Photo by marklgrantham from Instagram
Bagaimana penyintas HIV jangka panjang, Mark Grantham, bertahan dan menemukan suaranya sebagai advokat.
Meskipun kejadiannya seperti baru kemarin, hari ketika saya menerima diagnosis HIV adalah pada bulan Juni 1984 atau 39 tahun yang lalu. Saya baru saja memulai sekolah pascasarjana di kampus Tampa University of South Florida, Amerika Serikat (AS). Ketika saya pergi untuk mendapatkan hasil tes, saya diantar ke sebuah ruangan dengan lebih dari 25 profesional medis di sana. Saya menoleh ke perawat dan berkata, “Saya kira saya memiliki HIV; jika tidak, orang-orang ini tidak akan ada di sini.”
Perlahan, saya mulai menyadari bahwa hidup saya tidak berakhir secepat yang saya bayangkan.
Baca Juga:
Virus aneh ini, yaitu HIV, atau human immunodeficiency virus, waktu itu belum diberi nama. Dokter utama studi penelitian memberi tahu bahwa saya telah terpapar virus. Saya baru berusia 23 tahun dan percaya bahwa saya memiliki umur panjang di depan. Saya tercengang ketika dokter memberi tahu bahwa dia tidak yakin berapa lama saya akan hidup, tetapi mungkin kurang dari tiga tahun. Saya benar-benar tidak tahu apa yang harus saya lakukan dengan tahun-tahun yang tersisa. Saya berjalan melintasi kampus, pergi ke kantor pendaftaran dan langsung putus kuliah. Kemudian, saya berkendara melintasi Jembatan Howard Frankland ke St. Petersburg dan berhenti dari pekerjaan saya sebagai purchasing di sebuah department store yang cukup besar.
Apa yang harus saya lakukan? Hidupku berputar ke bawah. Hidup saya di luar kendali dan begitu juga kebiasaan minum saya. Perlahan, saya mulai menyadari bahwa hidup saya tidak berakhir secepat yang saya bayangkan. Rupanya, saya masih memiliki beberapa tahun tersisa di planet ini. Saya melakukan pencarian jiwa yang serius, mencari panggilan hidup. Selama masa refleksi ini, saya menemukan bahwa pendidikan adalah panggilan saya. Saya mengambil beberapa kelas kursus manajemen, mewawancarai beberapa sekolah dan akhirnya saya menjadi guru bahasa Inggris dan sejarah.
Ini terjadi sebelum munculnya obat HIV yang efektif. Saat itu saya mulai mengalami penurunan berat badan. Untungnya, saya mendengarkan dokter dan berhenti minum alkohol dan bertahan dengan menjalani hidup lebih sehat. Berhenti minum secara signifikan membantu perjalanan hidup saya. Ketika berbagai obat HIV tersedia, sepertinya saya bahkan meminum semuanya.
Saya terlibat dengan ACT UP dan bekerja sebagai manajer kasus ketika tidak ada orang yang mau berurusan dengan orang yang hidup dengan HIV lainnya (ODHIV). Saya bisa menjadi teman bagi mereka. Sebagai seorang teman, saya membawa orang-orang ke berbagai janji pertemuan, berbelanja, duduk bersama mereka, dan pada dasarnya memberi tahu mereka bahwa mereka berharga.
Saya juga melakukan demonstrasi di banyak kesempatan. Saya berpartisipasi dalam berbagai acara, walaupun risikonya saya dapat dipecat. Adalah ilegal jika kamu seorang gay atau positif HIV saat menjadi guru di Pinellas County Schools. Saya suka berpikir bahwa tindakan ini menambah pengalaman saya di sepanjang jalur aktivisme yang saya lakukan.
Saya juga menghabiskan empat tahun di Suriah mengajar di sekolah swasta berbahasa Inggris. Saya tinggal di Homs dan Damaskus. Saya tidak pernah melamar sebagai residensi, karena ini mengharuskan saya untuk melakukan tes darah. Saya tahu bahwa ketika tes darah menunjukkan bahwa saya positif HIV, saya akan dikawal ke luar negeri. Sebaliknya, visa saya diperbarui setiap enam bulan. Bagian yang berbahaya adalah mendapatkan obat. Saya harus pergi ke Lebanon. Saya akan mengambil obat-obatan, menyembunyikannya di ceruk mobil dan berkendara kembali ke Suriah, berharap penjaga perbatasan tidak akan menemukannya.
Maju cepat ke tahun 2009. Saya kembali ke Amerika Serikat untuk memperbarui visa, dan selama itu, saya didiagnosis menderita tumor otak dan toksoplasmosis. Saya memiliki dua sel-T. Saya menamai mereka Adam dan Hawa. Berkat kemitraan antara dokter penyakit menular, ahli onkologi dan ahli bedah saraf, saya akhirnya sembuh dari tumor, sel-T saya naik, dan saya tidak lagi terlihat seperti orang yang sekarat.
Pada tahun 2014, saya pindah dari pantai St. Petersburg ke pegunungan Tennessee, AS. Saya telah jatuh cinta dengan seorang pria bernama Butch Ferney, dia sangat aktif dalam isu dan berbagai acara HIV di Tennessee. Sayangnya, pada 2015, ia meninggal dunia karena pankreasnya pecah. Dia meninggalkan warisan aktivisme HIV di Tennessee, seorang putra dan tiga cucu perempuan. Saya melanjutkan advokasi dan aktivisme HIV saya untuk dia, putra dan tiga cucu perempuannya, dan untuk saya sendiri.
Segalanya sangat sulit di Tennessee sejauh menyangkut pencegahan HIV. Saya masih aktif mengadvokasi ODHIV. Ya, saya akan melanjutkan perjalanan advokasi dan aktivisme HIV sampai saya tidak sanggup lagi.