Di dunia ini lebih dari separuh pengidap HIV/AIDS adalah perempuan, lantaran berbagai faktor seperti status sosial, ekonomi dan budaya yang tidak setara. Ya, seringkali karena faktor ekonomi dan budaya misalnya, kaum perempuan harus menikah dini, dan itu tidak diimbangi dengan layanan kesehatan yang memadai.
Di dunia ini lebih dari separuh pengidap HIV/AIDS adalah perempuan lantaran berbagai faktor seperti status sosial, ekonomi dan budaya yang tidak setara.
Di banyak negara, klinik kesehatan tidak bersedia memberikan layanan kesehatan seksual dan reproduksi kepada perempuan di bawah 18 tahun karena dianggap “menyetujui” pelacuran atau perdagangan anak di bawah umur.
Di Indonesia misalnya, aktivitas seksual di luar nikah yang sering disebut sebagai ‘seks bebas’, dipandang tidak dapat diterima oleh penyedia layanan kesehatan dan kaum muda itu sendiri, karena dianggap tidak sesuai dengan norma budaya dan agama. Akibatnya, penyedia layanan sering enggan memberikan layanan kesehatan seksual dan reproduksi kepada perempuan muda yang belum menikah namun aktif secara seksual, atau sebaliknya mereka terlalu malu atau takut untuk meminta bantuan.
Undang-undang pembatasan usia seperti larangan penggunaan kontrasepsi di bawah usia tertentu juga bertindak sebagai penghambat layanan kesehatan seksual dan reproduksi serta HIV untuk perempuan muda. Akibatnya, di Kenya, Rwanda dan Senegal misalnya, lebih dari 70% gadis yang aktif secara seksual yang tidak menikah berusia 15 sampai 19 tahun, tidak menggunakan kontrasepsi (misalnya kondom) dan rentan terhadap HIV/AIDS.
Kurangnya Akses Terhadap Pendidikan
Studi menunjukkan bahwa peningkatan pendidikan di kalangan perempuan berkaitan dengan peningkatan kesehatan seksual dan kelahiran yang aman (didampingi oleh tenaga kesehatan terkait), serta berkurangnya pernikahan dini dan kehamilan yang tidak diinginkan. Penelitian juga telah menunjukkan terdapat korelasi langsung antara pencapaian pendidikan anak perempuan dan risiko HIV; di mana anak perempuan dengan pendidikan minimal enam tahun, lebih dapat melindungi diri mereka dari HIV. Sayangnya, banyak anak perempuan yang bersekolah seringkali tidak menerima pendidikan HIV dan pendidikan seksual yang memadai.
Kemiskinan
Kemiskinan adalah faktor menyeluruh yang meningkatkan kerentanan terhadap HIV. Perempuan dengan ekonomi lemah seringkali tidak memiliki pilihan lain selain melakukan hubungan seksual yang beresiko seperti seks transaksional tanpa pengaman, pernikahan dini, dan hubungan intim yang sarat dengan pelecehan dan kekerasan. Wanita dengan tingkat pendidikan rendah bisa jadi tidak mendapatkan informasi yang akurat tentang HIV/AIDS dan karena itu tidak bisa melindungi dirinya dari epidemi HIV/AIDS.
Resiko perdagangan manusia dan eksploitasi seksual, juga lebih sering dialami oleh perempuan muda dan remaja perempuan yang hidup dalam kemiskinan. Ketidakamanan pangan yang sering dikaitkan dengan kemiskinan, kerap menjadi penghalang untuk pengobatan bagi perempuan yang hidup dengan HIV.