Penulis: Mario Martins
Editor: Andriano Bobby
Banyak sekali tindakan-tindakan yang mengarah kepada kebencian yang terjadi di sekitar kita yang sulit dihindari. Bahkan tidak jarang kita menemukan stigma dan diskriminasi yang diperlihatkan di televisi dan berbagai platform media sosial. Ada pula berbagai ancaman yang tidak menyenangkan yang menerobos menjadi bentuk kekerasan nyata.
Stigma, perlakuan tanpa hormat dan penolakan penuh yang didasari sifat sewenang-wenang, dan diskriminasi, memiliki sejarah panjang yang merusak. Orang yang hidup dengan HIV terbiasa dengan dampak stigma yang merusak terhadap emosional dan bahkan fisik mereka.
Baca Juga:
Bahkan semakin banyak orang yang dicap “buruk” atau “orang yang berbeda” hanya karena mereka dilihat dan dinilai berdasarkan ras, etnis, masalah kesehatan mental dan penyalahgunaan obat, disabilitas, status imigrasi dan kondisi kesehatan, termasuk HIV dan AIDS.
Stigma, perlakuan tanpa hormat dan penolakan penuh yang didasari sifat sewenang-wenang, dan diskriminasi, memiliki sejarah panjang yang merusak. Orang yang hidup dengan HIV terbiasa dengan dampak stigma yang merusak terhadap emosional dan bahkan fisik mereka. Stigma juga dapat merusak identitas dan harga diri kita. Namun, dengan ketahanan emosional yang kuat, kita dapat berbicara dan menantang stigma ini.
Tuduhan terus-menerus di media, lingkungan tempat tinggal, dan bahkan keluarga yang menyatakan bahwa ada sesuatu yang salah dengan diri kita ketika kita memiliki HIV bergema dengan bayang-bayang keraguan diri dan rasa malu terhadap diri sendiri.
Ketika stigma mulai tertanam pada diri seseorang, pesan kebencian ini tidak lagi memerlukan usaha keras secara langsung untuk menyakiti orang lain. Orang yang mengalami stigma dan diskriminasi kebanyakan akan sering merasa seperti barang rusak dan tidak berharga.
Ironisnya, sebagian besar program anti-stigma dan anti-diskriminasi menargetkan para pemberi stigma (stigmatizer). Melalui pendidikan dan hubungan sesama, mereka mencoba untuk menghadapi kepercayaan dan asumsi yang salah, seringkali bersamaan dengan efek positif. Tetapi orang yang benar-benar mengalami stigma dan diskriminasi seringkali dibiarkan menangani perasaan yang timbul akibat stigma.
Banyak orang yang mengalami stigma dan diskriminasi yang beralih ke perilaku adiktif untuk membunuh rasa sakit emosional mereka, beberapa menyerah pada amarah yang membara, sementara yang lain terlibat dalam perilaku seks kompulsif (sexual compulsivity) dan perilaku seksual berisiko tinggi.
Butuh usaha keras untuk menemukan strategi yang bermanfaat untuk mempromosikan resiliensi atau ketahanan pribadi terhadap stigma dan diskriminasi. Ada beberapa tips untuk mengelola respons kamu terhadap stigma dan diskriminasi dengan cara yang sehat.
1. Pertahankan dan Pelihara Kekuatan Harga Dirimu
Butuh banyak usaha untuk mencari kesadaran diri dalam menemukan atau pun mempertahankan harga dirimu. Hal itu dimulai dengan introspeksi diri dalam menemukan kebenaran yang kita anut dan mengidentifikasi kekuatan kita. Kamu perlu melibatkan dirimu untuk menemukan kekuatan dengan cara menantang atau pun mengklaim kembali identitas yang distigmatisasi. Contohnya jika kamu diledek karena memiliki warna kulit yang berbeda, kamu jadikan ejekan itu sebagai sebuah kesadaran bahwa kamu memang memiliki warna kulit yang berbeda, dan itu bukan sebuah hal yang memalukan, melainkan sebuah kebanggaan.
Penting untuk diingat bahwa rasa diri (sense of self) yang sehat hanya diperoleh dari dalam dirimu. Sense of self tidak berasal dari apa yang kamu kenakan, mobil yang kamu kendarai atau faktor eksternal lainnya yang kamu terima melalui validasi. Mengandalkan harta benda yang kamu atau pun penampilan luarmu pada akhirnya akan merusak dorongan ego yang dihasilkan. Hal itu dikarenakan hal eksternal tersebut tidak sejalan dengan dengan diri yang kita yakini.
Proses introspektif harus dibarengi dengan menyayangi dirimu sendiri. Banyak dari kita telah menghadapi stigma dan diskriminasi sejak usia dini dan, seiring waktu, telah mengembangkan pertahanan yang tidak lagi berguna bagi kita. Perhatikan hidupmu dengan jujur dan lembut dan lakukan perubahan yang diperlukan untuk menjauh dari kepercayaan, perilaku, dan bahkan orang yang tidak mendukungmu menjadi individu yang kamu inginkan.
2. Temukan Keberanianmu
Kehilangan pertahanan diri saat dihadapkan dengan stigma dan diskriminasi merupakan reaksi yang wajar. Menemukan keberanian pada saat-saat seperti itu mungkin membutuhkan usaha yang luar biasa besar. Tentu saja, rasa takut merupakan refleks sehat yang melindungimu, dan keselamatan pribadi harus selalu diperhatikan.
Ketika kamu akan membangkitkan keberanianmu menghadapi stigma atau diskriminasi, ada cara tertentu yang dapat membantumu menumbuhkannya. Kamu dapat memulai membangkitkan keberanianmu dengan mengambil napas yang teratur untuk menenangkan dirimu. Nafas yang dalam dan terukur menstabilkan fisiologi kita dan memperkuat kemampuan kita untuk menjadi proaktif, bukan reaktif.
Tindakan berani, menurut definisi, membuat siapa pun keluar dari zona nyaman mereka. Tidak apa-apa jika proses memunculkan keberanianmu itu dibarengi dengan beberapa tingkat kecemasan, tetapi tetaplah berpijak pada kekuatan pribadimu.
Pada saat yang sama, penting untuk menjaga kesadaran pikiranmu. Sebagian besar dari kita akan otomatis mendapatkan pikiran negatif yang mempertanyakan harga diri dan kemampuan kita dan bahkan membuat kita seakan tidak mampu berbicara.
Tantang pikiran-pikiran tersebut, sambil tetap memiliki kesadaran. Sangat mudah untuk membiarkan pikiran kita tergelincir ke masa depan atau masa lalu, tetapi itu hanya mengalihkan perhatian kita dari keterlibatan penuh saat kita terhubung dengan pengetahuan batin kita.
3. Bersikap Gigih
Menghadapi stigma dan diskriminasi secara terus-menerus mengharuskan kita menjaga hubungan yang kuat dengan motivasi kita, misalnya dalam menantang stigma dan diskriminasi yang dilakukan oleh suatu institusi atau kelembagaan, dalam menyembuhkan dirimu dari pengalaman yang menyakitkan, atau pun saat kamu memiliki niat untuk mengubah pandangan buruk stigma untuk anak-anakmu. Keinginan yang kuat seperti itu harus dibarengi dengan disiplin diri dan kebiasaan produktif, karena awal yang salah dan perilaku reaktif dapat mengecilkan hati dan dengan cepat merusak tekad.
4. Belajar Dari Orang Lain
Mengalami stigma dan diskriminasi itu mengisolasi dirimu karena memicu emosi yang kuat seperti amarah, ketakutan, depresi, dan keputusasaan. Dalam menghadapi perasaan seperti itu, banyak orang menarik diri dan mengelola stres mereka sendiri. Ada banyak orang, baik orang yang kamu kenal secara pribadi mau pun pesohor, yang juga pernah mengalami apa yang kamu rasakan. Temukan seseorang yang dapat kamu jadikan role model, seseorang yang kamu kagumi yang memiliki pengalaman membangkitkan ketangguhannya dalam menghadapi stigma dan diskriminasi. Jika memungkinkan, ciptakan cara untuk bekerja sama.
Saya Berani sering mengangkat tulisan mengenai profil ODHIV yang mengangkat cerita tentang ketangguhan mereka dalam hal menghadapi stigma dan diskriminasi. Kamu dapat menjadikan kisah mereka sebagai salah satu sumber kekuatanmu.
5. Pertahankan Koneksi Yang Kuat
Hubungan sosial yang sehat adalah alat yang ampuh untuk membangun dan memelihara ketahanan pribadi. Namun, menciptakan jaringan sosial seperti itu dapat menjadi tantangan karena stigma dan diskriminasi menyebabkan kamu merasa terisolasi dan membuatmu sulit untuk membuka diri terhadap hubungan sosial.
Oleh karena itu penting untuk menghadapi sisa keraguan diri yang menghalangimu untuk menjangkau dan terhubung dengan orang lain.
Kekuatan sekelompok individu yang bertindak sebagai kekuatan terpadu tidak hanya merupakan tantangan kuat terhadap stigma, tetapi juga merupakan penghiburan yang sangat besar bagi dirimu. Mempertahankan hubungan sosial yang kuat mungkin merupakan satu-satunya faktor terpenting yang mendorong kesehatan emosional dan fisik.
Kamu dapat berinteraksi di semua platform sosial media Saya Berani untuk mulai menciptakan hubungan sosial yang lebih kuat agar kamu dapat membangkitkan keberanian dirimu untuk memulai membuat koneksi dengan hubungan sosial di dunia nyata.
6. Lakukan Pelayanan Kepada Sesama
Menemukan kekuatan untuk menantang stigma dan diskriminasi tentu saja akan mengarah pada keterlibatan diri pada tingkat tertentu. Meskipun ini wajar, namun dapat mengganggu keseimbangan dan perspektif yang sehat.
Oleh karena itu, pelayanan kepada sesama merupakan cara penting untuk menjaga integritas dengan diri sendiri dan masyarakat luas. Jika kamu memiliki energi yang cukup, lakukanlah pelayanan terhadap sesamamu tanpa mengharapkan imbalan atau penghargaan. Pelayanan seperti itu akan memperluas fokus kita, dan jika digabungkan dengan menjalani hidup setiap hari dengan penuh rasa syukur, dapat menjadi kekuatan yang kuat untuk transformasi pribadi menjadi lebih tangguh menghadapi stigma dan diskriminasi.
7. Lakukan Dukungan Terhadap Apa yang Kamu Yakini
Menemukan kekuatan pribadi dalam menghadapi stigma dan diskriminasi, dan berjejaring dengan orang lain yang berbagi pengalamanmu, secara alami cocok untuk menumbuhkan kekuatan yang lebih efektif demi perubahan individu dan sosial.
Pelajarilah setiap masalah, lakukan identifikasi solusi, selalu terhubung dengan pembuat keputusan dan libatkan media. Bicaralah untuk mereka yang belum menemukan suara mereka. Dengan melakukan itu, kamu menggunakan kekuatan sehat yang kamu miliki dengan cara yang menguntungkanmu dan orang lain.
Tetap tangguh saat menghadapi stigma dan diskriminasi merupakan hal yang sulit dilakukan bahkan bagi mereka yang paling kuat sekali pun. Poin-poin di atas dapat memberikan jalan menuju ketahanan diri dan tetap tangguh menghadapi stigma dan diskriminasi, dengan memanfaatkan harga diri dan keterlibatan sebagai alat untuk perubahan individu dan sosial.
(Tulisan ini merupakan saduran bebas dari tulisan yang dimuat di situs web thebody.com yang berjudul: 7 Ways to Stay Resilient in the Face of HIV Stigma and Discrimination, oleh David Fawcett, Ph.D., L.C.S.W., seorang ahli penyalahgunaan zat, terapis seks bersertifikat dan hipnoterapis klinis di praktik swasta di Ft. Lauderdale, Florida.)