Penulis: Mario Martins
Editor: Andriano Bobby
Poin-Poin Penting:
- Orang dengan HIV tampaknya sedikit mengalami peningkatan risiko kematian akibat COVID-19.
- Orang dengan HIV yang memiliki kondisi kesehatan yang mendasarinya seperti obesitas, diabetes yang tidak terkontrol dan tekanan darah tinggi tampaknya berisiko lebih tinggi.
- Secara umum, faktor risiko utama pada kematian akibat COVID-19 adalah usia tua, transplantasi organ, dan orang yang baru menerima diagnosis kanker darah.
- Orang dengan jumlah CD4 di bawah 50 atau penyakit oportunistik dalam enam bulan terakhir sebaiknya perlu untuk mengambil tindakan pencegahan ekstra untuk melindungi diri dari infeksi COVID-19.
Menjawab rumor terkait obat ARV yang konon dapat melindungi seseorang dari COVID-19, ternyata tidak ada bukti kuat bahwa obat antiretroviral apa pun melindungi dari COVID-19.
Baca Juga:
COVID-19 adalah penyakit yang disebabkan oleh virus corona baru (SARS-CoV-2). Gejala utamanya adalah demam, batuk, dan kesulitan bernapas. Sebagian kecil orang mengalami pneumonia parah dan membutuhkan perawatan intensif.
Sekitar satu dari dua ratus hingga satu dari seratus orang meninggal setelah tertular virus ini. Usia tua, transplantasi organ, atau orang yang baru menerima diagnosis kanker darah dapat meningkatkan risiko kematian akibat COVID-19.
Siapa Yang Berisiko Lebih Besar Terkena COVID-19?
Studi terbesar tentang faktor risiko parah COVID-19 yang dilakukan sejauh ini dilakukan oleh OPENSafely, yang mengamati sekitar 40% pasien umum di Inggris (17,2 juta orang).
Studi tersebut menemukan bahwa usia tua sejauh ini merupakan faktor risiko terbesar. Orang yang berusia di atas 80 tahun setidaknya 20 kali lebih mungkin meninggal karena COVID-19 dibandingkan dengan orang berusia 50-59 tahun. Orang di bawah 40 tahun memiliki risiko yang sangat kecil dibandingkan dengan kelompok usia 50-59 tahun.
Transplantasi organ meningkatkan risiko kematian empat kali lipat. Orang yang memiliki riwayat segala bentuk kanker darah termasuk kanker sumsum tulang atau kelenjar getah bening (misalnya leukemia, limfoma, atau multiple myeloma) selama setidaknya lima tahun terakhir memiliki risiko kematian tiga kali lipat. Setiap kondisi neurologis, obesitas parah, atau diabetes yang tidak terkontrol menggandakan risiko kematian. Pria dua kali lebih mungkin meninggal daripada wanita.
Faktor risiko lain seperti etnis kulit hitam atau Asia, deprivasi sosial, penyakit hati, stroke, demensia, dan penyakit ginjal meningkatkan risiko kematian antara 50 dan 75%, seperti halnya penyakit pernapasan parah selain asma.
Penyakit jantung kronis, diabetes terkontrol, orang yang menerima diagnosis kanker selain kanker darah lebih dari satu tahun yang lalu, asma, lupus, psoriasis, rheumatoid arthritis, obesitas sedang dan merokok, memiliki peningkatan risiko kematian.
Orang yang memiliki banyak faktor risiko tersebut berisiko jauh lebih besar untuk meninggal akibat COVID-19 daripada orang yang memiliki sedikit faktor risiko, apa pun status HIV-nya.
Apakah Orang Dengan HIV Berisiko Lebih Tinggi Terkena COVID-19?
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa orang yang hidup dengan HIV memiliki peningkatan risiko kematian akibat COVID-19.
Dua penelitian besar tentang pandemi virus Corona di Inggris menemukan bahwa orang yang hidup dengan HIV memiliki risiko kematian akibat COVID-19 antara 63% dan 130% lebih tinggi daripada orang lain. Kedua penelitian menunjukkan bahwa penyakit penyerta seperti obesitas, diabetes yang tidak terkontrol dan tekanan darah tinggi merupakan faktor risiko penting pada orang dengan HIV.
Studi pertama didasarkan pada database OpenSAFELY yang telah dijelaskan di atas, yang mengamati orang-orang yang status HIV-nya tercatat dalam catatan dokter umum dan yang sertifikat kematiannya tercatat sebagai kematian akibat COVID-19. Meskipun ditemukan bahwa orang dengan HIV setidaknya dua kali lebih mungkin meninggal karena COVID-19 dibandingkan orang lain, orang dengan HIV tanpa penyakit penyerta tidak berisiko lebih tinggi untuk meninggal.
Orang kulit hitam yang hidup dengan HIV berada pada risiko tertinggi untuk meninggal akibat COVID-19; risiko mereka hampir empat kali lebih tinggi dibandingkan orang kulit hitam tanpa HIV.
Studi kedua, yang bernama The ISARIC Study (the International Severe Acute Respiratory and emerging Infections Consortium), mengamati kematian pada orang yang dirawat di rumah sakit dengan gejala COVID-19 dan yang memiliki hasil tes positif untuk SARS-CoV-2, tidak menemukan perbedaan dalam risiko kematian menurut kelompok etnis di antara orang yang hidup dengan HIV. Studi tersebut memperkirakan bahwa risiko kematian akibat COVID-19 adalah 63% lebih tinggi pada orang yang hidup dengan HIV.
Penelitian ini juga menemukan bahwa risiko kematian pada orang dengan HIV dibandingkan dengan populasi lainnya lebih tinggi pada orang di bawah 60 tahun. Tetapi di antara orang dengan HIV yang dirawat di rumah sakit, mereka yang paling mungkin meninggal adalah yang lebih tua. Mereka yang meninggal juga lebih mungkin mengalami obesitas atau menderita diabetes dengan komplikasi, yang sama dengan populasi lainnya.
Para peneliti studi OpenSAFELY mengatakan bahwa risiko kematian yang lebih tinggi pada orang yang hidup dengan HIV paling jelas terlihat selama 60 hari pertama pandemi dan mungkin mencerminkan jarak sosial yang lebih sedikit dan / atau kerentanan yang lebih besar terhadap infeksi selama Februari dan Maret 2020. Pada April 2020, penelitian menemukan bahwa tidak ada perbedaan risiko antara orang dengan HIV dan orang lain yang tidak memiliki HIV.
Secara keseluruhan, penelitian ini memberi kesan bahwa faktor risiko yang sama yang meningkatkan risiko untuk seluruh populasi juga meningkatkan risiko kematian pada orang yang hidup dengan HIV, yaitu: usia yang lebih tua, etnis kulit hitam, kondisi kesehatan yang mendasari seperti obesitas, diabetes yang tidak terkontrol dengan baik dan tekanan darah tinggi.
Penelitian di Inggris mencapai kesimpulan berdasarkan sejumlah kecil kematian pada orang dengan HIV. Penelitian berdasarkan catatan dokter umum mungkin telah mengurangi jumlah orang dengan HIV atau adanya bias terhadap pengamatan orang dengan HIV yang memiliki kondisi kesehatan yang mendasarinya. Diperlukan lebih banyak penelitian yang dapat menghubungkan antara catatan klinik HIV dengan penerimaan rumah sakit untuk mendapatkan gambaran yang lebih lengkap tentang bagaimana COVID-19 memengaruhi orang yang hidup dengan HIV.
Sebuah penelitian besar di Afrika Selatan juga menemukan bahwa orang dengan HIV memiliki risiko dua hingga tiga kali lebih tinggi untuk meninggal akibat COVID-19, bahkan setelah memperhitungkan dampak faktor risiko yang diketahui seperti usia dan diabetes.
Namun, meskipun studi ini merupakan satu-satunya penelitian besar dari negara dengan prevalensi HIV yang tinggi, studi ini mungkin tidak sepenuhnya menangkap informasi tentang kemiskinan atau obesitas, yang mungkin merupakan faktor risiko penting, sehingga temuan ini bisa jadi memiliki perkiraan yang berlebihan.
Penting untuk dicatat bahwa ketiga penelitian di atas tidak memberi tahu kita apa pun mengenai apakah orang dengan HIV berisiko lebih tinggi daripada orang lain untuk tertular SARS-CoV-2, apakah orang dengan HIV mengembangkan gejala COVID-19, atau dirawat di rumah sakit jika terkena SARS-CoV-2. Namun ada beberapa penelitian dengan skala lebih kecil yang pemperlihatkan pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Sebuah penelitian di New York menemukan bahwa orang dengan HIV tidak terlalu banyak di antara orang yang dirawat di rumah sakit dengan COVID-19 selama minggu-minggu pertama pandemi.
Ada pula penelitian kecil lainnya terhadap orang yang dirawat di rumah sakit dengan COVID-19 di New York. Penelitian ini menemukan bahwa orang dengan HIV memiliki bakteri pneumonia yang berkembang lebih banyak daripada orang lain dan semua orang yang memiliki bakteri pneumonia yang meninggal.
Penelitian lain di New York menemukan bahwa orang dengan HIV lebih mungkin memerlukan alat bantu pernapasan ventilasi mekanis daripada orang lain yang dirawat di rumah sakit dengan COVID-19, meskipun ini adalah penelitian kecil.
Namun, sebuah penelitian di London menemukan bahwa orang dengan HIV yang memiliki COVID-19 tidak memiliki risiko penyakit parah atau kematian yang lebih tinggi setelah masuk ke rumah sakit. Orang dengan HIV dipulangkan dari rumah sakit lebih cepat daripada orang lain pada usia dan jenis kelamin yang sama.
Penemuan tersebut dipresentasikan sebagai bagian dari Virtual AIDS Conference (AIDS 2020) ke-23 oleh Dr Ming Lee dan rekannya di Rumah Sakit Guy dan St Thomas, London.
Orang dengan HIV Mana Yang Berisiko Lebih Tinggi Terkena COVID-19?
Penelitian di awal pandemi menunjukkan bahwa orang dengan HIV dan juga populasi lainnya memiliki faktor risiko COVID-19 yang sama. Panduan dari British HIV Association dan European AIDS Clinical Society menekankan bahwa orang dengan HIV yang berusia lanjut yang memiliki kondisi kesehatan yang mendasarinya lebih rentan terkena COVID-19.
Panduan British HIV Association selengkapnya dapat dilihat di sini.
Sebuah penelitian kecil di London menemukan bahwa orang dengan HIV dengan jumlah CD4 rendah lebih mungkin dirawat di rumah sakit dengan COVID-19 dibandingkan orang lain dengan HIV.
Tetapi penelitian lain termasuk penelitian besar di AS tidak menemukan bahwa jumlah CD4 rendah meningkatkan risiko penyakit parah terkait COVID-19. Penelitian ini disampaikan para peneliti tahun lalu di Konferensi AIDS Internasional ke-23 (AIDS 2020: Virtual).
Sebuah penelitian terhadap orang yang hidup dengan HIV yang menerima perawatan di salah satu rumah sakit London menemukan bahwa orang kulit hitam dengan HIV sekitar tujuh kali lebih mungkin untuk meninggal akibat COVID-19 dibandingkan orang dengan HIV lainnya.
Menjawab rumor terkait obat ARV yang konon dapat melindungi seseorang dari COVID-19, ternyata tidak ada bukti kuat bahwa obat antiretroviral apa pun melindungi dari COVID-19. Hal ini dikemukanan dalam jurnal HIV Medicine oleh Waters L dan Rockstroh JK.
Orang dengan virus hepatitis (B atau C) tampaknya tidak berisiko lebih tinggi terkena penyakit parah kecuali mereka juga memiliki sirosis hati lanjutan.
Pedoman Untuk Orang Yang Hidup Dengan HIV
British HIV Association (BHIVA) dan Terrence Higgins Trust merekomendasikan bahwa:
- Orang dengan jumlah CD4 di atas 200, yang memakai pengobatan HIV dan memiliki viral load tidak terdeteksi dianggap tidak berisiko lebih besar daripada populasi umum. Mereka harus mengikuti saran umum untuk tinggal di rumah dan menjaga jarak sosial.
- Orang dengan jumlah CD4 di bawah 200, atau yang tidak memakai pengobatan HIV, atau yang memiliki viral load terdeteksi mungkin berisiko lebih tinggi terkena penyakit parah. Meskipun demikian, mereka tetap harus mengikuti nasihat umum yang sama.
- Orang dengan jumlah CD4 yang sangat rendah di bawah 50 atau yang pernah memiliki penyakit oportunistik dalam enam bulan terakhir harus mengikuti anjuran dokter sebagai orang yang sangat rentan terpapar COVID-19.
British HIV Association mengeluarkan pedoman pada Mei 2020 yang merekomendasikan bahwa orang dengan viral load yang tersupresi tidak perlu mengubah pengobatan HIV mereka saat ini dan dapat melewatkan janji klinik enam bulan berikutnya.
Siapa pun yang perlu memulai pengobatan HIV harus menerima pengobatan ARV segera dan membutuhkan tes minimal dan tindak lanjut pasien.
BHIVA juga telah mengeluarkan pedoman yang dirancang untuk meminimalkan jumlah kunjungan medis bagi wanita hamil dengan HIV dan ibu dari bayi baru lahir.
Jika Kamu Dirawat di Rumah Sakit Dengan COVID-19 dan HIV
BHIVA menyarankan bahwa ada baiknya memberi tahu tim perawatan kesehatan yang merawatmu di rumah sakit bahwa kamu hidup dengan HIV sehingga mereka dapat melakukan tes untuk mengobati infeksi paru-paru lain yang mungkin terjadi pada orang dengan HIV. Buatlah daftar obat HIV yang kamu minum sehingga dapat diresepkan sesegera mungkin jika kamu masuk rumah sakit.
Jumlah CD4 bisa turun selama COVID-19, jadi dokter harus ingat untuk memberikan profilaksis infeksi oportunistik jika jumlah CD4 turun di bawah 200.
Panduan lebih lanjut tentang apa yang harus dilakukan jika kamu dirawat di rumah sakit dengan COVID-19 dipublikasikan di situs web BHIVA.