Penulis: Mario Martins
Editor: Andriano Bobby
Bukan rahasia lagi bahwa sebagian orang menganggap Infeksi Menular Seksual (IMS) sebagai hal yang kotor, menjijikkan dan memalukan. Beberapa orang menyebut mereka yang memiliki IMS sebagai pelaku seks bebas yang tidak bertanggung jawab. Menurut survei dari Planned Parenthood, 11% anak muda di AS masih menggunakan kata-kata seperti “menjijikkan” dan “memalukan” saat membicarakan IMS.
Menangani IMS dengan serius tidak berarti memperlakukan orang yang memilikinya harus dianggap sebagai orang yang kotor. Kita harus mengakhiri stigma dan membuangnya jauh-jauh. Stigma tidak mencegah orang terkena IMS, namun informasi yang benar dapat mencegahnya.
Baca Juga:
Menurut survei yang dilakukan oleh Reckitt Benckiser (RB) Indonesia melalui merek alat kontrasepsi, Durex, pada bulan Juli 2019 terhadap anak muda yang dilakukan di lima kota besar – Jakarta, Bandung, Medan, Surabaya, Yogyakarta – menemukan bahwa 61% anak muda merasa takut dihakimi oleh orang tua mereka ketika mereka ingin bertanya tentang pendidikan seksual.
Lihat saja huruf “I” pada Infeksi Menular Seksual. Kebanyakan orang tidak menggunakan kata “infeksi”, melainkan memilih kata “penyakit”. Bahkan beberapa media besar, termasuk media kesehatan besar di Indonesia masih biasa menyebut IMS sebagai Penyakit Menular Seksual (PMS) di situs webnya.
Ini adalah masalah tersendiri. Kata “penyakit” menyiratkan sesuatu yang sedang berlangsung, menunjukkan gejala fisik, dan/atau tidak dapat disembuhkan. Tidak hanya definisi ini tidak akurat untuk kebanyakan IMS, kata “penyakit” juga merupakan kata yang jelek, penuh dengan penghinaan. Menjadi “sakit” adalah menjadi buruk, tidak diinginkan, dan tidak dapat dicintai. Artinya, secara sederhana, label “penyakit” yang disematkan pada IMS menjadi sangat buruk.
Tetapi yang terpenting adalah cara kita mengekspresikan istilah umum IMS. Kita perlu lebih banyak membicarakan topik IMS dengan anak muda (dan semua orang). Hal ini sangat penting dilakukan karena rasa malu dan tabu yang dirasakan saat menerima pendidikan tentang IMS dapat meningkatkan kerentanan populasi terhadap IMS.
Berdasarkan hasil survei Durex mengungkapkan bahwa 57% anak-anak muda sepakat bahwa sekolah secara proaktif telah mengedukasi dan memberikan informasi tentang pendidikan seksual dan kesehatan organ reproduksi, termasuk tentang IMS, tetapi ironisnya, 73% responden anak-anak muda merasa topik tentang pendidikan seksual dan kesehatan organ reproduksi dari sekolah belum memadai.
Survei tersebut juga menemukan bahwa kaum muda memiliki informasi yang belum memadai mengenai kesehatan organ reproduksi dan pendidikan seksual. Hal ini dapat dilihat dari beberapa mitos yang salah dipahami oleh mereka, termasuk 54% anak muda tidak yakin bagaimana posisi seksual sambil berdiri dapat mencegah kehamilan yang tidak diinginkan, dan 57% percaya bahwa pria yang melakukan masturbasi sebelum melakukan hubungan seksual akan mengurangi peluang kehamilan.
Menurut Anne Hodder-Shipp, ACS, seorang pendidik seks bersertifikat dan pendiri Everyone Deserves Sex Ed, seperti yang dilansir pada situs web TheBody, mengatakan bahwa rasa malu dan takut tidak mendorong tindakan pencegahan IMS; perasaan malu dan takut itu sering membuat orang menjadi terjebak menjadi selalu ketakutan dan memilih untuk menghindari membahas IMS. Ini bukan merupakan cara efektif untuk mencari informasi, pengujian dan pengobatan IMS, dukungan, alat pencegahan, atau perawatan kesehatan.
IMS bukanlah hal buruk yang hanya dialami oleh orang yang kotor, melainkan fakta di kehidupan manusia bahwa IMS adalah sama seperti setiap jenis infeksi lain yang memiliki metode perlindungan, pencegahan, dan pengobatan.
Kita perlu memeriksa kembali kata-kata yang kita gunakan dalam membahas IMS, yang dimulai dari usia yang sangat dini dengan pengalaman seks pertama dan pengalaman orang tua. Kita juga perlu menghapus pemahaman usang bahwa IMS berarti buruk dan hanya dialami oleh manusia kotor. Penghapusan stigma itu perlu dilakukan agar semua orang dapat benar-benar memahami hal-hal umum terkait penularan IMS dan bagaimana setiap orang dapat melindungi diri mereka sendiri dengan baik tanpa stigma dan ketakutan. Lihat saja, banyak orang yang memiliki HPV dan tidak menyadarinya.
Kata-Kata Adalah Alat yang Ampuh
Pemilihan kata-kata yang tepat dalam membahas hal seputar IMS adalah bagian penting dalam menghapus stigma. Tanpa diskusi tentang IMS yang bebas dari rasa malu, keengganan orang untuk memahami IMS akan terus berlanjut. Ketika rasa malu terus berlanjut, informasi yang benar tentang IMS semakin sulit kita dapatkan. Banyak kata-kata yang sering digunakan untuk mempermalukan, membuat bingung, dan menakut-nakuti, sehingga terkadang kita bahkan tidak tahu bahwa kita ikut melestarikan stigma tersebut .
Kita semua benar-benar tidak menyadari telah menanamkan rasa malu dalam membahas tentang IMS. Lihat beberapa situs kesehatan ternama, misalnya. Dengan menyebut kata “penyakit” (seperti dalam PMS) di situs web mereka, mereka menegaskan kembali bahwa IMS itu memalukan dan menjijikkan, meskipun sebenarnya mereka tidak bermaksud menganggap IMS sebagai sesuatu yang memalukan dan menjijikkan.
Bahkan tanpa kami sadari, kami di Saya Berani mungkin juga pernah menyebut kata “penyakit” dalam membahas IMS.
Kita perlu memperhatikan tidak hanya fakta terkait IMS yang kita sajikan, melainkan juga bagaimana cara kita menyajikan fakta tersebut. Ini berarti memahami pemilihan kata-kata yang sebaiknya kita gunakan. Kita perlu menyingkirkan kata dan frasa seperti “wabah,” “menjijikkan,” “memalukan,” “bersih,” dan “penyakit.”
Hodder-Shipp memberi tahu kita bahwa kata-kata seperti itu sebenarnya berkontribusi pada hasil negatif, meningkatkan ketakutan, dan bahkan salah dalam mendeskripsikan IMS. Ada beberapa jenis IMS yang umum seperti halnya pilek atau flu. Kita dapat menghentikan stigma IMS dengan cara menggunakan kata-kata yang lebih tepat dan positif.
Kunci utama dalam semua ini adalah: Cara kita berbicara tentang hal-hal seputar IMS yang dapat memberi makna. Jika kita bisa menghilangkan rasa malu dari seksualitas dan diskusi tentang IMS, maka rasa malu atau keengganan untuk membicarakannya pun akan hilang.
Ini mungkin terdengar reduktif, tapi itulah intinya. Direktur medis Gentera Center for Regenerative Medicine dan pakar kesehatan seksual, Katherine Zagone, N.D., memberi tahu melalui situs TheBody bahwa ketika kita berbicara tentang IMS dalam diskusi pendidikan seks, kita harus membahasnya dengan “cara netral — sangat faktual, tanpa nada moral.” Fakta harus selalu lebih ditonjolkan ketimbang menciptakan rasa malu dan risih.
IMS Merupakan Hal Yang Sangat Umum
Banyak orang yang memandang seks dengan cara yang negatif dan selalu risih membicarakannya yang menganggap bahwa IMS merupakan “penyakit kotor” yang hanya dimiliki oleh pekerja seks. Faktanya adalah bahwa IMS merupakan infeksi yang sangat umum.
Secara global, berdasarkan laporan WHO thaun 2018, lebih dari 1 juta infeksi menular seksual (IMS) yang dapat disembuhkan terjadi setiap hari. Menurut perkiraan global WHO untuk 2016, ada sekitar 376 juta infeksi baru dari empat IMS yang dapat disembuhkan – klamidia, gonore, sifilis, dan trikomoniasis.
Selama ini kita sering merasa sangat malu dengan IMS sehingga kita bahkan tidak dapat memahami fakta bahwa kebanyakan dari IMS merupaan infeksi yang sangat umum, mudah diobati, dan bukan akhir dari dunia.
Klamidia (chlamydia) bisa dibilang mirip flu yang terdapat pada vagina. Kamu hanya perlu meminum satu dosis antibiotik (ya, satu dosis tunggal) dan infeksinya hilang. Tapi tentu saja pengobatan ini harus dilakukan setelah berkonsultasi dengan dokter.
Pikirkan ini sejenak: Ketika kamu menderita radang tenggorokan, kamu biasanya minum obat selama beberapa hari hingga infeksinya hilang. Demikian juga ketika kamu terkena klamidia, kamu pun minum obat untuk menghilangkan infeksi.
Namun saat kamu terserang radang tenggorokan, tidak ada yang menganggap kamu sebagai orang yang kotor dan menjijikkan. Mereka hanya menganggap kamu sedang terkena infeksi dan sedang melakukan pemulihan. Satu-satunya alasan klamidia dipandang sebagai sesuatu yang lebih “hina” daripada radang tenggorokan adalah karena kita sangat risih pada seks dan sangat malu memiliki IMS.
Ketika kita tidak memberikan informasi IMS kepada anak muda, itu artinya kita mencegah mereka mencari informasi yang mereka butuhkan untuk melindungi diri mereka sendiri. Semakin banyak kita belajar tentang tubuh, infeksi menular seksual, aktivitas seks, dan bagaimana mengukur tingkat risiko yang membuat nyaman, maka kita semakin mampu untuk memahami seksualitas kita tanpa intimidasi atau standar yang diberlakukan orang lain pada kita. Semakin banyak informasi yang dimiliki orang tentang IMS, semakin mereka akan mencari cara untuk mencegahnya. Tentu saja hal ini membuat segalanya menjadi tidak terlalu rumit.
Berbicara Tentang IMS Dengan Cara yang Bebas Dari Rasa Malu
Ada kesalahpahaman yang benar-benar aneh di masyarakat kita bahwa berbicara tentang IMS secara netral dan menjelaskan betapa umum hal itu bagi anak muda, berarti seakan-akan kita menganjurkan anak muda untuk bebas melakukan hubungan seks, bahkan bebas melakukannya tanpa kondom. Hal ini tentu saja pemahaman yang salah. Bebas dari rasa malu dalam membicarakan IMS tentu saja tidak sama dengan melakukan aktivitas seks yang sembrono.
Menghapus stigma IMS tentu saja tidak sama dengan anjuran seks bebas atau memberi tahu orang-orang bahwa IMS tidak berbahaya. IMS bukannya tidak berbahaya. Data IMS non-HIV di Indonesia belum tercatat seperti data HIV, sehingga data yang sebenarnya tidak diketahui dengan pasti.
Berdasarkan laporan HIV-AIDS & IMS triwulan IV tahun 2017 dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI), jumlah kumulatif infeksi HIV dan kasus AIDS sampai dengan bulan Desember 2017 masing-masing sebanyak 280.623 orang dan 102.667 orang. Pada periode yang sama dilaporkan jumlah ibu hamil yang berkunjung pertama kali ke klinik antenatal care (ANC) sebanyak 149.209 orang. Antenatal adalah pemeriksaan kehamilan yang dilakukan oleh dokter atau bidan untuk mengoptimalkan kesehatan mental dan fisik dari ibu hamil. Dari jumlah tersebut yang dilakukan tes sifilis hanya 108.430 orang, yang positif sifilis 8.092 orang, dan hanya 1.706 orang yang diterapi.
Di Amerika Serikat ada lebih dari 20 juta kasus baru IMS setiap tahun. HPV adalah penyebab utama kanker serviks di antara orang yang memiliki serviks. HIV, meskipun sekarang sangat dapat diobati, masih merupakan infeksi serius yang tidak boleh dianggap enteng.
Menangani IMS dengan serius tidak berarti memperlakukan orang yang memilikinya harus dianggap sebagai orang yang kotor. Menanggapi IMS secara serius berarti menyajikan fakta sebagai fakta, bukan sebagai dakwaan atau penghakiman terhadap karakter orang yang memilikinya. Kita harus mengakhiri stigma dan membuangnya jauh-jauh. Stigma tidak mencegah orang terkena IMS, namun informasi yang benar dapat mencegahnya.
(Tulisan ini merupakan saduran bebas dari artikel yang dimuat pada situs web TheBody.com yang berjudul: How to Shift Our Understanding of STIs Away from Shame and Toward Education)