Photo by Freepik – Gambar Hanya Sebagai Ilustrasi
Namaku Adi, 22 tahun, hidup dengan HIV sejak November 2019. Sejak Oktober 2018, ketika aku mulai aktif melakukan kegiatan seksual, dan meski pada awalnya kami selalu menggunakan kondom, ada suatu waktu di mana kami tidak menggunakan kondom karena aku terbuai oleh rayuan pasanganku.
Pesanku untuk teman-teman ODHIV di luar sana, sebarkan energi positif ke sesama ODHIV karena energi positif itu menular.
Baca Juga:
Hingga akhirnya hubungan kami kandas dan aku sudah berganti pasangan sebanyak tiga kali. Kemudian di bulan September 2019 aku melakukan hubungan seks tanpa kondom. Bulan Oktober 2019, kesehatanku mulai menurun dan badanku selalu lemas, mudah capek dan sering demam. Akhirnya pada November 2019, aku melakukan tes HIV di salah satu klinik.
Saat itu aku sempat bingung karena diminta untuk masuk ke ruang konseling dan mendapat penjelasan tentang HIV dan penyakit menular seksual lainnya. Konselor yang bertugas, mas Andre, menanyakan beberapa hal tentang keluhanku, aktivitas seksualku, hingga tiba saatnya darahku diambil untuk tes HIV dan tes sifilis.
Beberapa jam kemudian, Mas Andre menyerahkan amplop berisi hasil tes sambil berkata, “Apapun hasilnya harus kamu terima. Seandainya hasil kamu negatif, tetap gunakan kondom saat berhubungan seks. Tapi seandainya hasilnya positif, jangan berkecil hati karena kamu masih bisa hidup normal, tapi dengan syarat kamu minum obat antiretroviral (ARV) yang sudah saya jelaskan dengan baik.”
Tiba saatnya aku membuka amplop tersebut, hasilnya ternyata reaktif. Seketika hatiku hancur dan yang ada di pikiran hanya keluarga. Meski demikian aku tetap tersenyum di hadapan Mas Andre. Karena aku tersenyum, Mas Andre mengira hasilnya non-reaktif atau negatif, tapi setelah Mas Andre melihat hasil tesku, raut wajahnya berubah dan ia langsung mengusap punggungku dan memintaku untuk datang kembali besok serta konsultasi dengan dokter untuk mendapatkan ARV yang harus aku konsumsi.
Aku pun keluar dari ruang konseling, dan menghampiri pasanganku tanpa banyak bicara. Sesampainya di rumah, pasanganku tampak melamun. Dia bertanya bagaimana hasilnya, tapi aku hanya tersenyum dan dalam hati aku merasa takut jika aku berkata jujur dia akan meninggalkanku.
Akhirnya aku menunjukan hasil tesku kepadanya sambil menangis karena aku tidak bisa berpura-pura kuat dan membohongi diriku sendiri. Dia memeluk dan menenangkanku, kemudian berkata bahwa dia juga hidup dengan HIV sejak awal 2018. Pengakuan dia membuatku tahu alasan kenapa dia selalu menggunakan kondom dan berhenti merokok serta berhenti minum alkohol, karena awalnya dia terkena infeksi TB sebelum terdiagnosis HIV.
Saat itu aku merasa sedikit lega, karena pasanganku menerima statusnya sehingga aku pun mulai menerima status HIV-ku. Saat itu pasanganku berkata, “Walaupun status kita adalah pasangan, namun tetap harus menggunakan kondom karena kita tidak tahu apakah salah satu di antara kita memiliki pasangan seksual yang lain. Selain itu, walau kita sama-sama hidup dengan HIV, namun harus tetap melindungi diri dari infeksi menular seksual lainnya.”
Efek ARV
Esok harinya aku kembali ke klinik dan mendapatkan ARV pertama sebanyak 7 pil dan diminta untuk kembali mengambil ARV di hari ke-7 sekaligus melakukan tes CD4 dan kreatinin. Hari pertama mengonsumsi ARV aku mengalami efek yang begitu terasa. Aku berjalan sempoyongan, menderita mual yang parah hingga hampir celaka di jalan karena memaksakan diri bekerja.
Meski sudah berusaha menyembunyikan kondisiku di tempat kerja, beberapa rekan kerja tahu bahwa ada yang tidak beres padaku karena melihat gerak-gerikku yang beberapa kali menabrak kursi dan bolak-balik ke toilet untuk muntah sampai wajahku terlihat pucat. Saat itu aku memutuskan untuk pulang dan tak masuk hingga satu minggu.
Di hari ke-7 aku kembali ke klinik untuk tes CD4 dan kreatinin. Jumlah CD4 saat itu hanya 212 dan memiliki kreatinin yang masih bagus. Aku mulai menerima keadaan ini dan mencari informasi tentang HIV, cara meningkatkan CD4, dan lain-lain dari media sosial. Aku bahkan juga berkenalan dengan sesama ODHIV dan bertukar informasi dengan mereka. Efek ARV yang aku konsumsi mulai menghilang dan hidupku pun kembali normal.
Kemudian dunia mengalami pandemi Covid-19. Aku terkena PHK karena dampak pandemi dan memutuskan untuk kembali ke kampung halaman karena tidak ingin merepotkan pasanganku. Saat itu aku mengalami kesulitan untuk mendapatkan ARV sehingga harus bolak-balik ke kota dari kampung halaman selama seminggu atau dua minggu sekali – tergantung stok ARV yang aku dapatkan dari klinik.
Terpapar Covid-19
Pada September 2020 aku kembali bekerja dengan status freelance. Aku bekerja dengan memakai APD yang lengkap (masker, face shiled, hand glove sekali pakai). Semua berjalan seperti biasa hingga pada akhir Januari 2021 aku terpapar COVID-19. Beberapa hari setelah dinyatakan positif COVID-19, kondisi tubuhku mulai menurun, dan aku pun melakukan isolasi mandiri di rumah kerabat supaya tidak berinteraksi langsung dengan keluarga dan pasangan.
Beberapa gejala seperti pilek dan sakit tenggorokan sudah menghilang pada seminggu saat menjalankan isolasi mandiri, tetapi fungsi pernafasan tidak kunjung membaik; diare yang aku alami pun semakin parah dan aku harus meminta rujukan melalui FKTP BPJS untuk berkonsultasi dengan dokter karena kondisiku yang hidup dengan HIV. Setiba di rumah sakit aku diarahkan ke poli COVID-19 dan melakukan tes dengan hasil negatif.
Kemudian orang tua menjemputku untuk pulang ke rumah dan betapa terkejutnya mereka ketika membaca surat rujukan yang memuat status HIV-ku. Kedua orang tua memelukku dan dengan tegar aku menceritakan semuanya ke mereka. Awalnya mereka masih belum bisa menerima karena aku terinfeksi melalui hubungan seksual sesama lelaki.
Berkali-kali aku meminta maaf dan menjelaskan semuanya, hingga akhirnya mereka mengerti dan berkata, “Ibu dan Ayah tidak mau kamu menjadi seperti ini, tapi setidaknya kamu sudah bertanggung jawab atas kesehatanmu dan sekarang kamu sudah bisa ceria seperti orang yang tidak menderita sakit atau ada masalah berat. Ibu dan Ayah cuma meminta kamu menjaga kesehatan.”
Memberi Edukasi
Setelah kembali bekerja, aku dicecar beberapa pertanyaan seputar kesehatan oleh atasanku. Selang beberapa hari rekan kerjaku jatuh sakit, tapi bukan karena COVID-19. Rekan-rekan yang lain menjadikan itu sebagai bahan canda bahwa dia terinfeksi HIV karena sering bergonta-ganti pasangan seksual yang ia kenal dari aplikasi kencan online. Aku pun merasa sedikit tersinggung dengan apa yang mereka bicarakan tentang HIV, karena itu semua hanya berdasarkan mitos seperti HIV bisa tertular melalui peralatan makan.
Suatu hari aku mendapatkan kesempatan untuk membicarakan HIV dan memberanikan diri mengungkapkan status HIV-ku yang sudah berjalan hampir 2 tahun. Awalnya mereka kaget dan tidak percaya hingga aku menunjukkan riwayat berobat. Mereka memelukku dan meminta maaf. Kemudian aku memberi mereka edukasi tentang HIV dan kondisi kesehatanku pasca terinfeksi HIV; tak lupa dengan kampanye U=U.
Penjelasanku ini membuat mereka mengerti makna, ” Jauhi virusnya bukan orangnya”. Sekarang aku tidak perlu menutupi status kesehatanku. Seandainya ada orang yang menyinggung tentang HIV, aku sudah bisa menanganinya sendiri tanpa perlu takut dengan diskriminasi.
Tak berapa lama setelah kejadian itu, mantan rekanku bercerita bahwa dia sering berhubungan tanpa kondom dan kesehatannya menurun belakangan ini. Aku pun menganjurkan untuk melakukan tes HIV dan dia menolak dengan alasan malu dan takut. Setelah aku jelaskan tentang keadaanku dulu akhirnya dia bersedia melakukan tes HIV dengan hasil positif. Awalnya dia merasa frustasi, namun aku tetap memberi semangat dengan membagikan pengalamanku dulu. Akhirnya dia bisa menerima statusnya dan menjalani terapi ARV.
Pesanku untuk teman-teman ODHIV di luar sana, sebarkan energi positif ke sesama ODHIV karena energi positif itu menular.