Ratri Pearman a.k.a Suksma Ratri, adalah bukti hidup bahwa HIV bukan berarti membuat seseorang berhenti berkarya dan memberi kontribusi bagi dunia. Betapa tidak, wanita yang telah “bersahabat” dengan HIV sejak 13 tahun silam ini selain aktif bekerja sebagai Communication Office di Solidaridad Network Indonesia, juga memiliki pekerjaan sampingan sebagai penerjemah, dan telah menelurkan beberapa novel yang bisa Anda nikmati dalam bentuk PDF. Dan tak jarang di waktu senganggnya ia akan sibuk berdansa salsa atau menikmati peran sebagai model busana wanita, Sri Kendes. Suatu kehidupan yang sangat sibuk, bukan?
Sadar bahwa ODHIV harus mengonsumsi ARV secara displin, maka Ratri selalu memasang alarm di handphone agar ia tidak pernah melewatkan jadwal meminum ARV. Termasuk membawa kotak obat ke manapun ia pergi. “Entah itu pergi jauh atau dekat, lama atau sebentar, saya selalu membawa kotak obat untuk beberapa hari. Selain itu saya juga terbuka pada semua teman dan anggota keluarga, sehingga ketika tiba jamnya minum obat, mereka seringkali ikut mengingatkan saya,” kata Ratri yang juga selalu memastikan bahwa stok ARV yang ia miliki cukup aman.
Baca Juga:
Terinfeksi HIV dari almarhum suami yang merupakan pengguna Napza suntik, pada waktu itu Ratri tak segera mengonsumsi obat antiretroviral (ARV) lantaran saat itu, pada tahun 2006, ARV hanya diberikan pada ODHIV dengan jumlah CD4 di bawah 200 sesuai ketetapan WHO. “Kebetulan CD4 saya waktu itu masih ada di kisaran 500, jadi dokter mengatakan bahwa saya belum perlu memulai terapi. Saya hanya diwanti-wanti untuk menjaga kondisi dengan minum vitamin, menjaga pola makan dan pola istirahat, serta rajin tes CD4,” kenang Ratri yang juga beberapa kali diundang menjadi pembicara pada perhelatan HIV dan AIDS internasional.
Efek Samping ARV
Ratri akhirnya memutuskan untuk memulai terapi ARV pertama kali pada awal tahun 2012, ketika jumlah CD-nya mencapai 198. Tidak mudah bagi Ratri untuk mengonsumsi ARV lantaran efek samping yang cukup hebat, sehingga ia kemudan mengganti rejimen obat yang digunakan yakni dari Zidovudine, lamivudine dan nevirapine menjadi Stavudin, lamivudine dan nevirapine, meskipun saat itu sudah ada seruan dari WHO bahwa Stavudin sudah tidak boleh lagi didistribusikan. Namun efek samping yang diderita Ratri masih berlanjut dan malah semakin parah ruamnya, sehingga sekali lagi dokter mengganti rejimen obat menjadi Stavudin – Lamivudine – Efavirenz.
Sekali lagi, efek samping tidak mereda, hanya berganti dari efek samping yang ditimbulkan zidovudine dan nevirapine, menjadi efek samping Efavirenz. Akhirnya setelah berkonsultasi dengan rekan dokter dari negara lain, tahun 2013 untuk sementara Ratri berhenti mengonsumsi ARV, dan pada 2014 ia mulai menggunakan TLE dan sekarang beralih pada Aluvia – Truvada. Bayangkan jika saat itu Ratri menyerah pada efek samping dan memutuskan untuk berhenti mengonsumsi ARV selama-lamanya, nama perempuan multi talenta ini mungkin tinggal sekadar kenangan.
Lantas bagaimana Ratri mengatasi efek samping yang ia derita dari ARV? “Ketika awal mengonsumsi ARV, Hb saya drop jauh, sedangkan SGOT dan SGPT melonjak jauh di atas rata-rata. Saya pun mengonsumsi vitamin penambah darah yang disarankan dokter dan obat tradisional Cina untuk menurunkan angka SGOT dan SGPT. Untuk ruam, sebelum akhirnya jadi semakin hebat, saya menghindari makanan yang menjadi pemicu, seperti makanan laut. Tetapi ketika efek samping sudah sangat mengganggu produktifitas kerja dan kegiatan sehari-hari, akhirnya konsumsi ARV diganti atau dihentikan sementara. Karena efek samping yang hebat bukan pertanda badan sedang beradaptasi, tapi justru sedang melakukan penolakan karena tidak ada kecocokan,” jelas Ratri yang berdomisili di Jakarta ini.
Tips Ratri Mengonsumsi ARV Secara Teratur
Sadar bahwa ODHIV harus mengonsumsi ARV secara displin, maka Ratri selalu memasang alarm di handphone agar ia tidak pernah melewatkan jadwal meminum ARV. Termasuk membawa kotak obat ke manapun ia pergi. “Entah itu pergi jauh atau dekat, lama atau sebentar, saya selalu membawa kotak obat untuk beberapa hari. Selain itu saya juga terbuka pada semua teman dan anggota keluarga, sehingga ketika tiba jamnya minum obat, mereka seringkali ikut mengingatkan saya,” kata Ratri yang juga selalu memastikan bahwa stok ARV yang ia miliki cukup aman.
“Saya biasa melakukan pengambilan ketika stok obat di tangan saya maksimal tinggal 4 hari lagi; minimal ketika stok di tangan sudah tinggal untuk 7 hari, saya selalu melakukan pengambilan. Dan setiap kali akan melakukan perjalanan saya periksa dulu sisa obat yang ada, lalu saya menghitung jumlah hari perjalanan untuk memastikan stok saya dalam keadaan aman,” imbuh Ratri yang karena tuntutan pekerjaan kerap kali bepergian ke luar kota bahkan pulau.
“Jika sekiranya rentang waktu perjalanan cukup lama, saya biasanya mengajukan pengambilan untuk dua bulan sekaligus. Dan ketika melakukan perjalanan, saya tidak pernah membawa stok obat secara pas-pasan. Misalnya jika bepergian untuk satu minggu, saya bawa stok obat untuk dua minggu, atau minimal untuk 10 hari,” demikian Ratri yang tidak tidak pernah menganggap disiplin minum ARV sebagai beban tambahan dalam hidup. ”Anggaplah sebagai sebuah kebutuhan dan rutinitas seperti makan, minum, dan bernafas. Saya belum pernah dengar orang yang malas atau bosan bernafas. Kenapa? Ya karena manusia butuh bernafas.”
Tidak Memaksa Orang Lain Untuk Menerima Dirinya Apa Adanya
Lebih dari sepuluh tahun menyandang predikat sebagai ODHIV, bukan berarti Ratri bebas dari perlakuan yang tidak menyenangkan dari lingkungan sekitar. Namun, Ratri sendiri berprinsip bahwa ia tidak bisa memaksa orang untuk suka atau mau berteman dengan dirinya pun memaksa orang lain untuk dirinya apa adanya. Ia juga tak ambil pusing jika ada gosip seputar dirinya, kecuali jika sudah berada pada tahap perundungan, penolakan atau tindakan diskriminatif, tak jarang ia akan melawan balik.
“Tidak semua tindakan perlu kita respon. Selama ini saya pribadi tidak pernah mengalami perlakuan diskriminatif atau hal-hal yang menstigma, apalagi sampai ke perundungan yang berkaitan dengan status HIV saya. Kalaupun ada, mungkin saya yang tidak sadar dan saya anggap itu karena mereka tidak menyukai saya. Dan saya memilih untuk fokus kepada orang-orang yang memang mendukung saya,” tegas Ratri yang sering wara wiri di media untuk berbagi mengenai kisah hidupnya sebagai ODHIV.
Ya, ibu dari satu anak ini memang layak dijadikan panutan bagi para ODHIV, di mana ia sendiri tidak pernah merasa terpuruk sejak mengetahui hasil VCT. “Saya merasa semua berjalan seperti biasa, dan saya pribadi merasa ini disebabkan karena konseling pra-test yang baik kualitasnya dan cara konselor yang menyampaikan dengan jelas. Karena jika kita berbicara tentang kematian, kita semua toh pada akhirnya akan mati, dan saya percaya umur itu di tangan Tuhan bukan di tangan virus, jadi ya santai saja,” ungkap Ratri.
Sikap Ratri yang santai menyikapi HIV yang bersarang di tubuhnya, tak lepas dari cara Ratri memandang HIV sebagai teman yang paling setia, sebab ke manapun ia berada, dalam keadaan susah maupun senang, HIV akan selalu ada. “Dimusuhi pun percuma, dia tidak akan pergi. Jadi ya lebih baik diajak bersahabat saja. Lagipula, virus ini telah membukakan banyak jendela pengetahuan, pergaulan, pengalaman, dan wawasan untuk saya. Bertambahnya ilmu saya, adalah karena virus ini. Bagaimana saya bisa menjadi saya yang hidup di hari ini, adalah atas “jasa” dari virus ini juga. Dia turut andil membentuk karakter saya, mengubah cara pandang saya terhadap banyak hal dan mendewasakan saya.”