Penulis: Mario Martins
Editor: Andriano Bobby
Konferensi AIDS Sedunia atau International AIDS Conference (IAC) ke-23 diselenggarakan dengan cara yang berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, yaitu dengan cara virtual. Hal itu dilakukan mengingat saat ini sedang terjadi pandemi global COVID-19 dan sebagai wujud komitmen panitia penyelenggara untuk mengutamakan kesehatan dan keselamatan segenap pihak yang terlibat di dalamnya. IAC tahun 2020 berlangsung pada 6-10 Juli 2020. San Francisco dan Oakland Amerika Serikat tetap menjadi kota pusat aktivitas IAC Virtual 2020.
“Bahkan sebelum timbulnya COVID-19, laporan global UNAIDS terbaru menunjukkan bahwa dunia tidak berada di jalur yang tepat untuk mencapai tujuannya untuk mengakhiri AIDS sebagai ancaman kesehatan masyarakat pada tahun 2030.”
Baca Juga:
Pembukaan konferensi pers menghadirkan Direktur Eksekutif UNAIDS Winnie Byanyima, Direktur Jendral WHO Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus, dan pembahasan dua penelitian yang meneliti hubungan antara pandemi HIV dan COVID-19. Byanyima mempresentasikan temuan dari UNAIDS 2020 Global AIDS Update. Laporan tersebut,berjudul Seizing the Moment: Mengatasi Ketidaksetaraan yang Mengakar Untuk Mengakhiri Epidemi, termasuk bab khusus yang menguraikan dampak potensial yang dapat ditimbulkan oleh pandemi COVID-19 di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah pada pasokan obat-obatan antiretroviral generik yang digunakan untuk mengobati HIV.
“Bahkan sebelum timbulnya COVID-19, laporan global UNAIDS terbaru menunjukkan bahwa dunia tidak berada di jalur yang tepat untuk mencapai tujuannya untuk mengakhiri AIDS sebagai ancaman kesehatan masyarakat pada tahun 2030,” kata Byanyima. “Kami tidak bisa sepenuhnya menyalahkan pada HIV. Kita harus melipatgandakan dan meningkatkan upaya kita untuk meminta pertanggungjawaban pemerintah selaku pembuat kebijakan. Epidemi berjalan tidak setara dan kita bisa dan harus menutup celah yang salah tersebut.”
Sementara Dr Tedros berbagi temuan survei WHO baru yang menunjukkan gangguan signifikan dalam akses terhadap pengobatan HIV karena pandemi COVID-19. “Temuan survei ini sangat memprihatinkan,” kata Dr. Tedros. “Negara-negara dan mitra pembangunan mereka harus melakukan semua yang mereka bisa untuk memastikan bahwa orang yang membutuhkan pengobatan HIV dapat terus mengaksesnya. Kita tidak bisa membiarkan pandemi COVID-19 menghambat keuntungan yang diperoleh dengan susah payah dalam respon global terhadap penyakit ini.”
Penulis dua studi yang dirilis pada AIDS 2020: Virtual juga berbagi temuan terkait dengan adanya COVID-19 dan HIV. Sebuah survei terhadap 13.562 orang di 138 negara yang dilakukan dari pertengahan April hingga pertengahan Mei menunjukkan bahwa COVID-19 memiliki dampak buruk pada komunitas LGBTI+ di seluruh dunia. Survei ini menunjukkan peningkatan kerentanan sosial ekonomi karena COVID-19.
Hampir setengah dari peserta survei menghadapi kesulitan ekonomi, dengan banyak yang tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar mereka, seperti kesulitan memenuhi kebutuhan pangan, bahkan ada yang mengurangi jatah makanan. Lebih jauh lagi, hampir setengah dari mereka yang bekerja diperkirakan akan kehilangan pekerjaan setelah pandemi, dan 13% sudah kehilangan pekerjaan.
Yang memprihatinkan, 26% peserta survey yang hidup dengan HIV melaporkan bahwa mereka telah mengalami akses yang terputus atau terbatas pada pemesanan pengobatan antiretroviral. Erik Lamontagne, seorang ekonom senior di UNAIDS, melaporkan bahwa krisis telah mendorong 1% responden untuk mulai terlibat dalam pekerjaan seks komersil. Di antara kelompok ini, pandemi telah mengurangi kemampuan mereka untuk menegosiasikan praktik seks yang lebih aman, sehingga berpotensi meningkatkan risiko tertular HIV.
Responden juga melaporkan berkurangnya akses ke peralatan injeksi yang aman dan terapi substitusi opioid, terapi substitusi napza. Dr Lamontagne mencatat bahwa temuan ini menunjukkan bahwa beberapa masalah berkaitan dengan COVID-19 dapat menghambat kemajuan global menuju tujuan pencegahan dan pengobatan HIV.
Laporan Gangguan Perawatan PrEP Memberikan Gambaran Dampak COVID-19 Pada Pencegahan HIV
Para peneliti dari pusat kesehatan masyarakat di Boston yang berspesialisasi dalam kesehatan seksual menemukan fakta kaitan pandemi COVID-19 dengan gangguan besar dalam perawatan PrEP, terutama di antara sub-populasi yang rentan. Meskipun penggunaan telehealth (pelayanan kesehatan jarak jauh) cukup tinggi, penelitian ini menemukan bahwa inisiasi PrEP menurun 72% dari Januari hingga April, dan kemerosotan terhadap pembelian ulang meningkat sebesar 278%. Penurunan pembelian ulang PrEP ini dikaitkan terhadap orang dengan usia di bawah 27 tahun, non-kulit putih, Latin Amerika, atau orang yang memiliki asuransi publik.
Selain itu, tes untuk HIV, gonore, dan klamidia menurun hingga 85%, sementara tingkat kepositifan gonore dan klamidia sedikit meningkat. Douglas Krakower dari Beth Israel Deaconess Medical Center menyerukan penelitian lebih lanjut untuk memahami apakah perubahan dalam perawatan PrEP mencerminkan penurunan risiko seksual atau hambatan untuk perawatan kesehatan yang optimal.
Laporan Baru Terkait COVID-19 dan HIV
The International AIDS Society (IAS) merilis sebuah laporan baru berjudul: COVID-19 dan HIV: A Tale of Two Pandemics. Laporan ini memperlihatkan gangguan layanan yang meluas, bagaimana COVID-19 memengaruhi respons HIV global dan memberikan dua rekomendasi untuk pembuat kebijakan, penyedia layanan kesehatan, peneliti, ilmuwan, pekerja layanan kesehatan, komunitas, dan penyandang dana.
Rekomendasi pertama membahas pemberian layanan HIV dalam konteks COVID-19, termasuk mempersingkat lamanya kunjungan perawatan kesehatan dan memberikan stok obat untuk jangka waktu yang lebih lama. Rekomendasi kedua membahas pelajaran dari pandemi HIV yang dapat menginformasikan tanggapan COVID-19 – termasuk menangani masalah keadilan sosial dalam sistem perawatan kesehatan dan secara proaktif menangani stigma.