Penulis: Mario Martins
Editor: Andriano Bobby
Dalam sebuah wawancara baru-baru ini dengan TheBody, Nathaniel Currie, DSW, LCSW, menjelaskan mengapa bimbingan konseling atau terapi sangat penting dilakukan bagi siapa saja yang baru didiagnosis dengan HIV, dan menjelaskan bahwa seseorang menghadapi diagnosis positif HIV dalam lima tahapan kesedihan: penyangkalan, kemarahan, tawar-menawar, depresi, dan penerimaan.
Pencarian makna dari pergumulan orang yang baru didiagnosis HIV itu terdengar lebih bagus daripada kenyataan yang dihadapi. Kenyataan yang kamu hadapi adalah betapa melelahkannya berurusan dengan stigma dan penindasan dalam budaya yang sudah tidak menghargai kamu.
Baca Juga:
Tetapi wujud tahapan kesedihan itu tidak selalu bisa disadari. Sering kali tahapan kesedihan itu dianggap sebagai satu-satunya tanggapan logis terhadap peristiwa kehidupan tertentu. Banyak orang tidak melihatnya sebagai tanda bahwa mereka mungkin membutuhkan pertolongan. Menurut Currie, tahapan kesedihan seseorang saat menerima diagnosis HIV itu dapat ditemukan dengan cara menggali informasi, berkomunikasi, memberikan dukungan emosional, memberikan bimbingan, dan memberikan arahan.
Jika kamu masih terkunci dalam siklus kesedihan saat baru menerima diagnosis HIV, kamu perlu menjalani tahapan kesedihan tersebut agar dapat berjalan maju untuk menjalani hidupmu.
Penyangkalan
Reaksi pertama yang umum saat menerima diagnosis HIV adalah melakukan penyangkalan. Seringkali seseorang berulang kali menyangkal hasil yang dibacakan oleh dokter. Menurut Currie, itu adalah momen ketika kamu terkejut, atau syok. Tapi sebenarnya itu bukan syok, melainkan sebuah penyangkalan — penghindaran, kebingungan, kegembiraan yang rasanya aneh, syok, ketakutan. Seringkali ketika orang menyangkal diagnosis HIV-positif, mereka berkata, “Saya tidak percaya. Apakah dokter yakin dengan hasilnya? Apakah tidak ada kesalahan tes? Tesnya harus diulang!”
Penyangkalan semacam “Saya tidak percaya hal ini terjadi padaku” adalah reaksi saat kamu mendengar kata-kata dokter, tetapi kamu belum membuat hubungan yang benar dengan apa yang dikatakan dokter. Ada juga perasaan ketakutan akan apa yang akan terjadi, dan ada sebersit rasa kegembiraan. Kegembiraan yang dimaksud ini sangat penting untuk dibicarakan karena sepertinya rasa kegembiraan atau rasa lega yang aneh ini muncul tidak pada tempatnya.
Ini mirip dengan perasaan saat kamu mengetahui bahwa anggota keluargamu yang menderita penyakit parah dalam waktu lama akhirnya meninggal, dan ada sedikit rasa lega bahwa mereka tidak akan menderita lagi. Perasaan lega yang aneh itu penting digali ketika kamu menerima diagnosis HIV. Biasanya kelegaan semu itu muncul oleh karena pikiran semacam “Sekarang saya tidak perlu khawatir tertular HIV lagi”, atau, “Ternyata benar dugaanku. ”
Ini adalah momen yang biasanya dialami oleh orang yang menjalani tes HIV — tingkat kelegaan bahwa rasa takut akan HIV tidak lagi membayangi kepala mereka. Currie mengatakan bahwa kliennya telah memberi tahu dia, “Saya tidak perlu khawatir akan dites dan menjadi gugup sepanjang waktu.” Kelegaan seperti ini selalu berumur pendek, karena tidak seorang pun benar-benar ingin memiliki HIV. Kilatan singkat kegembiraan akan memudar dan kamu akan menumbuhkan reaksi penolakan kembali.
Kemarahan
Langkah berikutnya yang biasanya terjadi adalah munculnya rasa marah. Tidak jarang ada orang yang menolak untuk diajak berbicara oleh dokter. Bahkan ada pula yang melontarkan cacian pahit. Kemarahan yang muncul saat kamu baru menerima diagnosis HIV terasa memperdayakanmu saat itu. Kamu mengeluarkan rasa marah selayaknya sebagai seorang korban. Kadangkala kamu merendahkan dirimu sendiri atau mengutuk dan menyalahkan pasangan seksualmu.
“Itu adalah perasaan frustrasi, kesal, dan kecemasan,” jelas Currie. Perasaan ini mungkin tidak sesuai dengan narasi tentang bagaimana seseorang seharusnya bertindak. Tetapi, diagnosis HIV sering kali berarti merasa berduka karena kehilangan banyak hal dalam hidup. Dan rasa kehilangan bisa membuat orang marah.
Diagnosis HIV bisa berarti termasuk kehilangan pekerjaan, hubungan dengan orang lain, peluang hidup, dan persahabatan dengan orang yang memandang rendah orang yang hidup dengan HIV. Kita bereaksi seperti itu karena biasanya kita lebih suka marah daripada mengasihani diri sendiri. Tapi itu terutama karena kita tidak ingin menghadapi pelecehan atau dipandang rendah oleh orang lain.
Currie mengatakan bahwa bertingkah dan mengatakan hal-hal aneh masih merupakan bagian dari perjalanan penyembuhan. Hal ini juga akan bertransisi menjadi tawar-menawar, berdebat, dan berjuang untuk menemukan makna.
Tawar-Menawar
Currie mengatakan bahwa pencarian makna dari pergumulan orang yang baru didiagnosis HIV itu terdengar lebih bagus daripada kenyataan yang dihadapi. Kenyataan yang kamu hadapi adalah betapa melelahkannya berurusan dengan stigma dan penindasan dalam budaya yang sudah tidak menghargai kamu.
Banyak orang mengalami masa sulit dengan ketidakberartian hidup saat baru mengetahui dirinya positif HIV. Ada yang berjanji untuk “hidup dengan lebih baik lagi.” Membuat penawaran bahwa kamu tidak akan menggunakan narkoba, atau akan selalu melakukan aktivitas seks yang aman dengan orang lain. Kamu berjanji kepada Tuhan bahwa kamu akan melipatgandakan sumbangan dan amal jika hasilnya berubah. Kamu sedang tawar-menawar dan berharap tawaranmu akan mengubah hasil diagnosis.
Kamu merasa terlalu sehat, dan kamu bisa berdebat dengan siapa pun untuk kesehatan yang kamu yakini itu. Kamu merasa selama ini mampu berjuang menghadapi banyak cobaan. Tidak mungkin rasanya bisa melakukan semua itu jika mengidap HIV.
Tapi itu semua adalah tawar-menawar, dan tidak ada yang bisa kamu lakukan atau janjikan yang dapat mengubah fakta status HIV kamu.
Depresi
Currie mengatakan bahwa depresi dapat berwujud sebagai kondisi seseorang yang merasa kewalahan, bermusuhan, atau menghindari banyak hal dan mencoba melarikan diri dari masalah mereka.
“Melarikan diri dari masalah adalah hal penting untuk dipikirkan ketika berbicara tentang HIV karena itu bisa berarti melarikan diri dari perawatan medis, farmasi, atau terapeutik.” Dia mengatakan bahwa bagi sebagian orang, ini adalah upaya untuk menghindari berurusan dengan hasil tes mereka atau kenyataan bahwa hidup mereka telah berubah.
Depresi bisa muncul dalam bentuk menghindari kebutuhan untuk minum obat setiap hari, atau selalu harus memiliki jenis asuransi tertentu, atau harus mengambil tingkat tanggung jawab yang baru untuk hidup. Bagi beberapa orang yang memiliki sedikit atau tidak memiliki pengalaman, lebih mudah untuk mengatasinya dengan berpura-pura tidak ada yang salah, atau mengetahui bahwa ada sesuatu yang salah tetapi tidak mengakuinya.
Ada satu titik di mana kita merasa tidak bisa mengatasi depresi. Ada orang yang mengalami deresi dengan merasa tidak butuh ke dokter dan tidak mau menjalani pengobatan. Konsekuensi dari tidak terlibat dengan perawatan atau menggunakan antiretroviral adalah bencana besar. Namun, mengelola beban itu sendiri rasanya tidak dapat diatasi. “Itulah mengapa penting untuk memiliki terapis,” kata Currie. “Sehingga kamu sepenuhnya terlibat dengan layanan dan sumber daya yang mendukung.”
Mengatasi masalahmu sendirian dapat memicu ketidakberdayaan, terutama saat menghadapi birokrasi perawatan yang dibutuhkan, otorisasi asuransi, penjadwalan perawatan, atau halangan lain untuk perawatan dan pengobatan. Ada juga yang berjuang dengan biaya yang besar untuk layanan yang dibutuhkan untuk bertahan hidup.
Begitu banyak hal yang harus dilakukan untuk memulai hidup dengan HIV yang membuatmu merasa sangat kewalahan. Bahkan bisa jadi kamu merasa terlalu malas untuk bangun dari tempat tidurmu. Perasaan itu disebut depresi. Depresi bisa muncul dalam berbagai cara, termasuk mengisolasi dirimu sendiri karena kamu ingin memberi tahu orang-orang tentang statusmu tetapi takut ditolak. Ada juga ketakutan ditolak oleh komunitas, terutama ketika takut ditolak berkaitan dengan agama.
Currie mengatakan bahwa agama memainkan peran besar dalam bagaimana salah satu kliennya berjuang melawan depresi. Pasien ini adalah seorang pria Muslim kulit hitam yang tinggal di Baltimore. Pria itu terkejut saat mengetahui bahwa dia telah terinfeksi HIV karena dia bukan reseptif pada seks anal; dia percaya bahwa ini berarti dia bukan gay dan oleh karena itu dia berpikir tidak mungkin “terkena AIDS.”
Currie menjelaskan kepada kliennya bahwa yang mereka hadapi adalah HIV, bukan AIDS, dan bahwa meskipun kemungkinan penularan lebih besar pada orang yang menerima penetrasi penis anal — mereka yang melakukan penetrasi juga berisiko mendapat HIV jika mereka tidak menggunakan pilihan seks yang lebih aman seperti kondom atau profilaksis pra pajanan (PrEP).
Pasien ini memutuskan untuk tidak minum obat di rumahnya, karena dia takut ada anggota keluarga yang mengetahui bahwa dia terlibat dalam hubungan seksual dengan pria lain, atau bahwa dia mengidap HIV. Pria ini percaya bahwa dia akan dijauhi oleh seluruh keluarga dan komunitas agamanya jika ada yang tahu, karena menjadi Muslim berarti sama sekali menolak homoseksualitas.
Ini adalah pengingat bahwa stigma HIV dapat membunuh dengan lebih dari satu cara.
Penerimaan Diri
Penerimaan diri melibatkan penjelajahan opsi seseorang, menempatkan rencana baru pada tempatnya, dan bergerak maju dengan kehidupannya. Meskipun ini adalah rencana yang luar biasa, Currie mencatat bahwa bisa butuh waktu lama untuk mencapai penerimaan diri. Bagi sebagian orang, mereka dapat menerima dirinya hanya dalam beberapa bulan. Bagi yang lain, itu bisa memakan waktu bertahun-tahun atau bahkan seumur hidup mereka.
Mengungkapkan status HIV dapat membantu meraih penerimaan diri. Namun harap diingat bahwa tidak semua orang memiliki “keberuntungan” dapat mengungkapkan status HIV dengan rasa aman dan nyaman. Saat kamu memberi tahu status HIV kamu kepada seseorang, itu artinya kamu tidak dapat menariknya kembali. Kamu harus benar-benar memahami siapa dan mengapa kamu memberi tahu seseorang.
Penerimaan diri adalah hal yang penting untuk dibicarakan dengan terapis, terutama untuk orang yang berada dalam situasi rentan, seperti hidup dalam kemiskinan atau di lingkungan yang tidak aman, atau yang memiliki timpat tinggal yang tidak stabil.
Currie mengatakan bahwa salah satu kliennya mengungkapkan status mereka kepada teman sekamar, dan hal berikutnya yang dia tahu, seluruh lingkungan dan pemilik sewa mengetahuinya. Pemilik sewa tidak ingin dia berada di rumah lagi.
Currie menambahkan ada pula klien yang berbagi cerita bahwa setelah memberi tahu teman-teman dekatnya yang dia percaya, mereka justru menghilang dari kehidupannya. Pengabaian sosial terasa seperti pengkhianatan, dan itu sangat berbahaya bagi jiwa emosional seseorang. Kamu sebaiknya hanya memberi tahu kepada orang yang menunjukkan bahwa mereka menghormati dan mencintaimu sehingga kamu merasa dapat dipercaya selamanya.
Dalam hal merangkul status seseorang, beberapa orang bolak-balik antara depresi dan penerimaan diri, karena mereka tidak memiliki lingkungan hidup yang aman atau jaringan teman yang mendukung. Inilah alasan lain mengapa memiliki akses ke layanan kesehatan mental yang tepat sangat penting. Ini membantu memastikan bahwa kamu akan memiliki seseorang yang memberi advokasi dan membantumu saat kamu melewati saat-saat sulit.
Penting untuk diketahui bahwa ketika kamu mengungkapkan statusmu dan mencari penerimaan dari orang lain, tidak ada jaminan bagaimana mereka akan bereaksi terhadap diagnosismu. Tetapi dengan dokter, pekerja sosial, atau dukungan sebaya yang sesuai dari organisasi layanan AIDS atau klinik komunitas, kamu dijamin akan mendapatkan berbagai hal yang bermanfaat untuk menghadapi keadaan sulit dan yang dapat membuatmu kembali menjalani kehidupanmu.
Kamu melangkah kembali ke terapi sehingga kamu dapat menyelesaikan proses kesedihan terkait diagnosis HIV. Kamu memiliki kehidupan yang baik, tetapi ada sejumlah hal yang tidak pernah kamu proses, dan kamu tahu bahwa kamu pantas menjalani hidup yang tidak terbebani oleh drama itu. Begitu juga kita semua.
Jika kamu hidup dengan HIV dan belum pernah berhubungan dengan spesialis perawatan mental, cobalah menjadwalkan kunjungan dengan pekerja sosial atau advokat yang kamu kenal. Jika kamu tidak mengenal pekerja sosial atau komunitas yang dapat membantu dalam hal advokasi, kamu dapat menghubungi tim Saya Berani untuk membantu menemukan organisasi layanan lokal yang berhubungan langsung dengan kesehatan seksual dan mental.
Kamu mungkin tidak merasa itu perlu, tetapi kita semua bisa mendapatkan keuntungan dari berbicara dengan seseorang tentang perasaan kita, bahkan jika itu hanya untuk merefleksikan sejauh mana kita telah berkembang selama hidup dengan HIV.