Penulis: Mario Martins
Editor: Andriano Bobby
Suatu hari saat kami sedang berkendara, suamiku berkata bahwa dirinya sakit. Aku kebingungan. Aku menanyakan seperti apa sakit yang dirasakannya. Saat itu aku menatap wajahnya, mencari jawaban sementara dia menghindari mataku. Dia hanya bersikukuh sambil agak berteriak mengatakan bahwa dia sakit. Sakit parah, katanya.
Mataku terpaku pada kata tiga huruf yang tertera di salah satu halaman kertas itu, HIV. Aku masih berusaha menyangkal. Aku mempertanyakan tes macam apa yang mereka lakukan kepada suamiku.
Baca Juga:
Aku menjadi gusar karena semakin bingung dengan kata-katanya. Aku mencecarnya sambil mengorek informasi perihal sakitnya. Aku memaksa dia untuk memberitahu penyakitnya lebih detail. Namun dia selalu menghindari tatapanku.
Lalu, kata-kata yang dia ucapkan berikutnya membuatku sangat terkejut. Dia berkata sambil berteriak, “Aku kena AIDS.”
Gelombang kejut bergema di mobil ketika keheningan yang canggung menyelimuti kami. Satu detak jantung, dua detak jantung, tiga — untuk sesaat, aku bingung bagaimana aku harus bereaksi. Pikiran pertamaku adalah bahwa dia hanya becanda.
Tetapi suamiku bukan tipe orang yang mau membuat lelucon tentang penyakit. Saat itu rasanya seperti dia melemparkan bom kepadaku. Aku tidak mampu berpikir jernih. Lalu aku menyangkal sambil tertawa sinis dan berkata, “Ya, baiklah.”
Tapi dia tidak tertawa. Dia juga tidak tersenyum. “Kamu bercanda, kan?” Aku bertanya, tidak yakin apakah aku ingin mendengar apa yang terjadi selanjutnya. Dia akhirnya mengalihkan pandangannya dari lantai mobil dan menatapku. Bahkan sebelum kata-kata itu keluar dari bibirnya, aku tahu apa yang akan kudengar.
“Tidak. Aku kena AIDS, ”katanya.
Keheningan menghampiriku. Namun keheningan ini terasa memekakkan telinga. Pikiran berputar-putar di kepala ketika aku mencoba meyakinkan diriku bahwa ini hanya lelucon dan suamiku yang biasanya serius sedang melontarkan lelucon yang kejam. Tetapi, meski aku berusaha meyakinkan diri sendiri, aku tahu bahwa ini bukan becandaan. Rasanya seperti kebenaran sedang disembunyikan di kerutan alisnya, di matanya yang menurun dengan sedih di balik kerutan. Kebenaran itu ada di sana, terlihat dengan jelas di wajahnya. Namun aku tetap menolak untuk melihatnya.
Aku bertanya kepadanya siapa yang memberitahu status sakitnya dan di mana dia memeriksa kondisinya. Saat itu aku masih belum yakin bahwa suamiku mengatakan hal yang benar. Lalu suamiku memperlihatkan lipatan kertas yang dipegangnya. Dari tadi aku tidak memperhatikan kertas yang dia pegang.
Aku mengambilnya dan dengan cepat memeriksa halaman-halaman di kertas itu untuk mencari tanda-tanda hukuman mati yang dia klaim telah diberikan kepadanya. Aku masih menyangkal dengan berkata, “Apa yang kamu bicarakan? Tidak disebutkan tentang AIDS di mana pun di dalam surat ini! Mereka bahkan tidak mengujimu untuk itu! Siapa yang memberitahumu soal kebohongan ini?”
Mataku terpaku pada kata tiga huruf yang tertera di salah satu halaman kertas itu, HIV. Aku masih berusaha menyangkal. Aku mempertanyakan tes macam apa yang mereka lakukan kepada suamiku.
Lalu suamiku menceritakan bahwa saat itu petugas medis bertanya kepadanya apakah dia ingin melakukan tes HIV. Awalnya suamiku menolak untuk melakukan tes HIV. Namun sesaat kemudian dia berubah pikiran dan menyetujui untuk melakukan tes tersebut. Aku tidak menerima cerita suamiku. Aku juga tidak menerima hasil yang tertera di kertas yang kubaca. Aku berpikir itu hanya kesalahan. Aku merasa hasil tes itu tidak valid.
Beberapa hari berikutnya adalah hari-hari yang kulalui dengan perasaan muram. Rasanya seperti hari-hari yang selalu mendung. Setiap malam aku berusaha menyelinap ke garasi dan duduk di dalam mobil dan menangis. Tiap kali suamiku bertanya aku di mana, aku berkilah bahwa aku sedang membuang sampah. Aku tahu bahwa dia ketakutan. Aku juga demikian, tapi aku tidak bisa membiarkannya ketakutan ini berlangsung terus-menerus. Dua kali dalam minggu itu, aku membeli tes HIV OraQuick dari apotek dan dua kali dalam minggu itu, hasil yang dia dapatkan adalah positif, sedangkan hasilku adalah negatif.
Orang normal mungkin berharap dan menerima kemungkinan bahwa bisa saja tiga tes terpisah yang hasilnya positif itu adalah hasil yang salah dan tidak ada artinya. Tapi tidak berlaku terhadapku, ketika orang yang melakukan tes tersebut adalah suamiku.
Ketika Janji Temu Dokter Membangkitkan Kemarahanku
Sisa minggu ini berlalu begitu cepat, aku menghitung hari sampai kami kembali ke klinik untuk mengecek ulang tes darahnya. Ketika hari itu tiba, aku tidak bisa menunggu satu jam terakhir sampai waktu yang dijadwalkan untuk janji temu.
Aku kecewa karena kami telah menunggu cukup lama dan kami perlu seseorang untuk melihat kami saat itu dan memberi tahu keadaan yang sebenarnya, berharap bahwa semuanya baik-baik saja dan kami dapat kembali ke kehidupan normal kami. Namun kenyataannya semuanya berjalan tidak sesuai dengan harapan kami.
Aku hanya bisa melemparkan kemarahanku kepada semua orang. Termasuk membentak resepsionis klinik yang belum memberikan hasil tes kami. Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Aku terus berteriak melampiaskan kemarahanku. Namun resepsionis di klinik itu tetap bergeming dan berkata bahwa hasil tes harus dibacakan oleh dokter. Hasil pemeriksaan HIV tidak dapat diberitahu begitu saja oleh orang lain.
Aku masih berteriak melepaskan rasa frustasiku dan meminta siapa saja yang mampu membaca hasilnya untuk segera memberitahuku. Aku merasa waktuku terbuang banyak di klinik itu. Aku menoleh untuk melihat keadaan suamiku, aku tahu bahwa dia kemungkinan besar merasa malu dengan perilakuku saat itu.
Setelah beberapa saat menunggu dalam keheningan yang tidak nyaman, seorang perawat pria mendatangiku dengan gelisah. Dia meminta suamiku untuk kembali ke ruang periksa. Saat aku dan suamiku melangkah menuju ruangan, perawat itu meminta hanya suamiku yang boleh masuk ruangan. Saya menjadi bertambah marah. Saya berteriak dengan mengatakan, “Ini suami saya!”
Perawat itu menenangkan sambil berkata bahwa hasil tes HIV adalah informasi yang sensitif. Namun aku tidak peduli. Aku memaksa ikut masuk bareng suamiku. Perawat bertanya ke suamiku apakah dia mengijinkan aku untuk ikut masuk bersamanya. Namun sebelum suamiku menjawab, aku memotong ucapannya dan berkata bahwa tentu saja suamiku akan mengijinkanku ikut masuk.
Sesaat aku merasa bersalah karena melampiaskan kemarahnku kepada perawat itu. Namun saat itu aku merasa bahwa dia adalah penghalang kami untuk mengetahui hasil yang dapat membuat kami menjalani kehidupan normal kembali.
Perawat itu akhirnya memintaku untuk ikut bersama suamiku masuk ke dalam ruang pemeriksaan. Namun aku masih mengomel ketika bertemu dengan dua orang dokter. Aku mengeluh ke mereka bahwa dia berusaha mengusirku keluar dari kamar setelah suamiku telah menyatakan beberapa kali bahwa dia menginginkan aku di sini.
Ketika perawat membuka mulut untuk berbicara, aku membungkuk ke suamiku dan meletakkan tanganku dengan lembut di kakinya. “Lihat?” aku bilang. “Sekarang mereka hanya akan memberi tahu kita bahwa semua ini adalah kesalahan, dan seluruh mimpi buruk ini akhirnya akan berakhir. Kemana kamu ingin pergi ketika kita keluar dari sini? Kita harus merayakannya,” Aku masih tersenyum.
Sesaat semua hal terasa jelas. Ketika aku memutar ulang ingatan-ingatan masa lalu di kepalaku, aku dapat dengan jelas melihat semua penyebab masalah ini. Namun entah bagaimana, pada saat itu, aku buta terhadap itu semua.
Suamiku Tidak Menyangkal. Melainkan Aku yang Menyangkal.
Saat salah satu dokter bericara kepada kami, senyuman dari wajahku menghilang. Rasanya seperti aku menekan tombol pause terhadap ingatanku. Dokter di ruangan menatap kami. Salah satunya mengambil kotak tisu dan memberikan kepadaku. Semua yang di ruangan itu menatap wajahku, kecuali suamiku. Dia masih menatap lantai, tidak tahu apa-apa tentang bom yang akan mengirim gempa susulan yang beriak sepanjang hidup kami. Jika ini adalah film, ini akan menjadi bagian di mana semuanya menjadi sunyi kecuali suara suara jantungku sendiri yang berdetak di telingaku.
“… Mengikuti tes HIV OraQuick menunjukan positif, tes darah disarankan. Hasil tes darah itu positif … ”
Positif? Tubuhku mulai bergetar. Ketika aku merasakan kepanikan yang meningkat, aku mencoba untuk menenangkan diri sehingga suamiku tidak akan memperhatikan. Suamiku yang tidak tahu apa-apa, yang tidak tahu apa yang sedang terjadi karena dia menungguku menjelaskan mengenai panyakit ini. Air mata menyengat mataku saat aku mencoba mengendalikan diriku.
Lalu dokter menyodorkan tisu lagi kepadaku dan lanjut berbicara seolah dia berbicara tentang cuaca yang buruk. Salah satu dokter memegang tanganku berusaha membuat aku tabah. Lalu suamiku menatapku. “Apakah Anda memiliki pertanyaan untuk kami?” tanya dokter. Aku melihat suamiku. Dia menatap lantai. “Tidak,” katanya pelan. Dia tahu bahwa hal buruk memang sudah menimpanya.
Momen Ketika Aku Menyadari Diagnosis Suamiku Bukan Tentang Aku
Jika mengingat kembali pada saat ini sekarang, aku merasa malu terhadap betapa egoisnya diriku dalam menyikapi apa yang menimpa suamiku. Suamiku baru saja menerima apa yang aku pikir adalah hukuman mati — dan alih-alih berada di sana untuknya, yang dapat aku pikirkan hanyalah diriku sendiri. Butuh waktu bagi para dokter untuk memisahkan kami. Salah satu dokter menemani suamiku sementara aku mengikuti dokter yang satu lagi ke ruang test di sebelah.
Lalu dokter yang membawaku menanyakan apa yang ada di dalam kepalaku. Awalnya aku bersikeras tidak ingin menjawab, menolak untuk membiarkannya melihatku di saat lemah. Dia telah melihat sekilas sebelumnya ketika air mataku menetes, tetapi aku berusaha menahan tangisan hingga aku tiba di rumah dan menangis dengan tenang.
Dokter berkata, “Saya tahu bahwa sulit bagi siapa pun untuk menerima hal ini.” Aku menjawab bahwa aku tidak siap ditinggal mati suamiku. Namun dokter berkata bahwa aku tidak perlu takut dan berpikir bahwa suamiku akan segera meninggal. Dia berkata bahwa semua orang pada akhirnya akan meninggal, itu suatu hal yang tidak dapat dihindari.
Namun dia melanjutkan berkata bahwa suamiku tidak akan meninggal hari ini atau dalam waktu dekat hanya karena saat ini dia memiliki HIV. Ini bukan tahun 80-an, di mana saat ini HIV bukan lagi sebuah hukuman mati. HIV tidak ada bedanya dengan penyakit kronis lainnya. HIV sudah bisa diatasi dengan rutin melalui terapi obat antiretroviral.
“Aku tahu semua ini,” kataku. “Saya punya teman yang mengidap HIV, dan dia hanya harus minum pil setiap hari dan mengunjungi dokternya secara teratur.”
“Lalu mengapa menurutmu suamimu akan berbeda dengan temanmu?” Dokter bertanya kepadaku. Aku tidak punya jawaban untuknya. Aku tahu bahwa dia benar, tetapi sebagian dari diriku masih khawatir bahwa suamiku akan menjadi orang yang memiliki banyak komplikasi. Sebagian dari diriku masih takut kalau dia akan menjadi pengecualian. Aku masih berusaha menyangkal semua yang dikatakan dokter.
Aku merasa suamiku tidak pantas untuk menerima penyakit ini. Lalu aku menangis. Dokter bertanya kepadaku, mengapa suamiku harus menjadi pengecualian dan tidak pantas menerima HIV. Dokter betanya kepadaku, jika suamiku tidak pantas menerimanya, apakah ada yang pantas mendapat HIV?
Aku menggeleng dan berkata bahwa tentu saja bukan itu maksudku. Aku hanya merasa bahwa aku ketakutan. Lalu dokter menyarankan kepadaku untuk kembali menemui suamiku, menenangkannya dan memberinya kekuatan terhadap hal ini. Aku mengikuti langkah dokter untuk ke ruangan tempat suamiku berada.
Ketika pintu terbuka, aku masuk dan duduk di sebelah suamiku dan meletakkan tangan saya di kakinya. Bersiap kembali ke rumah dan memikirkan langkah selanjutnya.
Pertemuan dengan dokter hari itu terasa suram. Ketika semuanya berakhir, kami duduk di tempat parkir, bersiap untuk pergi. Aku meyakinkan suamiku bahwa tidak ada yang berubah. Satu-satunya perbedaan adalah bahwa suamiku hanya perlu minum pil setiap hari dan merawat dirinya dengan lebih baik, membuat janji temu rutin dengan dokter. Itu saja. Selain itu, semuanya masih sama. Aku berkata kepada suamiku bahwa aku masih mencintainya, dan aku tidak akan meninggalkannya. Aku meyakinkan suamiku bahwa kami akan bersama-sama berjuang dalam hal ini.
Dan aku masih seperti biasa. Selama beberapa minggu, aku menangis hingga tertidur setiap malam, bahkan menangis tidak mengenal waktu sepanjang hari. Tetapi perlahan-lahan menjadi lebih mudah bagiku untuk menerima apa yang dialami suamiku. Butuh beberapa bulan baginya untuk menyadari bahwa aku tidak jijik atau takut pada suamiku.
Pada akhirnya, dia mengerti bahwa aku tidak akan pergi meninggalkannya. Setelah berbulan-bulan meminta maaf dan memberi tahuku bahwa dia mengerti jika aku ingin pergi, dia akhirnya menerima bahwa aku tidak akan meninggalkannya.
Sudah hampir dua tahun sejak hari pertama di klinik itu. Aku masih menjadi “penjaga” suamiku, sama seperti suamiku menjadi penjagaku ketika aku tidak begitu baik dalam mengurus diri sendiri. Diagnosisnya makin membuat kami lebih dekat bersama, itu juga mengilhamiku untuk ingin berdiri dan melawan stigma terhadap orang yang hidup dengan HIV.
Ada sebuah serial TV Netflix yang berjudul Pose, yang berkisah tentang orang yang hidup dengan HIV. Serial itu membuat terobosam di dunia pertelevisian yang mengubah persepsi masyarakat terhadap orang yang hidup dengan HIV. Aku yakin bahwa bersama-sama kita dapat menghapus stigma terhadap orang yang hidup dengan HIV untuk selamanya.
(Tulisan ini disadur dari artikel yang dimuat di situs thebody.com yang berjudul: My Husband Was Diagnosed With HIV. This Is How I Went From Anger to Acceptance oleh Korin Ayala, seorang penulis dan penasihat hukum untuk orang yang hidup dengan HIV di Amerika Serikat).