Photo from www.capnw.org
Aku lahir pada tahun 1980 di Oregon Selatan, Amerika Serikat (AS). Kemudian kami pindah ke Portland ketika aku berusia 7 tahun. Aku menjadi aktif secara seksual pada usia 12 tahun. Ketika berusia 13 tahun, ibu mengizinkan pacarku yang berusia 17 tahun untuk tinggal bersama di rumah.
Menjadi aktif secara seksual sejak usia muda, aku menjalani pemeriksaan medis setiap tahun.
Baca Juga:
Sampai hari ini, aku tidak mengerti mengapa ibu mengizinkan ini. Ibuku tidak memiliki orang tua atau bimbingan yang tepat dalam hidupnya, jadi mungkin dia pikir itu baik-baik saja atau itu akan membuatku bahagia. Nyatanya, aku memiliki emosi yang campur aduk terhadap hal itu, tetapi rumah masa kecilku selalu penuh dengan remaja, pesta, pria, dan kekacauan, jadi terasa normal, meskipun dia sering melakukan kekerasan terhadapku.
Menjadi aktif secara seksual sejak usia muda, aku menjalani pemeriksaan medis setiap tahun. Pada usia 13, 14, dan 15, aku menerima hasil tes HIV negatif bersama dengan yang lainnya. Kemudian pada tanggal 16 November 1996, aku memiliki firasat buruk. Aku sudah tahu tentang risiko HIV dan AIDS serta pentingnya menggunakan perlindungan, tetapi aku tidak suka kondom dan memilih untuk tidak menggunakannya dengan pasangan karena aku percaya padanya. Kami selalu bersama kecuali saat dia bekerja, jadi aku tidak berpikir dia berhubungan seks dengan orang lain. Namun tetap saja, saat itu aku memiliki firasat buruk.
Tak lama setelah kunjungan dokter itu, aku diminta datang kembali untuk memeriksa beberapa hasil tes. Begitu tiba, aku diberitahu terinfeksi HIV. Saat itu aku sangat terkejut. Aku menangis di hadapan dokter. Dia meluangkan waktu sampai aku siap untuk berbicara tentang langkah selanjutnya untuk perawatan kesehatan di masa depan. Aku takut akan seperti apa hidupku nantinya. Aku berusia 15 tahun, baru saja akan memasuki usia 16 tahun. Aku takut pulang untuk memberi tahu keluarga, terutama ibu dan pasanganku. Aku tahu dia akan menyalahkanku. Aku memikirkan semua stigma dan rasa malu yang sekarang akan datang ke dalam hidupku. Bagaimana aku akan memberitahu teman-teman? Aku sudah menjadi orang buangan dalam keluarga, dan sekarang malah mendapat hal ini.
Orang-orang di klinik bertanya apakah ada orang yang bisa mereka hubungi untuk menjemputku, mengingat usiaku saat itu baru 15 tahun. Aku bilang tidak. Kemudian mereka bertanya apakah aku tahu tertular dari dari siapa. Aku memberi tahu mereka kalau aku tertular dari pacar, tetapi tidak menyebutkan namanya karena dia adalah seorang imigran yang tidak memiliki dokumen dan berasal dari Meksiko. Aku takut dia akan menyakitiku jika aku memberikan informasinya.
Klinik memberi pamflet tentang tempat-tempat di mana aku bisa mendapatkan layanan, termasuk organisasi layanan AIDS lokal. Mereka juga mengatakan bahwa aku harus menghubungi klinik HIV di Multnomah, untuk mendapatkan obat-obatan dan mulai menerima layanan di sana, dan bahwa aku tidak lagi menjadi klien di klinik mereka.
Mereka mengantarku pulang dengan taksi. Dalam perjalanan pulang, aku benar-benar shock, mati rasa. Namun aku marah pada diri sendiri, berpikir, bahwa ini tidak akan pernah terjadi. Aku takut membayangkan bagaimana reaksi ibu.
Sekembalinya ke rumah, aku memberi tahu ibu dan semua saudara. Ibu berdiri, mulai meninju pintu depan, mondar-mandir, dan membentakku, mengatai bahwa aku seorang pelacur, bahwa ini semua salahku, dan bagaimana aku bisa melakukan ini pada Ibu. Aku duduk di sana menangis dengan kepala tertunduk, menyaksikan air mata dari seluruh keluarga. Tidak ada pelukan, tidak ada dukungan emosional, hanya terlihat kesedihan dan rasa jijik.
Keadaan menjadi lebih buruk setelah itu. Sekarang saatnya untuk memberi tahu pacarku, yang tinggal tidak jauh dari tempat tinggalku. Ibu membantu memberitahunya. Aku pikir dia tidak mengerti sepenuhnya pada saat itu karena dia tidak bisa berbahasa Inggris, jadi sulit untuk mencoba memberitahunya bahwa dia mungkin mengidap HIV dan bahwa klinik mengatakan dia harus dites.
Ketika petugas di klinik menelepon untuk mengatakan bahwa dia perlu datang untuk mengetahui hasilnya, kami segera tahu bahwa hasilnya positif. Aku pergi bersamanya. Dia kaget, lalu menunjukkan kemarahannya kepadaku. Kami pulang, hampir tidak berbicara, tetapi dia mengatakan kepadaku untuk tidak pernah memberi tahu keluarganya, bahwa ini semua salahku, bahwa jika berita itu sampai ke siapa pun di keluarganya, dia akan membunuhku. Aku pikir, sampai saat itu, dia sengaja mengelak untuk mengetahui status HIV-nya. Aku tidak berpikir dia jujur tentang riwayat seksual pribadinya di Meksiko.
Hubungan kami sudah buruk dan sekarang lebih buruk. Pacarku semakin sering megonsumsi minuman keras dan obat terlarang, mengakibatkan dia pulang dalam keadaan sangat mabuk sehingga sering memperkosaku. Namun aku tetap bersamanya, takut tidak ada orang lain yang menginginkanku karena aku positif HIV.
Pengalaman SMA yang Menyakitkan
Setelah diagnosis HIV, semuanya berubah. Aku menumbuhkan sikap masa bodoh, membenci dunia, membenci keluarga dan bahkan diri saya sendiri. Tugas sekolah membuatku menderita. Sebelumnya, aku adalah siswa dengan nilai A, bersemangat untuk berprestasi. Tapi sekarang, aku gagal di tahun pertama, harus memulai dari awal lagi di tahun berikutnya.
Aku sering pergi dari rumah, mulai minum dan berpesta lebih dari sebelumnya, serta bereksperimen dengan zat narkotika yang berbeda-beda. Hidup menjadi tak keruan. Aku menjadi orang yang dingin, pemarah, dan penuh kegetiran.
Awal tahun 1997, aku keluar dari rumah untuk tinggal bersama pacar dan keluarganya. Ketika tidak ingin bersama pacar, aku akan bersembunyi di rumah seorang teman. Tapi pacarku akan mencari dan mencambukku jika dia menemukanku. Hingga aku memutuskan bahwa aku harus benar-benar melepaskan diri dari keluarga dan pacar. Di tengah semua ini, aku melakukan beberapa hubungan one-night stand, dan tidak memberi tahu mengenai statusku. Aku tahu ini salah tetapi tidak peduli.
Sementara itu, sahabatku telah mengungkapkan statusku kepada suaminya meskipun aku memintanya untuk menyimpannya sendiri. Suatu kali, saat membantunya menyiapkan kentang, dia berkata, “Suamiku tidak ingin kamu menyentuh makanan apa pun.” Aku langsung tahu bahwa dia telah mengungkapkannya. Aku terluka, teman terdekat sejak kecil baru saja mengkhianatiku.
Persahabatan kami putus setelah itu. Aku tidak punya siapa-siapa untuk diajak bicara tentang hal ini, dan terutama tidak ada tempat bagi perempuan. Aku ingat berjalan ke agen layanan AIDS lokal, yang dipenuhi dengan kaum pria. Aku tidak melihat perempuan yang positif di sekitar, jadi aku merasa hanya perlu diam terhadap diagnosisku dan mencoba menjalani hidup senormal mungkin. Tapi hidupku jauh dari normal.
Aku memulai pengobatan HIV pada awal tahun pertama, September 1997, dengan zidovudine, lamivudine dan nevirapine. Aku sangat menderita. Aku akhirnya tinggal dengan ibu karena pacarku tidak ingin keluarganya melihatku sakit. Aku mengalami migrain, mual, muntah. Aku tidak bisa pergi ke sekolah atau bahkan bekerja. Aku menghentikan obat-obatan itu beberapa bulan setelah memulainya. Aku tidak berhasil lulus sekolah menengah. Ibu sangat marah dan melihat diriku sebagai suatu kegagalan.
Mengambil Langkah Menuju Kebebasan
Aku harus mencari alternatif untuk sekolah menengah, jadi aku masuk ke Job Corps, program pelatihan kerja nasional untuk orang dewasa muda. Pada akhir pekan, aku akan kembali ke keluarga atau pacarku. Job Corps adalah nilai tambah, tempat di mana tidak ada yang mengenal atau mengetahui sejarah hidupku. Namun saat itu aku harus menunjukkan riwayat medis kepada administrator, dan aku diharuskan untuk mendapatkan obat HIV setiap hari dari perawat. Orang lain di Corps sering bertanya mengapa aku harus menemui perawat dua kali sehari. Aku hanya memberi tahu orang-orang bahwa aku memiliki kondisi kesehatan tertentu.
Aku harus memasukkan pil besar ke dalam air setiap malam seperti Alka-Seltzer. Itu mengerikan. Akhirnya, aku membuka statusku dengan salah satu teman sekamar. Aku takut dia akan menatapku dengan jijik, tapi dia adalah teman yang sportif meski kami tidak banyak membicarakannya.
Kadang-kadang aku berbohong kepada pacar dan keluarga dan mengatakan bahwa aku tidak bisa pergi untuk akhir pekan. Kemudian aku akan bergaul dengan siswa lain di daerah tersebut, yang dirasa lebih aman. Aku berhasil melewati Job Corps meminum obat hampir sepanjang waktu, bukan karena aku ingin tetapi karena Corps membutuhkannya dariku.
Aku mengikuti GED, singkatan dari General Education Development. GED adalah sebuah program test yang bertujuan untuk kamu yang ingin berkuliah. Kemudian aku menyelesaikan studi untuk lisensi asisten perawat bersertifikat (CNA), lulus dari corps pada akhir tahun 1998. Aku ingin mendapatkan tempat sendiri sehingga bisa mandiri. Aku merasakan pencapaian yang luar biasa meninggalkan corps dengan GED, lisensi CNA, dan dana untuk apartemen dan pekerjaanku. Tetapi kehidupan pribadiku jauh lebih kacau.
Syukurlah, aku sangat bersemangat dengan pekerjaan menjadi asisten perawat. Itu membantu membuktikan pada diri sendiri bahwa aku cukup kuat untuk terus bergerak maju, meskipun masih banyak lagi yang kubutuhkan, seperti seseorang untuk diajak bicara, seseorang yang bisa memberikan pelukan, dan sekadar mengatakan bahwa aku akan baik-baik saja.
Aku bahkan bekerja pada hari libur untuk menghindari berada di sekitar keluarga pacar. Kalau sedang tidak bekerja, aku akan berpesta. Aku juga menghentikan pengobatan setelah meninggalkan sekolah. Aku tidak bisa menanganinya dan hanya ingin hidup terasa normal.
Namun setelah berada dalam hubungan yang kasar begitu lama, aku mulai melawan, memanggil polisi, menunjukkan bahwa aku tidak mau menerima pelecehan darinya lagi. Dia akhirnya pindah tetapi tetap menjadi satu-satunya orang yang terus berhubungan seks denganku karena aku takut menularkan HIV ke orang lain. Kami hanya bertemu untuk berhubungan seks saja.
Aku telah memasang alat kontrasepsi di lenganku pada usia dini sehingga tidak akan hamil, tetapi pada usia 17 tahun, aku melepasnya. Dengan memberontak, aku sebenarnya ingin hamil, tetapi pada awalnya tidak bisa. Kemudian, setiap malam setelah aku dan rekan kerja sedang istirahat makan malam, aku mulai sakit. Saat itu aku tidak minum obat HIV. Aku menelepon ibu, yang segera menjawab, “Kamu hamil.”
Kehidupan Baru Dalam Bentuk Foto
Dia ternyata benar. Hasil USG menunjukkan aku sudah hamil hampir lima bulan. Sekali lagi, hidup berubah dalam sekejap. Aku segera memulai kembali pengobatan HIV, karena saat itu harus memastikan bahwa aku sehat untuk si kecil di dalam diriku.
Ketika memberi tahu mantan pacar bahwa aku hamil, dia mengatakan itu bukan miliknya. Aku tahu dia salah karena hanya dia yang pernah bersamaku. Aku terus menemuinya, tetapi hanya untuk kenyamanan. Dia membeli pakaian dan sepatu untuk bayi itu dan membawaku keluar. Aku berhenti bekerja, meninggalkan apartemen, dan pindah kembali bersama keluarga untuk menerima bantuan. Ibuku senang aku akan punya anak. Aku benar-benar fokus untuk memiliki bayi ini dan berusaha mengubah hidup.
Orang yang tahu bahwa aku positif bertanya apakah aku akan melakukan aborsi. Gila! Mengapa aku akan melakukan itu? Pada bulan terakhir kehamilan, aku berada di rumah sakit dua kali seminggu sehingga mereka dapat memantau bayi karena obat HIV yang kuminum. Aku akan menjadi ibu yang HIV-positif, dan berpikir, bagaimana aku akan menjalani hidup seperti ini?
Sebelum dibius untuk operasi caesar, aku bertanya kepada mahasiswa kedokteran di sana apakah mereka mau memotret kelahirannya. Foto-foto itu menunjukkan para dokter yang mengeluarkan bayi dan segera membersihkannya dengan larutan khusus. Ketika aku bangun, ibu memeluknya dan mengambil foto. Aku menamainya Daniella. Kelahirannya memberiku harapan untuk masa depan, sekarang aku memiliki seseorang untuk mencintaiku — dan seseorang yang dapat aku cintai. Dia dinyatakan negatif HIV, yang menurutku merupakan keajaiban mutlak. Hidup memiliki caranya sendiri untuk menunjukkan kepadamu cahaya ketika ada kegelapan.
Seorang Lelaki Baru Melangkah Ke Dalam Hidupku
Suatu malam, saudara laki-lakiku menyuruh temannya Jason mengasuh Daniella. Malamnya, Jason dan aku mulai berbicara. Tunggu, pikirku. Orang ini menarik dan benar-benar mendengarkanku. Kami berbicara sampai ibu menjemput kami kembali. Kemudian kami mulai berbicara setiap hari. Untuk pertama kalinya, aku tertarik pada seseorang yang penyayang dan baik hati, seseorang yang benar-benar memperhatikanku.
Kami mulai berkencan. Aku tidak mengungkapkan status HIV, aku tidak ingin membuatnya takut. Bahkan ketika kami tidur bersama, aku tidak mengungkapkannya. Aku tahu ini salah, tapi aku takut. Kemudian keluargaku memutuskan untuk memberitahunya. Pertama iparku memberitahu statusku, lalu ibuku.
“Kenapa kamu tidak memberitahuku?” Dia bertanya. Aku baru saja mulai menangis, dan merasa malu. “Jika kamu memberi tahuku, aku akan memiliki opsi untuk memilih,” katanya. Dia tidak marah, dia hanya ingin tahu kenapa. Kemudian dia berkata, “Saya mengerti mengapa kamu tidak mengatakan apa-apa, tetapi lebih sulit untuk mendengarnya dari orang lain.”
Dia sangat manis tentang hal itu, dan kami berbincang singkat tentang HIV. Setelah itu, kami mencoba menggunakan pengaman, tetapi seringkali kami memilih untuk tidak melakukannya. Dia berkata, “Saya memilih untuk tetap bersamamu, saya tahu risikonya.” Kami tidak tahu pada saat itu bahwa tidak terdeteksi berarti kamu tidak dapat menularkan HIV secara seksual kepada seseorang, yang sekarang kami sebut U=U. Tapi dia kemudian melakukan tes HIV dengan hasil negatif.
Kami melanjutkan perjalanan sebagai pasangan, Jason berperan sebagai ayah Daniella. Dia sudah menikah, tetapi istrinya telah meninggalkannya dan membawa putri mereka bersamanya, yang membuatnya marah. Sekitar enam bulan setelah hubungan kami, aku kembali tidak minum obat HIV dan meninggalkan Jason untuk merawat Daniella sementara aku pergi keluar dan berpesta dengan ibu. Suatu malam, aku pulang ke rumah dan Jason berkata kepadaku, “Di penghujung hari, ketika semua pesta sudah berakhir, siapa yang akan menemanimu? Bukan orang-orang di bar itu, tapi aku. Jika kamu mengizinkan saya untuk melakukannya.”
Bangkit Membawa Perubahan
Kata-kata itu memukulku dengan keras. Mengubah perspektifku tentang kehidupan dan arah yang aku pilih. Aku mengatakan kepadanya bahwa aku akan meminum obat HIV lagi untuk dia dan Daniella. “Jika kamu akan meminum obat untuk kami dan bukan untuk diri kamu sendiri, jangan meminumnya sama sekali,” katanya. “Kamu harus mencintai dirimu sendiri seperti kamu mencintai kita berdua.”
Ini sangat membuka mata, dan juga menyakitkan, karena tidak ada yang meluangkan waktu untuk mengucapkan kata-kata yang perlu kudengar. Aku mulai bergerak ke arah yang berbeda. Jason bertemu dengan dokter, menemaniku ke pertemuan dengan dokter, dan mendukung dengan cara yang belum pernah ada dalam hidupku. Jason adalah cahaya penuntunku saat itu, seseorang yang ditempatkan di jalanku karena suatu alasan. Dia mencoba mengajariku untuk melihat ke luar kotak dan mengubah caraku. Ini sulit. Rasanya seperti dia dan keluargaku menarikku ke arah yang berbeda.
Jason, Daniella, dan aku pindah dari kediaman keluarga, tetapi mereka selalu ada. Obat-obatan tetap menjadi pertempuran konstan bagiku, hidup dan mati. Itu masih menjadi tantangan harian bagiku, meskipun aku sudah patuh selama 14 tahun.
Pada Mei 2006, seseorang mendobrak masuk ke rumah kami, mendekatiku dengan sebilah pisau, yang menimbulkan banyak trauma bagiku. Setelah lulus kuliah pada tahun 2003, aku bekerja sebagai operator telepon kantor depan dan asisten medis. Tapi setelah pembobolan, aku berhenti kerja karena sudah tidak bisa lagi naik angkutan umum, terlalu takut sama orang. Sampai hari ini, orang-orang yang berdiri atau berjalan di belakangku membuatku cemas.
Beberapa bulan setelah pembobolan, dokter memberi tahu bahwa aku membutuhkan bantuan untuk semua trauma sebelumnya. Aku akhirnya pergi ke tempat yang kebetulan juga memiliki program dukungan psikososial untuk perempuan HIV-positif dan anak-anak mereka. Terapis berkata, “Ada kelompok perempuan yang bisa Anda kunjungi di sini. Namanya WOW (Women of Wisdom). Ayo, aku akan mengantarmu.”
Akhirnya Menemukan Komunitas
Setelah beberapa bulan, aku memutuskan untuk mengecek dan mendatangi grup ini. Aku masuk ke sebuah ruangan yang penuh dengan perempuan yang duduk mengelilingi meja. Awalnya aku merasa aneh karena sangat tertutup. Tapi para perempuan itu memelukku dengan tangan terbuka.
Ternyata tempat itu tidak seperti yang lain. Akhirnya, aku tidak sendiri. Aku diliputi oleh emosi yang campur aduk. Mengapa aku tidak tahu tentang tempat ini sebelumnya? Mengapa ini tidak dipublikasikan di komunitas kami?
Mengetahui bahwa aku bukan satu-satunya perempuan yang hidup dengan HIV mengubah hidupku. Aku pergi ke WOW setiap Rabu malam bersama Daniella. Aku mulai sembuh, belajar tentang perempuan lain dan perjalanan mereka, mengetahui bahwa ada ibu lain yang hidup dengan HIV di luar sana sepertiku. Aku mendapatkan pendidikan dan tumbuh dengan semua perempuan dalam kelompok. Ketika ingin menyendiri dan tidak menghadiri WOW, Jason akan mendorongku untuk pergi. Dia ada di sana untukku, katanya, tetapi akan menjadi hal yang sehat bagiku untuk pergi dan bersama perempuan lain yang mengerti apa yang aku alami.
Jadi aku terus maju, perlahan-lahan mengintegrasikan diriku ke dalam grup, menemukan tempat dan suaraku di dalamnya. Di sana, aku belajar untuk mencintai diri sendiri, semua dariku, termasuk HIV yang aku miliki. Aku belajar untuk terbuka dan berbicara tentang statusku dengan bebas dan mendidik orang lain. Kelompok ini membantuku tumbuh sebagai seorang perempuan, ibu, dan istri. Persatuan dan cinta yang diciptakan oleh semua perempuan di sana memberi bentuk persaudaraan yang tidak pernah aku miliki. Aku mendapatkan kepercayaan diri, belajar bagaimana merawat diri sendiri.
Aku mulai menjadi sukarelawan sebagai koordinator penjangkauan kelompok, mencoba mencari perempuan lain yang hidup dengan HIV di daerah tersebut. Perempuan di Oregon saat ini hanya berjumlah sekitar 12% dari populasi HIV-positif di sini, jumlah yang sangat rendah yang berarti kami hanya mendapat sedikit layanan dukungan dan harus berjuang untuk apa pun.
Akhirnya, setelah 11 tahun Jason dan aku bersama, mantannya setuju untuk bercerai, dan dia dan menikahiku pada tahun 2014. Kami baru saja merayakan 20 tahun bersama dan ulang tahun pernikahan ketujuh kami. Daniella sekarang berusia 21 tahun dan kembali ke rumah bersama kami. Dia mengalami gangguan pendarahan yang disebut penyakit Tipe 2M von Willebrand yang kami temukan saat dia berusia 13 tahun. Kami harus beralih dari belajar tentang HIV kemudian tentang gangguan pendarahan, dan kami sekarang menjadi bagian dari komunitas gangguan pendarahan Pacific Northwest.
Hidup tidak berhenti! Itu akan terus memberimu rintangan yang, kadang-kadang, menurutmu tidak akan mampu kamu lalui. Pencobaan dan kesengsaraan yang terus kami pelajari dan tumbuhkan. Tapi kami adalah keluarga yang kuat. Jason dan aku berdedikasi untuk memastikan Daniella menerima dukungan yang dia butuhkan.
Keluargaku tidak berubah dan masih tidak memberiku dukungan, tetapi aku tidak lagi membiarkan mereka menyakitiku. Aku sekarang berdiri dan menyuarakan kebutuhanku. Syukurlah, aku mendapat dukungan moral dari Jason, yang merupakan sahabat dan pasangan terbaik. Aku telah membuat sistem pendukung sendiri, baik secara langsung, secara online, dan di seluruh negeri.
Menjadi Aktivis
Aku terlibat dengan Positive Women’s Network (PWN)-USA pada tahun 2016. Pada saat itu, wanita yang memfasilitasi WOW melihat semangat yang aku dan perempuan lain dalam grup miliki untuk isu seputar perempuan dan HIV, dan menganjurkan kami untuk pergi ke KTT nasional PWN. Pada saat itu, aku melakukan dukungan sebaya untuk semua perempuan WOW yang membutuhkannya, dan aku sendiri bekerja sebagai fasilitator paruh waktu WOW.
Menghadiri pertemuan dan bertemu dengan sekitar 300 perempuan positif berbeda di satu tempat, mengubah caraku memandang populasi perempuan yang hidup dengan HIV di dunia dan arah pekerjaan yang aku lakukan. Semua wanita ini positif sepertiku, dan lihat apa yang dilakukan setiap orang untuk komunitas mereka.”
KTT tersebut memicu semangatku untuk belajar lebih banyak tentang advokasi dan kebijakan. Pada tahun 2017, PWN mengeluarkan aplikasi beasiswa kebijakan, sebuah program baru. Aku melamar dan berhasil. Pada titik ini, Daniella juga seorang siswa sekolah menengah atas, jadi hidupku sangat sibuk. Pada tahun yang sama, 2017, aku dinobatkan sebagai salah satu dari 100 orang versi majalah POZ, yang melakukan pekerjaan hebat di komunitas. Aku menganggapnya sebagai tanda untuk terus melakukan apa yang kusukai.
Aku lulus dari PWN Policy Fellowship di KTT PWN-USA Class Policy Fellowship 2018. Aku juga ditanya apakah ingin menjadi pemimpin negara bagian untuk Oregon. Aku berkata bahwa aku merasa terhormat dan melakukan pelatihan itu juga, belajar lebih banyak tentang bagaimana melakukan advokasi kebijakan yang efektif. Sejak itu, aku menghadiri AIDSWatch di D.C., mengadvokasi pendanaan HIV di D.C. Aku menghadiri USCHA (Konferensi Amerika Serikat tentang HIV/AIDS), konferensi terbesar yang pernah kuhadiri. Aku bekerja dengan Multnomah County sebagai konsultan setelah mengikuti pelatihan untuk pelatih dengan Pusat Peningkatan Kualitas dan Inovasi (CQII) Program HIV/AIDS Ryan White HRSA, yang memberikan bantuan teknis untuk peningkatan kualitas Program HIV/AIDS Ryan White penerima.
Pada tahun 2019, aku berhenti bekerja sebagai fasilitator untuk program WOW, karena keterbatasan mobilitas fisik membatasi kemampuanku untuk melakukan pekerjaan itu. Namun aku masih aktif dengan PWN, mengadvokasi kebijakan dan mengeluarkan suara, mengajari orang lain betapa pentingnya suara mereka. Sebelum bergabung dengan PWN, aku seorang golput. Pandanganku tentang pemungutan suara telah berubah, sekarang aku melihat bagaimana masalah kesehatan dan reproduksi pribadi berlaku untuk hukum dan kebijakan. Pada Agustus 2021, aku dinobatkan sebagai Shero of the Month PWN.
Apa yang telah kupelajari melalui perjalanan yang sulit ini, dan apa yang aku ingin pembaca ketahui, adalah bahwa diagnosis HIV tidak menentukan diri dan hidup kita. Namun hidup dengan HIV juga telah mengubah hidupku. Terlepas dari semua rasa sakit, hidup itu berharga. Ini mungkin tidak mudah, tetapi kamu kuat dan akan melewatinya. Kita layak mendapatkan cinta tanpa syarat. Di saat-saat kamu merasa tersesat, ketahuilah bahwa kamu tidak sendiri. Ada banyak dari kita di luar sana yang masih berjuang setiap hari.
Aku salah satu dari orang-orang itu, dan aku di sini. Masa lalu tidak sepenting bagaimana kamu memilih untuk maju. Segala hal terjadi untuk suatu alasan. Tidak ada yang lebih baik daripada menjadi advokat dirimu sendiri. Temukan suara dan hasratmu. Mulailah perjalananmu menuju kebahagiaan, di mana pun kamu menemukannya.
Sumber: Community Story: I Was Diagnosed With HIV at 15. It Took Time, But Life Got Better