Penulis: Mario Martins
Editor: Andriano Bobby
“Kamu mengidap HIV,”dokter yang merawat di Manhattanville Renaissance Health Center mengatakan padaku setelah menanyakan apakah aku bermaksud melukai diri sendiri atau tidak jika hasilnya tidak baik. Aku membalas, “Tentu tidak.”
Cara terbaik untuk merawat orang yang memiliki hasil tes HIV positif adalah dilakukan oleh petugas medis yang berlisensi yang kompeten dan beradab. Mereka harus memahami identitas semua orang yang dilayaninya tanpa stigma dan diskriminasi apapun.
Baca Juga:
Saat itu tanggal 16 Juli — sehari sebelum ulang tahunku. Aku menemani sahabat dekatku untuk tes HIV. Meskipun temanku ini menggambarkan dirinya sebagai orang yang sering melakukan aktivitas seks yang berisiko, dia menolak untuk melakukan tes HIV kecuali ada yang menemaninya. Jadi, setiap tahun, aku menemaninya untuk melakukan tes HIV.
Jika hasil tes temanku itu positif, aku berjanji akan menghiburnya dengan membuat pancake dan membiarkan dia menangis di bahuku. Karena aku memegang teguh prinsip monogami, kami berdua yakin bahwa serokonversi tidak mungkin terjadi padaku, jadi tidak ada pikiran untuk melakukan rencana apapun jika aku yang dinyatakan positif.
Serokonversi adalah periode di mana sistem kekebalan tubuh mulai mengembangkan antibodi HIV dan kemudian antibodi itu pertama kali terdeteksi setelah seseorang tertular HIV. Selama konversi, seseorang mungkin juga mengalami gejala seperti flu, seperti demam dan sakit tubuh.
“Tunjukkan padaku apa yang ditunjukkan mesin penguji itu supaya aku bisa melihat sendiri hasilnya,” kataku dengan sinis kepada dokter. Aku yakin bahwa dia telah melakukan kesalahan. Namun dokter menolak menunjukkannya, dan kemudian yang bisa aku katakan hanyalah, “Ya sudah, baiklah.”
Kemudian dokter bertanya apakah aku ingin membicarakan hasil tes yang aku dapatkan. Namun aku hanya membalas sinis, “mengapa aku ingin membicarakan ini?” Saat itu aku merespon kabar buruk itu dengan sikap sinis karena suasana hatiku tidak menentu. Kemudian aku berkata, “Aku tidak berada di Afrika atau Brasil, dan ini bukan tahun 80-an, jadi aku akan baik-baik saja.” Saat itu aku beraksi terlalu dramatis seperti tokoh sinetron. Tanggapan yang aku perlihatkan itu benar-benar membuktikan bahwa perasaanku memang berantakan setelah menerima hasil diagnosis HIV.
Apa yang terjadi kemudian mirip seperti pertemuan bisnis. Aku bertanya tentang langkah selanjutnya, kemudian menerima surat yang menyatakan hasil positif HIV, menerima surat rujukan untuk menemui dokter spesialis, dan keluar dari ruangan klinik. Aku duduk di ruang tunggu sampai temanku kembali dengan membawa hasilnya. Dia terlihat senang sambil berkata bahwa hasilnya negatif. Saat itu aku juga berbohong kepadanya dan kami pun pulang ke rumah masing- masing.
Beberapa waktu kemudian aku memberitahu statusku kepada beberapa orang yang aku kenal. Saat itu aku terus memberi tahu semua orang bahwa aku baik-baik saja. Saat itu aku berpikir untuk tidak mempedulikan perasaaanku karena aku bisa mengendalikannya dan telah berbicara tentang HIV tanpa rasa penyesalan. Hal ini telah berlangsung selama lima tahun dan tanpa aku sadari, selama ini aku telah hidup dengan trauma yang rumit terkait dengan diagnosisku.
Aku butuh terapi, butuh bimbingan konseling. Semua orang, baik yang memiliki kemapanan finansial maupun yang tidak, mereka layak dan membutuhkan bimbingan konseling dengan segera saat menerima diagnosis HIV.
Menurutku, selain disarankan untuk segera memulai pengobatan, seharusnya setiap orang yang baru didiagnosis dengan HIV juga disarankan untuk segera melakukan perawatan kesehatan mental atau bimbingan konseling.
Hal ini juga disetujui oleh Nathaniel Currie, D.S.W., LCSW, seorang pekerja sosial klinis dan terapis yang mengkhususkan diri dalam perawatan trauma mental, yang percaya bahwa bimbingan konseling merupakan hal yang penting dilakukan kepada orang yang baru didiagnosis dengan HIV.
Setelah menangani banyak orang yang hidup dengan HIV, Currie menemukan fakta bahwa meskipun HIV bukan lagi penyakit mematikan, namun ada bagian dalam diri mereka yang “mati” setelah mengetahui bahwa mereka positif HIV.
Currie mengatakan bahwa kemungkinan ODHIV menghadapi ketergantungan seumur hidup pada obat-obatan, ketakutan akan penolakan, atau perasaan kegagalan dalam hidup dapat melemahkan emosi, terutama karena ada begitu banyak stigma terkait dengan virus HIV.
“Kamu akan menjadi orang yang berbeda setelah didiagnosis,” kata Currie. “Pada tingkat tertentu, kebanyakan orang merasa tidak akan mungkin bisa mendapat HIV dalam hidupnya sampai dia menerima hasil posisitf HIV.”
Currie mengatakan bahwa banyak kliennya menolak kenyataan setelah mengetahui diagnosis mereka. “Siklus kesedihan adalah cara terbaik untuk menggambarkan diagnosis awal. Dan jika kamu sedang berduka, kamu membutuhkan intervensi terapeutik. ”
Dalam kasusku, setelah melakukan uji tuntas, saat itu dokter yang memeriksaku sangat ingin aku keluar dari ruangannya. Mungkin karena saat itu aku bersikap kasar. Tetapi jika dipikir-pikir, aku merasa tidak masuk akal bahwa dia tidak melawan sikap tabahku. Aku berharap dia berkata, “Wow, Anda sangat meremehkan kondisi Anda dan meremehkan kredibilitas hasil uji ini. Aku pikir Anda mungkin membutuhkan bantuan.” Atau, “Anda harus berbicara dengan seorang konselor terakait perasaan yang Anda alami saat ini.”
Terapi atau perawatan kesehatan mental memang tidak dapat dipaksakan kepada semua orang. Tetapi menurutku setiap dokter harus berusaha menegaskan atau mendorong tiap orang untuk mengikuti bimbingan konseling setelah didiagnosis HIV, karena mereka yang baru didiagnosis HIV mengalami keadaan yang mengubah hidup selamanya.
Menerima diagnosis positif HIV mungkin bukan hal terburuk yang dapat terjadi dalam hidup seseorang, tetapi hal itu mengubah cara seseorang menjalani hidup dan mereka harus mendapat bimbingan konseling terkait dengan dampak perubahan hidup itu terhadap kesehatan mentalnya.
Aku bersikukuh terhadap persoalan mendapatkan bimbingan konseling ini karena kita tahu bahwa di luar sana ada layanan konseling kedukaan yang ditawarkan kepada orang yang ditinggal mati kerabatnya. Tidak ada yang mengusir anggota keluarga dari kamar rumah sakit setelah mereka diberi tahu bahwa seseorang yang mereka sayangi telah meninggal. Jadi, seharusnya hal yang sama pun ditawarkan kepada orang yang baru didiagnosis hIV.
Currie banyak mendengar banyak hal yang dialami oleh kliennya setelah mereka menerima diagnosis HIV positif. Salah satu kliennya menceritakan bahwa petugas kesehatan yang memeriksanya saat itu agak dingin terhadapnya dan tampaknya tidak benar-benar peduli selain mengatakan kepadanya beberapa hal standar dan ingin dia meninggalkan ruang periksa secepatnya. Saat itu dia tidak mau keluar dari ruang periksa. Namun dia diberitahu bahwa dia harus pergi karena kliniknya akan segera tutup.
Currie mengatakan bahwa klien ini mengatakan kepadanya bahwa dia tidak diberi alternatif untuk melibatkan kondisi mentalnya atau mendiskusikan hidup yang harus dijalaninya setelah memiliki HIV.
Aku bisa membayangkan kenapa dia bertahan di dalam ruang periksa itu. Meskipun saat aku didiagnosis HIV aku dapat langsung keluar dari ruangan periksa dan melanjutkan hidup, aku rasa bagi beberapa orang yang baru menerima diagnosis HIV, mereka butuh waktu untuk memproses perasaan syok atau keterkejutannya.
Aku tidak ada di sana, tetapi ini mirip dengan cerita yang aku dengar dari banyak orang yang hidup dengan HIV tentang perlakuan petugas kesehatan kepada mereka setelah mereka menerima diagnosis.
Hal ini menurutku sangat disayangkan karena aku tahu bahwa banyak layanan kesehatan yang menawarkan untuk memberikan pelayanan perawatan penuh kasih kepada orang-orang yang telah didiagnosis kanker. Aku pernah memiliki tumor di usus besarku. Perlakuan tenaga medis kepadaku saat itu sangat berbeda dengan perlakuan saat aku didiagnosis HIV.
Currie berharap ada perubahan dalam perawatan yang ditawarkan kepada orang yang baru didiagnosis dengan HIV. “Apakah hasil tes Anda negatif atau positif, saya berharap ada kesempatan yang ditawarkan kepada orang yang baru didiagnosis HIV untuk berbicara dengan konselor.” Bimbingan konseling bagi orang yang menerima diagnosis HIV sangat diperlukan untuk menjaga keamanan dan keselamatan hidupnya.
Currie sering melakukan kunjungan ke ruangan tempat orang melalukan tes HIV. Di sana dia menemukan fakta bahwa ada banyak dari mereka yang melakukan tes HIV mengalami kekerasan dalam rumah tangga, ada juga yang memiliki masalah finansial yang berat.
Tes HIV dapat memunculkan banyak hal, dan terkadang itu adalah satu-satunya saat seseorang dapat keluar dari lingkungannya untuk berbicara dengan orang lain secara rahasia.
Currie berpendapat bahwa cara terbaik untuk merawat orang yang memiliki hasil tes HIV positif adalah dilakukan oleh petugas medis yang berlisensi yang kompeten dan beradab. Mereka harus memahami identitas semua orang yang dilayaninya tanpa stigma dan diskriminasi apapun.
Apa yang menonjol bagi Currie dari pengalamannya sendiri dalam mengadvokasi dan merawat klien HIV-positif adalah memahami bahwa menangani hasil yang positif mencerminkan lima tahap kesedihan: penyangkalan, kemarahan, tawar-menawar, depresi, dan penerimaan. Dia mengatakan bahwa keberhasilan dalam menavigasi tahapan ini pada orang yang didiagnosis HIV membutuhkan informasi, komunikasi, dukungan emosional, bimbingan, dan arahan.
Tentu saja, semua ini membutuhkan penyedia layanan yang dapat meluangkan waktunya untuk duduk bersama dan mengatasi rasa syok klien saat menerima diagnosis HIV. Karena bagi banyak orang, setelah mengetahui bahwa mereka positif HIV, dunia seakan menjadi terhenti.
Lebih jauh mengenai lima tahapan kesedihan itu dapat dibaca pada artikel di situs web Saya Berani yang berjudul: LIMA TAHAPAN KESEDIHAN SAAT MENGHADAPI DIAGNOSIS HIV.
Mengingat kembali diagnosis HIV yang aku dapatkan, aku berharap bahwa dokter bisa melihat bagian dari sumpah hipokrates yang berbunyi, “Saya akan ingat bahwa saya tetap menjadi anggota masyarakat, dengan kewajiban khusus kepada sesama manusia, baik pikiran dan tubuh serta yang lemah,”dan menganggap bahwa bagian dari duniaku baru saja berakhir — dan lebih dari sekadar pengobatan, aku membutuhkan perawatan kesehatan mental.
Aku akan segera memulai bimbingan konseling untuk diagnosis HIV. Jika kamu belum pernah mengalami trauma karena diagnosis HIV, aku sarankan untuk segera melakukan bimbingan konseling. Kita semua berhak menjalani hidup yang bebas stigma dan trauma. Dan itu dimulai dengan mengakui bahwa kamu mungkin membutuhkan bantuan.
Jika kamu hidup dengan HIV dan berpikir bahwa kamu mungkin memerlukan layanan perawatan kesehatan mental atau bimbingan konseling, cobalah berbicara dengan penyedia layanan perawatan primermu. Jika kamu tidak memiliki asuransi atau ingin ditangani oleh penyedia layanan yang berbeda, kamu bisa hubungi admin Saya Berani untuk mendapat informasi layanan bimbingan konseling yang ada di dekat tempat tinggalmu.
Kamu juga bisa kunjungi situs web Saya Berani dan mengakses menu KONSELING atau TANYA DOKTER. Ada perwakilan yang siap membantu kamu memenuhi kebutuhanmu atau mengarahkan kamu ke layanan yang dapat mengadvokasimu.
(Artikel ini merupakan saduran dari artikel yang dimuat pada situs web TheBody.com yang berjudul: Therapy Is Essential for Anyone Who Has Been Newly Diagnosed With HIV)