beda.
Tak pelak, Chani sempat berpikir untuk bunuh diri. Namun saat hendak melakukan bunuh diri, ia melihat bayangan keluarga dan orang-orang yang ia kasihi hingga ia pun mengurungkan niatnya. “Keluarga saya masih membutuhkan saya,” tegas Chani yang kemudian memutuskan bercerai.
Meski positif HIV, peraturan WHO saat itu tidak menganjurkan memberikan pengobatan antiretroviral jika jumlah CD4 masih di angka 350, sehingga Chani disarankan untuk mencari pengobatan yang lain seperti di Indonesia, jika tidak ia harus menyiapkan biaya sebesar 1.000 dolar Singapura untuk 30 tablet setiap bulannya.
Hal ini menjadi titik kebangkitan Chani yang memutuskan untuk menyelidiki tentang pengobatan HIV. Di tahun 2015, tatkala Chani mendapakan akta cerai, ia pun kembali ke Jakarta. Meski berstatus ODHIV, tidak menghentikan proses Chani untuk terus berkembang sebagai manusia.
“Dari Singapura saya langsung terbang ke Kota Malang, Indonesia, dan bertemu dengan teman-teman komunitas, berhadapan langsung dengan sesama ODHIV lainnya serta mendapatkan pengetahuan tentang bagaimana bertahan hidup dan mendapatkan pengobatan dan memulainya ketika jumlah CD4 mencapai angka 112,” kisah Chani. Bagi Chani, Kota Malang adalah rumah kedua, di mana ia mendapatkan dukungan dan cinta yang luar biasa dari teman-teman sesama ODHIV hingga ia memutuskan pindah ke Jakarta.
Di Jakarta Chani bergabung dengan Yayasan Kasih Globalindo dan bekerja sebagai konselor, dan bertemu dengan banyak perempuan yang juga terinfeksi HIV dari suami mereka dan tidak menyangka bahwa itu bisa terjadi. “Ada perempuan yang berprofesi sebagai dokter gigi, mengira bahwa ia terinfeksi dari tempat kerjanya.”
Chani pun menjelaskan prinsip penularan HIV yang dirangkum dalam akronim ESSE, yaitu Exit (E) yang berarti ada jalan keluar cairan yang ada di dalam tubuh ODHIV, kemudian Survive (S) yang artinya cairan tubuh tersebut tetap mengandung virus yang bisa bertahan hidup. Kemudian Sufficient (S) yang berarti kandungan dalam virus HIV cukup banyak utuk bisa menularkan, dan terakhir Enter (E) yaitu proses masuknya cairan yang mengandung virus HIV masuk ke tubuh seseorang.
Chani tak hanya terus berkembang dalam dunia kerjanya, ia bahkan juga menemukan cinta sejatinya saat menikah dengan Antonio (37 tahun) — sesama ODHIV yang ia kenal di komunitas di tahun 2017. Mereka memutuskan menikah tepat pada tanggal 1 Desember 2017 yang juga merupakah hari HIV dan AIDS sedunia. Bersama Antonio, mereka berjuang bersama melawan diskriminasi terhadap ODHIV dan memberi edukasi tentang apa itu HIV dan AIDS yang sebenarnya.
Pada saat artikel ini dibuat, Chani tengah mengandung bayi perempuan, yang bersama Antonio mereka sudah memiliki anak lelaki bernama Adam yang berstatus negatif HIV. “Ke depan seharusnya semua bayi yang ada dalam kandungan sudah terbebas dari HIV jika perempuan melakukan tes HIV sebelum hamil, dan ibu hamil langsung melakukan tes HIV dan minum obat HIV jika diperlukan,” terang Chani yang menyayangkan masih banyak ibu hamil yang menganggap sepele akan hal ini, padahal sudah ada peraturan dari Kementerian Kesehatan RI yang mengatur akan hal tersebut.
“Sebenarnya ODHIV itu sama kok dengan mereka yang tidak hidup bersama HIV, yang membedakan adalah kami minum obat antiretroviral (ARV) dan mereka tidak, ya itu saja perbedaannya. Dan ODHIV yang minum obat dan memiliki viral load yang tidak terdeteksi, bisa berhubungan seks dan bisa melakukan program kehamilan tanpa menularkan kepada pasangan dan bayi dalam kandungan,” pungkas Chani yang menegaskan bahwa ODHIV pun berhak menikah dan memiliki anak.
Sumber: