Di dunia ini lebih dari separuh pengidap HIV/AIDS adalah perempuan, lantaran berbagai faktor seperti status sosial, ekonomi dan budaya yang tidak setara. Juga kekerasan berbasis gender dan kekerasan yang dilakukan oleh pasangan mereka.
Kekerasan berbasis gender, manifestasi fisik dari ketidaksetaraan gender, telah terbukti berperan sebagai penghalang penting tatkala para perempuan ingin melakukan tes dan konseling HIV.
Di tempat dengan jumlah prevalensi HIV yang tinggi, perempuan yang mengalami kekerasan oleh pasangan intim mereka beresiko hingga lebih dari 50% terinfeksi HIV. Di Afrika Timur dan Selatan, kekerasan oleh pasangan seksual ditengarai sebagai pendorong utama penularan HIV. Pada tahun 2015 berdasarkan data Avert.com, lebih dari 30% perempuan muda yang pernah menikah atau aktif secara seksual (usia 15-24 tahun) di Uganda, Tanzania, Zambia dan Zimbabwe mengalami kekerasan dari pasangan seksual mereka.
Kekerasan berbasis gender, manifestasi fisik dari ketidaksetaraan gender, telah terbukti berperan sebagai penghalang penting tatkala para perempuan tersebut ingin melakukan tes dan konseling HIV. Sebuah studi di wilayah Brasil dengan tingkat kekerasan berbasis gender dan prevalensi HIV tertinggi, menemukan bahwa perempuan beresiko lebih tinggi terkena HIV. Secara keseluruhan, 98% perempuan ODHA di Brasil melaporkan telah mengalami kekerasan seumur hidup, dan 79% di antaranya melaporkan telah mengalami kekerasan sebelum didiagnosa HIV.
Sugar Daddy dan Seks Transaksional
Hubungan seksual antara perempuan muda dan pria lanjut usia YANG sering terjadi kerap bersifat transaksional, YANG didorong oleh kebutuhan material dan manfaat lainnya. Hubungan seks transaksional dengan pria yang lebih tua atau sugar daddy, cenderung mengekspos perempuan muda terhadap perilaku seksual yang tidak aman, tingkat penggunaan kondom yang rendah dan meningkatnya risiko infeksi menular seksual.
Sebuah studi jangka panjang pada tahun 2002-2012 di Afrika Selatan, mengenai jenis kelamin dan risiko HIV yang terkait dengan usia perempuan muda, mengungkapkan bahwa sepertiga remaja perempuan yang aktif secara seksual akan mengalami hubungan dengan pria yang berusia minimal lima tahun lebih tua dari mereka. Studi tersebut juga menemukan adanya siklus penularan, dimana prevalensi HIV yang tinggi pada perempuan muda, didorong oleh hubungan seks dengan pria yang lebih tua (rata-rata berusia 8-9 tahun lebih tua) — di mana mereka juga memiliki pasangan ODHA perempuan.
Perkawinan anak
Pada tahun 2017, sekitar satu dari tujuh remaja perempuan usia 15 sampai 19 sudah pernah menikah atau melakukan hubungan seksual. Anak perempuan yang menikah saat berusia anak-anak lebih mungkin dipukuli atau diancam oleh suami mereka daripada anak perempuan yang menikah di usia cukup. juga lebih cenderung menggambarkan pengalaman seksual mereka yang tidak ubahnya pemerkosaan. Sebagai anak di bawah umur, pengantin anak jarang bisa menyatakan keinginan mereka — termasuk melakukan hubungan seksual yang aman — di mana faktor-faktor ini semua meningkatkan risiko HIV.
Solusi
Untuk mengatasi epidemi HIV/AIDS pada kaum perempuan, diperlukan pendekatan yang secara sadar mengadopsi perspektif perempuan dalam segala keragamannya. Seperti yang direkomendasikan oleh WHO, pendekatan tersebut harus didukung oleh dua prinsip: hak asasi manusia dan kesetaraan gender. Perempuan harus dilihat sebagai peserta dan penerima manfaat aktif, sistem kesehatan harus mencakupi kebutuhan, hak dan preferensi khusus perempuan secara komprehensif.
Strategi yang lebih baik diperlukan di seluruh sistem kesehatan untuk meningkatkan aksesibilitas, akseptabilitas, keterjangkauan, penyerapan, cakupan yang setara, kualitas, efektivitas dan efisiensi layanan, terutama untuk remaja putri. Layanan terpadu harus diberikan dengan cara yang menghormati otonomi perempuan dalam pengambilan keputusan mengenai kesehatan mereka, termasuk penggunaan alat kontrasepsi, hak untuk pelayanan kesehatan seksual dan HIV.