Usianya terbilang masih sangat muda, yakni sekitar 12 tahun. Tetapi anak lelaki tersebut sudah akrab dengan obat-obatan yang mengakibatkan kecanduan seperti obat penenang. Ia juga tak segan-segan menggunakan ganja, belakangan juga menggunakan NAPZA jenis suntikan. Pola hidup yang berbahaya ini ia adopsi dari lingkungan pergaulannya dimana kebetulan pada saat itu ia berdomisili di bagian Timur Jakarta.
Ya, ia nyaris tewas. Namun pada saat itu juga Hadi bertekad untuk bangkit. Dan juga memulai mengonsumsi obat antiretroviral (ARV) yakni Zidovudine, lamivudine dan nevirapine.
Baca Juga:
Sekitar sepuluh tahun kemudian tepatnya pada tahun 2003, Hadi, panggilan akrab dari lelaki yang bernama lengkap Timotius Hadi Wijoyo ini, menuai dari apa yang ia tabur. “Waktu itu saya drop, dan terpaksa dilarikan ke rumah sakit,” kenang Hadi yang pada saat itu diketahui mengidap beragam penyakit endokarditis.
Penyakit endokarditis terjadi ketika kuman masuk ke aliran darah, lalu ke jantung. Kuman kemudian menempel di katup jantung yang abnormal atau jaringan jantung yang rusak, dan berkembang biak di lapisan dalam jantung (endokardium). Kondisi inilah yang memicu peradangan pada endokardium dan kerusakan pada katup jantung. Di samping akibat bakteri, endokarditis juga dapat disebabkan oleh jamur dan mikroorganisme lainnya. Kuman-kuman tersebut masuk ke aliran darah melalui beberapa cara, seperti luka pada mulut, organ lain yang terinfeksi, juga melalui jarum suntik yang terkontaminasi.
Tak hanya menderita endokarditis, Hadi juga diketahui terinfeksi HIV dan bahkan sudah memasuki stadium AIDS dimana jumlah sel CD4 dia pada waktu itu hanya 72. “Jika saya tidak drop dan tidak dibawa ke rumah sakit, serta tidak melakukan tes HIV karena kecurigaan dokter, saya mungkin tidak akan pernah tahu bahwa saya terinfeksi HIV,” kisah Hadi yang kini hidup bahagia dengan seorang istri dan dua orang putra dimana mereka semua berstatus negatif HIV.
Nyaris Tewas
Setelah dirawat selama dua bulan, Hadi masih terus melakukan pola hidup yang lama, “Ya, saya pikir toh saya sudah pasti akan mati ini,” tutur Hadi getir. Ia masih terus menggunakan NAPZA dan mengonsumsi obat penenang. “Karena setiap kali saya periksa ke dokter, pasti ada resep obat penenang, ya sudah sekalian saja saya racik sendiri.” Namun kali ini tindakan Hadi berakibat fatal, pada 2005 ia ditemukan dalam keadaan overdosis.
Ya, ia nyaris tewas. Namun pada saat itu juga Hadi bertekad untuk bangkit. Dan juga memulai mengonsumsi obat antiretroviral (ARV) yakni zidovudine, lamivudine dan nevirapine. “Dan saya kini sudah memasuki 17 tahun hidup bersama HIV,” ujar Hadi yang mengaku tidak mengalami efek samping ARV. Hadi juga memutuskan untuk meninggalkan pergaulan buruk yang membuatnya terjerumus sebagai pecandu NAPZA dan memilih lingkaran pergaulan yang baru.
Pada tahun yang sama, Hadi bergabung dengan Yayasan Karisma, yakni yayasan yang berfokus pada perawatan dan pemulihan (rehabilitasi) pecandu narkoba, tentunya dengan metode yang lebih masuk akal. Yayasan ini juga mengadakan program penjangkauan dan pendampingan bagi pengguna napza, agar mereka bisa mendapatkan informasi tentang pemulihan napza, dampak buruk penggunaan napza, informasi HIV dan AIDS, Hepatitis C, TBC, dan informasi layanan kesehatan diberbagai pusat kesehatan masyarakat. Belakangan Yayasan Karisma juga mengembangkan program yang mencakup kesadaran HIV dan AIDS, konseling dan tes HIV serta Hepatitis C, yang dilanjutkan dengan program pasca perawatan.
“Pada dasarnya semua pecandu pasti ingin sembuh, tapi seringkali mereka tidak bisa menemukan sosok role model yang bisa membantu mereka untuk lepas dari kecanduan,” terang Hadi yang akhirnya berhasil melepaskan kecanduannya setelah 3 bulan menjalani rehabilitasi. Di Yayasan Karisma, Hadi juga mulai menapaki perjalanan karirnya, tepatnya mulai 2006 hingga 2015, di mana posisi terakhir ia menjabat sebagai field coordinator dan counselor untuk HIV dan AIDS.
Lepas dari Yayasan Karisma, Hadi direkrut oleh peneliti HIV dan AIDS Prof. Dr. Zubairi Djoerban, SpPD-KHOM, untuk terlibat dalam proyek penelitian awal HIV Prevention Trials Network (HPTN) 074, khusus bagi pengguna narkoba suntik (penasun) yang merupakan salah satu populasi kunci dalam pengendalian penyakit HIV dan AIDS. Penelitian tersebut dilakukan di Indonesia, Vietnam, dan Ukraina. Perjalanan Hadi terus berlanjut dengan bergabung sebagai program officer di Jaringan Indonesia Positif, yakni sebuah organisasi orang dengan HIV (ODHIV) nasional yang tersebar hampir di seluruh provinsi di Indonesia.
Ingin Kiprah ODHIV di Indonesia Semakin Diperluas
Sebagai ODHIV yang kiprahnya pada program penanggulangan epidemi HIV dan AIDS terbilang cukup lama, Hadi mengaku masih kecewa dengan minimnya keterlibatan ODHIV untuk kebijakan nasional. “ODHIV hanya sekedar dijadikan sasaran, hanya dilibatkan pada saat kebijakan sudah diambil oleh pemerintah; padahal yang tahu betul bagaimana perkembangan HIV dan AIDS di lapangan ya kami ini para penyintas HIV,” kata Hadi.
“Tapi yang ada ODHIV mengalami diskriminasi, tidak diberikan kesempatan kerja dan tidak dilibatkan pada saat mengambil kebijakan, keputusan dan anggaran serta merancang program.” keluh Hadi menutup pembicaraan.
Tentu kita berharap agar para penyintas HIV seperti Hadi dan ODHIV lainnya bisa lebih bersinergi dengan pemerintah untuk dapat mengatasi epidemi HIV dan AIDS di Tanah Air.