Tahukah kamu bahwa kucing ternyata lebih dari sekadar sahabat berkaki empat; menurut para peneliti dari Israel Institute of Technology in Haifa seperti yang dikutip dari situs medicalnewstoday, ternyata kucing juga bisa membantu pengembangan obat baru untuk HIV.
ARV bekerja dengan mengurangi kadar HIV dalam darah hingga ke titik di mana virus tidak dapat terdeteksi. Ini berarti bahwa virus tidak mempengaruhi kesehatan seseorang dan tidak dapat ditularkan ke orang lain.
Baca Juga:
Ya, para ilmuwan tersebut berhasil menguraikan struktur protein yang menyebabkan resistensi obat pada feline immunodeficiency virus (FIV) — umumnya diketahui sebagai Feline AIDS adalah lentivirus yang menyerang kucing — yang juga terdapat pada human immunodeficiency virus (HIV). Ini artinya, penemuan ini dapat menolong ODHIV yang mengalami resistensi terhadap ARV.
HIV adalah virus yang menyerang sel T tubuh, yaitu sel kekebalan yang membantu kita mencegah infeksi dan penyakit. HIV-1 adalah jenis HIV yang paling umum yakni terhitung sekitar 95 persen dari semua kasus. Ketika HIV pertama kali muncul pada 1980-an, para ilmuwan hanya mentahui sedikit tentang HIV, dan belum ditemukan ARV sehingga tidak sedikit ODHIV yang memasuki sindrom AIDS dan meninggal dunia. Tetapi sekarang, seseorang dengan HIV dapat hidup lama dan sehat berkat obat antiretroviral.
ARV bekerja dengan mengurangi kadar HIV dalam darah hingga ke titik di mana virus tidak dapat terdeteksi. Ini berarti bahwa virus tidak mempengaruhi kesehatan seseorang dan tidak dapat ditularkan ke orang lain. Namun, tidak semua ODHIV yang menerima obat antiretroviral akan mencapai tingkat virus yang tidak terdeteksi, dan beberapa ODHIV justru mengembangkan resistansi terhadap obat ini.
Dengan pemikiran ini, para ilmuwan mencari metode untuk mengembangkan obat baru untuk HIV, dan siapa sangka ternyata kucing dapat membantu memenuhi kebutuhan ini. FIV mirip dengan HIV; itu menyerang sistem kekebalan kucing, membuatnya rentan terhadap infeksi. Meskipun FIV dan HIV termasuk dalam kelompok virus yang sama, FIV tidak dapat ditularkan ke manusia. Namun, karena kesamaan antara kedua virus, para ilmuwan telah mempelajari FIV sebagai cara untuk mempelajari lebih lanjut tentang HIV.
Untuk studi terbaru ini, para peneliti berfokus pada protein yang disebut “reverse transcriptase”. Pada FIV dan HIV, protein ini dapat “menyalin” genom RNA virus ke dalam DNA, di mana DNA ini kemudian akan “ditanamkan” ke dalam genom inang, yang menyebabkan sel-sel mereka mereplikasi virus. Pada FIV, diketahui bahwa “reverse transcriptase” resisten terhadap reverse-transcriptase inhibitor (RTI), obat antiretroviral yang dapat memblokir protein ini pada ODHIV.
Menggunakan teknik pemurnian dan kristalisasi, para peneliti mampu menguraikan struktur 3-D dari protein “reverse transcriptase” FIV, yang mengungkap mekanisme di balik resistensi protein terhadap RTI. Mereka menemukan bahwa protein “reverse transcriptase” dalam FIV menghasilkan “kantong tertutup” yang mencegah RTI mengikat secara efektif padanya dan membuatnya resisten terhadap obat. Ini berarti, temuan ini tidak hanya mengarah pada pengobatan baru untuk FIV, tetapi juga dapat membuka jalan bagi perawatan HIV di masa depan.