Photo by beststudio from freepik
Perkembangan zaman dan teknologi pengobatan yang semakin maju memang membuat epidemi HIV dan AIDS bisa dikendalikan, namun tidak dapat dipungkiri masih banyak orang-orang yang hidup dengan HIV (ODHIV). Ini berarti perjuangan kita melawan epidemi HIV dan AIDS belum selesai. Meski demikian ada banyak ODHIV yang terus berani menjalani kehidupan serta berbuat kebaikan meski sampai sekarang belum ada obat yang bisa menyingkirkan HIV dari dalam tubuh.
Karena pengalamannya mencari tahu di usia muda dan ia merasa sendirian saat itu, Chelsea kini menjalankan program penjangkauan remaja HIV dan AIDS.
Baca Juga:
Berikut adalah kisah penyintas tiga ODHIV yang menggunakan pengalaman hidup mereka dengan HIV untuk mendorong orang-orang melakukan tes, berbagi cerita, atau mencari tahu pilihan apa yang terbaik untuk mereka. Hidup dengan HIV bukan berarti kehidupanmu telah berakhir, bahkan dengan perawatan yang tepat dan disiplin, ODHIV bisa memiliki harapan umur yang panjang seperti halnya orang-orang yang hidup tanpa HIV.
Chelsea White
“Ketika saya masuk ke ruangan, hal pertama yang saya perhatikan adalah bahwa orang-orang ini tidak terlihat seperti saya,” kata Chelsea White, mengingat sesi kelompok pertamanya dengan sesama ODHIV.
Chelsea, seorang manajer berusia 30 tahun yang berasal dari North Carolina, Amerika Serikat (AS), dites positif HIV ketika dia baru berusia 20 tahun. Setelah menjalani hubungan monogami selama bertahun-tahun dengan pacar pertamanya sejak masih duduk di bangku SMA, dan beberapa kali mendapatkan hasil tes negatif. Chelsea terinfeksi HIV dari pacar keduanya saat mereka berdua dinyatakan positif.
Bukan sekadar dinyatakan HIV positif, Chelsea pun juga dinyatakan hamil. Saat bayinya lahir, Chelsea melakukan tes lagi. Dia positif, tetapi bayinya negatif. Ternyata, pacarnya terinfeksi HIV selama kontak seksual dengan orang lain, dan dia lalu menularkannya ke Chelsea.
Itu 10 tahun yang lalu. Hari ini Chelsea menikah dengan seorang pria HIV-positif yang ditemuinya setelah diagnosisnya dan mereka memiliki dua anak yang dinyatakan HIV-negatif.
Karena pengalamannya mencari tahu di usia muda dan ia merasa sendirian saat itu, Chelsea kini menjalankan program penjangkauan remaja HIV dan AIDS. Setiap minggu, di bertemu dengan remaja HIV-positif dan berusia 20-an, menasihati mereka tentang pilihan mereka, baik medis maupun pribadi — keputusan sulit yang sama yang harus dia buat sewaktu dinyatakan positif HIV.
Nicholas Snow
Nicholas Snow, 52, melakukan tes HIV secara teratur sepanjang masa dewasanya dan selalu menggunakan metode pengaman seperti kondom. Kemudian, suatu hari, dia mengalami “kecelakaan” dalam praktik seksualnya.
Beberapa minggu kemudian, Nicholas mulai mengalami gejala mirip flu yang parah, yang merupakan tanda-tanda umum dari infeksi HIV awal. Lima bulan setelah itu, dia didiagnosis positif HIV.
Pada saat didiagnosis, Nicholas, seorang jurnalis, tinggal di Thailand. Dia telah kembali ke Amerika Serikat dan tinggal di Palm Springs, California. Dia sekarang mendirikan Desert AIDS Project, sebuah klinik medis yang didedikasikan sepenuhnya untuk pengobatan dan pengelolaan HIV.
Nicholas menyinggung masalah umum dalam hal penularan HIV. “Orang menggambarkan diri mereka sebagai bebas narkoba dan penyakit, tetapi begitu banyak orang yang memiliki HIV tidak tahu bahwa mereka memilikinya,” katanya. Itu sebabnya Nicholas mendorong orang lain untuk melakukan tes HIV secara rutin. Nicholas menggunakan obat antiretroviral satu pil sekali sehari. Dalam waktu 2 bulan setelah memulai pengobatan, viral load Nicholas menjadi tidak terdeteksi.
Nicholas makan dengan baik dan sering berolahraga, dan selain masalah dengan kadar kolesterolnya (efek samping yang umum dari pengobatan HIV), kesehatannya sangat baik.
Ia juga menjadi sangat terbuka terhadap diagnosisnya. Nicholas telah menulis dan memproduksi video musik yang dia harap dapat mendorong orang untuk dites secara teratur.
Dia juga menjadi pembawa acara radio online yang membahas, antara lain, hidup dengan HIV. “Saya menjalani hidup dan menyampaikan kebenaran saya secara terbuka dan jujur,” katanya. “Saya tidak membuang waktu atau energi untuk menyembunyikan bagian dari realitas saya ini.”
Josh Robbins
“Saya masih Josh yang sama. Ya, saya hidup dengan HIV, tetapi saya masih orang yang sama persis. ” Kesadaran itulah yang membuat Josh Robbins, seorang agen pencari bakat berusia 37 tahun di Nashville, Tennessee, AS, memberi tahu keluarganya tentang diagnosisnya dalam waktu 24 jam setelah mengetahui bahwa dia HIV-positif.
“Satu-satunya cara agar keluarga saya baik-baik saja adalah saya memberi tahu mereka secara langsung, agar mereka melihat saya dan menyentuh saya dan menatap mata saya dan melihat bahwa saya masih orang yang persis sama.”
Pada malam Josh menerima kabar dari dokternya bahwa gejalanya yang mirip flu adalah akibat dari HIV, Josh ada di rumah, memberi tahu keluarganya tentang gangguan kekebalannya yang baru didiagnosis.
Keesokan harinya, dia menelepon lelaki yang terinfeksi virus itu, untuk memberi tahu dia tentang diagnosisnya. “Saya pikir dia jelas tidak tahu, dan saya membuat keputusan untuk menghubunginya sebelum pihak rumah sakit mengetahuinya.
Setelah keluarganya tahu, Josh bertekad untuk tidak merahasiakan diagnosisnya. “Bersembunyi bukan untukku. Saya pikir satu-satunya cara untuk memerangi stigma atau mencegah gosip adalah dengan menceritakan kisah saya terlebih dahulu. Jadi saya memulai dengan menulis sebuah blog.”
Blognya, ImStillJosh.com, memungkinkan Josh menceritakan kisahnya, berbagi pengalamannya dengan orang lain, dan terhubung dengan orang-orang seperti dia, sesuatu yang awalnya sulit dia lakukan.
“Saya tidak pernah memiliki satu orang pun yang memberi tahu saya bahwa mereka HIV-positif sebelum saya didiagnosis. Saya tidak mengenal siapa pun, dan saya merasa agak kesepian. Ditambah lagi, saya takut, bahkan kuatir terhadap kesehatan saya.”
Sejak meluncurkan blognya, ribuan orang telah menjangkaunya, hampir 200 di antaranya hanya berasal dari wilayah negaranya saja.
“Aku sama sekali tidak kesepian sekarang. Merupakan kehormatan besar dan sangat rendah hati bahwa seseorang akan memilih untuk membagikan kisah mereka melalui email hanya karena mereka merasakan semacam koneksi karena saya membuat keputusan untuk menceritakan kisah saya di blog saya.”
Sumber: True Stories: Living with HIV