Penulis: Mario Martins
Editor: Andriano Bobby
Orang dengan HIV dengan jumlah CD4 di bawah 350 hampir tiga kali lebih mungkin untuk mengalami gejala COVID-19 yang parah daripada orang dengan jumlah CD4 yang lebih tinggi. Hal itu disampaikan oleh British HIV Association dan European AIDS Clinical Society bahwa orang dengan HIV yang memiliki imun tubuh lebih rendah kemungkinan besar akan mengalami risiko lebih tinggi terkena penyakit serius.
Satu-satunya faktor yang terkait dengan peningkatan risiko kematian adalah jumlah CD4 di bawah 200. Namun karena jumlah kematian rendah, para peneliti tidak melakukan analisis multivariat.
Baca Juga:
Temuan yang diterbitkan dalam jurnal HIV Medicine ini berasal dari analisis semua kasus infeksi SARS-CoV-2 yang didiagnosis pada orang dengan HIV yang menerima perawatan di rumah sakit di Madrid, Milan dan 16 kota di Jerman. Studi tersebut melaporkan 175 kasus gejala COVID-19 yang dikonfirmasi oleh PCR atau pengujian antibodi yang diidentifikasi dalam kelompok ini hingga 12 Juni 2020.
Rincian kasus Madrid, yang diterbitkan sebelumnya, dilaporkan di sini.
Sebanyak 72% merupakan kasus ringan hingga sedang (tidak ada pneumonia atau pneumonia ringan). Sisanya sebanyak 33 orang memiliki kasus parah dengan saturasi oksigen darah 93% atau di bawahnya, laju pernapasan meningkat, atau infiltrat paru di atas 50%. 16 orang mengalami kritis berupa gagal napas, kegagalan multi organ atau syok septik. Tujuh orang meninggal selama periode tindak lanjut.
Populasi penelitian sebagian besar adalah laki-laki (82%), orang kulit putih (88%) dan di bawah 60 tahun (64%). Jumlah CD4 rata-rata adalah 663, 69% memiliki jumlah CD4 di atas 500 dan hanya 18% memiliki jumlah CD4 di bawah 350. Semua kecuali satu orang menggunakan ART dan 94% memiliki viral load di bawah 50 pada pengukuran terakhir. Hanya tiga orang yang memiliki viral load di atas 1.000.
Komorbiditas umum terjadi pada populasi penelitian; sepertiga memiliki setidaknya dua penyakit penyerta yang terkait dengan peningkatan risiko COVID-19 (termasuk penyakit kardiovaskular, diabetes tipe 2, hipertensi, kanker, penyakit ginjal kronis, atau penyakit paru-paru kronis) dan 27% lainnya memiliki satu penyakit penyerta.
Namun, 39% dari semua pasien COVID-19, dan 24% dari mereka dengan COVID-19 parah atau kritis, tidak memiliki komorbiditas dan hanya 16% dari mereka yang mengembangkan COVID-19 parah atau kritis mengalami obesitas, yang merupakan faktor risiko utama lainnya yang menjadikan COVID-19 tambah parah.
Peneliti melakukan penilaian pada risiko penyakit COVID-19 yang parah atau kritis berdasarkan usia, jenis kelamin, etnis, jumlah CD4 saat ini, termasuk jumlah CD4 yang rendah, viral load di bawah 50, diagnosis AIDS sebelumnya, komorbiditas, indeks massa tubuh dan keberadaan tenofovir dan protease inhibitor dalam rejimen antiretroviral.
Analisis univariat menunjukkan bahwa komorbiditas, usia di atas 50 tahun, jumlah CD4 di bawah 200 dan jumlah CD4 terakhir yang yang di bawah 350 masing-masing meningkatkan risiko COVID-19 yang parah atau kritis. Tetapi dalam analisis multivariat yang mengontrol faktor risiko lain, komorbiditas dan usia tidak lagi dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit parah atau kritis.
Analisis multivariat menunjukkan bahwa jumlah CD4 terakhir di bawah 350 adalah satu-satunya faktor yang terkait dengan penyakit parah atau kritis (odds ratio 2,85, CI 95% 1,26-6,44), p = 0,01).
Satu-satunya faktor yang terkait dengan peningkatan risiko kematian adalah jumlah CD4 di bawah 200. Namun karena jumlah kematian rendah, para peneliti tidak melakukan analisis multivariat.
Rejimen antiretroviral tidak memengaruhi risiko penyakit parah. Penelitian ini memperlihatkan bahwa tenofovir yang dianggap sebagai pelindung terhadap COVID-19 tidak memberikan perlindungan terhadap penyakit parah. Demikian juga pada protease inhibitor.
Penelitian ini dapat dilihat di sini.
Sampel ini bukanlah penelitian sistematis terhadap semua orang yang menerima perawatan di klinik HIV ini. Sampel tersebut hanya mewakili mereka yang mengembangkan gejala COVID-19 dan menjalani pengujian.
Perlu dipahami bahwa studi ini tidak termasuk pada orang yang memiliki infeksi tanpa gejala atau orang yang mungkin tidak sehat tetapi tidak melakukan tes atau perawatan medis. Jadi, temuan pada penelitian ini kemungkinan memiliki data frekuensi penyakit parah dan kritis yang terlalu tinggi.
Meskipun demikian, fakta bahwa mereka yang terkena COVID-19 tiga kali lebih mungkin untuk mengalami tingkat keparahan penyakit jika mereka memiliki jumlah CD4 di bawah 350. Fakta ini juga perlu menjadi peringatan bahwa orang dengan HIV yang memiliki jumlah CD4 yang rendah berisiko lebih tinggi terkena COVID- 19. Analisis dari US registry dan dari New York juga memiliki kesimpulan yang sama.
Penemuan ini juga berimplikasi pada program vaksinasi COVID-19.
Berdasarkan Panduan Vaksinasi COVID-19 di Inggris saat ini, ada 9 peringkat grup orang yang diberi prioritas vaksin COVID-19. Semua orang dengan HIV ditempatkan ke dalam kelompok 6 prioritas vaksin COVID-19. Tetapi orang dengan jumlah CD4 di bawah 200 dengan kondisi kesehatan lain atau jumlah CD4 sangat rendah dapat dipindahkan ke kelompok prioritas 4 atas permintaan klinik HIV mereka (untuk divaksinasi pada periode berikutnya). Temuan ini memberi kesan bahwa jumlah CD4 yang rendah saat ini mungkin menjadi alasan yang baik untuk vaksinasi dini bahkan jika kondisi kesehatan lain tidak ada.
Pada 15 Januari, asosiasi medis HIV Eropa termasuk European AIDS Clinical Society dan British HIV Association merekomendasikan agar orang dengan jumlah CD4 di bawah 350 harus diprioritaskan untuk vaksinasi COVID-19. Mereka mencatat bahwa pedoman saat ini tentang prioritas orang dengan HIV untuk vaksinasi bervariasi di tiap negara-negara di Eropa.
Mengenai mengapa jumlah CD4 yang rendah meningkatkan risiko penyakit parah, penulis penelitian mengatakan bahwa tanggapan CD4 khusus virus diperlukan untuk membersihkan infeksi virus.
Gangguan respons sel-T apa pun dapat merusak kemampuan kekebalan tubuh untuk melawan infeksi virus dan menahan “respons bawaan awal virus corona yang menyerang secara liar”.