Ayu Oktariani, 33 tahun, terinfeksi HIV dari sang suami yang merupakan pecandu narkoba suntik di masa sekolah dulu. pada tahun 2009, bermula ketika sang suami sakit keras dan pemeriksaan lab menunjukkan bahwa suaminya positif mengidap human immunodeficiency virus atau HIV dan sudah memasuki stadium AIDS.
“Saya berusaha keras menyeimbangkan efek samping dengan manfaat obat. Jika efeknya adalah lemas, maka saya menambah energi dengan makan sehat dan tidur secara teratur. Jika efeknya adalah pusing, maka saya menyesuaikan dengan jadwal aktivitas agar tidak terganggu.”
Baca Juga:
Ketika hasil diagnosis disampaikan, perempuan yang kini aktif sebagai anggota Dewan Nasional Ikatan Perempuan Positif Indonesia ini — sebuah jaringan nasional pertama bagi perempuan Indonesia dengan HIV dan terdampak AIDS — turut memeriksakan diri. Dan dari sana diketahui, bahwa ia juga positif terinfeksi HIV.
Dua minggu kemudian setelah dinyatakan bahwa ia mengidap HIV, sang suami meninggalkannya untuk selama-lamanya. Tak pelak, beban berat pun disandangnya lantaran ia memiliki anak, dan belum lagi stigma negatif yang diberikan masyarakat kepada Ayu dan keluarganya, terutama saat mengetahui bahwa sang suami meninggal karena AIDS. Tapi bukan Ayu namanya jika ia tak segera bangkit dan memutuskan “berdamai” dengan HIV, “Anak dan orangtua adalah sumber kekuatan untuk terus maju ke depan dan melanjutkan hidup dengan lebih baik,” tegas Ayu.
Sempat Khawatir
Diakui Ayu, awalnya ia memiliki kekhawatiran yang luar biasa mengenai HIV, apalagi ia menyaksikan sendiri suaminya meninggal setelah menghadapi fase AIDS yang begitu sulit. “Saya sempat merasa takut kondisi saya akan memburuk seperti suami saya. Tapi kemudian dokter menjelaskan tentang obat antiretroviral (ARV) dan saya memulai terapi, lalu pelan-pelan mulai mengenal lebih banyak ODHIV lainnya yang tetap bertahan meskipun sudah belasan tahun terinfeksi HIV bahkan tetap hidup sehat,” jelas Ayu dengan antusias.
“Semua hal tersebut termasuk kehadiran anak saya, membuat saya memutuskan untuk bangkit dan berdamai dengan keadaan yang tidak bisa saya ubah. Karena marah dan penolakan tidak akan mengubah keadaan saya, sehingga saya memutuskan untuk menjalani hidup sebaik mungkin dan berdamai dengan keadaan,” imbuh Ayu yang selain aktif untuk berkampanye isu HIV dan AIDS, juga kerap melakukan advokasi untuk pengobatan hepatitis C agar mereka dapat mengakses obat secara gratis.
Berbicara mengenai obat, diakui Ayu ia tidak langsung mengonsumsi ARV saat didiagnosis positif HIV dan baru menjalani terapi ARV pada 2010. Pada satu tahun pertama sewaktu didiagnosis, ia menjalani pengobatan untuk TB, pengobatan pencegahan kotrimoksazol dan juga secara bersamaan melakukan pengobatan herpes zoster.
“Pada dasarnya semua obat-obatan yang saya minum, tidak hanya ARV, memberikan banyak efek samping,” kenang Ayu. Namun karena tekad Ayu yang kuat untuk segera pulih dan tidak ingin mati sia-sia karena kondisi yang terus menurun akibat HIV, Ayu pun “ngotot” melanjutkan terapi ARV termasuk menghadapi efek samping yang ia terima.
“Saya berusaha keras menyeimbangkan efek samping dengan manfaat obat. Jika efeknya adalah lemas, maka saya menambah energi dengan makan sehat dan tidur secara teratur. Jika efeknya adalah pusing, maka saya menyesuaikan dengan jadwal aktivitas agar tidak terganggu,” demikian kiat Ayu yang telah bersahabat dengan HIV selama sepuluh tahun. Agar Ayu tetap bisa minum obat secara teratur, ia rutin menggunakan alarm sebagai pengingat waktu dan juga mendapatkan bantuan dari anak dan suaminya sekarang.
Sebagai ODHIV, Ayu pernah mendapat perlakukan diskriminatif yakni dipecat dari pekerjaan lantaran status HIV-nya. “Saya kemudian memberikan keyakinan kepada diri saya, bahwa saat ada penolakan di satu tempat, saya tidak perlu berkecil hati. Karena suatu hari alam semesta akan menunjukan kebenaran, bahwa saya bisa tetap sehat dan HIV tidak mengurangi nilai saya sebagai manusia,” dan terbukti keyakinan itu berbuah nyata, di mana Ayu tercatat sebagai aktivis HIV dan AIDS yang sangat aktif di Tanah Air.