Penulis: Mario Martins
Editor: Andriano Bobby
Ketika bercerita tentang kisah hidupku, aku selalu memulai dari awal. Aku berasal dari Uganda. Aku adalah seorang anak yatim piatu yang kehilangan kedua orang tua karena AIDS. Ibu meninggalkanku bersama kakak laki-lakiku. Status HIV-ku adalah positif, sedangkan kakakku berstatus negatif.
Aku ingat saat pertama kali mengetahui bahwa aku positif HIV. Saat itu aku ke TASO dan di sana aku diberitahu bahwa aku positif HIV. Aku sangat ketakutan dan teringat pernyataan mengerikan yang pernah aku dengar saat SD bahwa HIV TIDAK DAPAT DISEMBUHKAN DAN KAMU AKAN MATI JIKA MEMILIKI HIV. Aku jadi teringat perkataan istri paman saat menyuruhku minum obat bahwa aku akan mati jika tidak meminumnya.
Baca Juga:
Setelah ayah meninggal pada tahun 2005, Aku dan kakak diasuh oleh nenek. Saat itu, nenek sudah sangat tua dan tidak bisa mengurus dirinya lagi. Dia tidak dapat mengurus pasokan ARV bulanan untukku dan bahkan tidak mampu mencukupi kebutuhan makanan. Karena itu, bibiku memutuskan untuk mengadopsiku.
Bibi adalah seorang janda yang hidup sendirian setelah kehilangan suaminya. Dia adalah seorang wanita pekerja keras yang mengelola rumah kontrakan. Pamanku, juga tinggal di salah satu rumah kontrakan itu bersama istrinya.
Sebelumnya aku tidak pernah tahu bahwa aku memiliki HIV. Aku hanya disuruh minum obat setiap hari tanpa harus tahu apa gunanya. Saat itu aku masih terlalu kecil untuk mengetahui tentang HIV. Saat aku pindah ke kota tempat bibiku tinggal, aku harus berpindah dari fasilitas kesehatan sebelumhya ke fasilitas baru bernama The Aids Support Organization (TASO) di kota Mbarara, Uganda.
TASO merupakan layanan inisiatif HIV dan AIDS, terdaftar di Uganda sebagai organisasi non-pemerintah. Fasilitas kesehatan dukungan layanan HIV ini sangat bagus, dan aku dengan sangat mudah mendapatkan pasokan obat setiap bulan. Lokasinya juga hanya beberapa kilometer dari rumah bibi, sehingga lebih hemat ongkos. Saat itu, aku masih terlalu kecil untuk mengambil obat. Oleh karena itu istri paman menemaniku setiap kali aku mengambil persediaan obat bulanan.
Aku ingat saat pertama kali mengetahui bahwa aku positif HIV. Saat itu aku ke TASO dan di sana aku diberitahu bahwa aku positif HIV. Aku sangat ketakutan dan teringat pernyataan mengerikan yang pernah aku dengar saat SD bahwa HIV TIDAK DAPAT DISEMBUHKAN DAN KAMU AKAN MATI JIKA MEMILIKI HIV. Aku jadi teringat perkataan istri paman saat menyuruhku minum obat bahwa aku akan mati jika tidak meminumnya.
Karena saat itu usiaku baru 13 tahun, aku tidak tahu cara menggunakan obat ARV. Aku harus meminumnya setiap hari di rumah dan seringkali aku minum obat ARV sendirian tanpa didampingi siapapun. Saat itu aku merasa terisolasi – aku membenci diriku sendiri dan semua orang di sekitarku. Setiap kali aku minum ARV, aku akan mengingat apa yang dikatakan orang kepadaku, “Minum obatmu, jika tidak, kamu akan mati”. Aku kemudian meminumnya dengan cepat, berharap bisa sembuh lebih cepat.
Suatu hari diam-diam aku mengonsumsi ARV melebihi dosis, hingga dua kali lipat lebih banyak. Saat itu aku berpikir bahwa jika aku minum dengan dosis lebih banyak, maka itu akan membuatku cepat sembuh. Ternyata itu menyebabkan efek samping yang mengerikan, seperti kehilangan nafsu makan, demam, pusing, dan muntah.
Suatu hari, saat aku ke TASO bersama bibi untuk pengecekan kondisi kesehatan, konselor yang mendampingiku menyadari ada yang tidak beres dengan diriku. Saat itu aku terlihat lemas dan tidak sehat. Dia bertanya kepada bibi apa yang terjadi denganku. Bibi tidak bisa memberi tahu konselor apa yang terjadi sehingga konselor bertanya langsung kepadaku. Saat itu aku tetap diam dan dia berulang kali bertanya dengan lembut perihal caraku mengonsumsi ARV.
Akhirnya, aku mengumpulkan kata-kata dan berkata kepadanya, “Aku meminum obat sendiri tanpa pengawasan. Bibi memberitahuku bahwa aku akan mati jika aku tidak meminumnya. Aku merasa ketakutan.” Lalu aku juga menceritakan bagaimana cara aku meminum obat ARV beserta dosis yang kuminum setiap hari.
Setelah tiba di rumah, bibi meyakinkanku bahwa sekarang dialah yang akan mengawasiku selama mengonsumsi ARV. Semenjak itu, kami menjadi sangat dekat, bahkan hingga hari ini aku masih merasa seolah-olah aku adalah putra kandungnya. Aku selalu merasa didukung olehnya dan dia sering ada untukku dengan menyediakan hal-hal yang aku butuhkan.
Seiring bertambahnya usia, segalanya menjadi terasa lebih sulit. Ketika aku memasuki sekolah menengah, aku tinggal di asrama. Saat aku beranjak remaja, aku mulai melihat gadis-gadis dan aku harus bertanggung jawab terhadap caraku memperlakukan mereka. Aku mulai pergi ke TASO sendirian untuk menerima persediaan ARV. Sering kali aku membuat beberapa keputusan untuk diriku sendiri terkait mengonsumsi ARV, meskipun keputusanku kadang sangat sembrono.
Karena aku tinggal di asrama sekolah, aku terpaksa membawa ARV ke sana. Ini membuatku cemas dan takut akan penilaian dari teman-temanku. Saat itu aku merupakan ketua kelas, sehingga aku tidak ingin orang mengetahui statusku karena takut hal itu akan menodai popularitasku. Karena ketakutan ini, aku terkadang melewatkan beberapa hari tidak minum obat, dan jadwal minum ARV menjadi tergantung dari apakah ada orang yang akan melihatku meminumnya atau tidak.
Suatu hari, aku menerima telepon dari bibi yang memintaku untuk pulang karena dia memiliki sesuatu yang penting untuk dibicarakan. Setelah sampai di rumah, bibi berkata, “Kamu sekarang sudah lebih tua dan bisa menjaga diri sendiri. Fakta bahwa orang tuamu meninggal karena HIV bukan berarti kamu juga harus mati. Kamu masih bisa hidup bertahun-tahun karena saat ini orang dengan HIV memiliki harapan hidup yang sama dengan orang tanpa HIV”.
Saat itu aku tidak mengerti mengapa dia memberi tahu hal ini. Lalu dia menambahkan, “Konselor di TASO memberi tahuku bahwa kamu tidak menggunakan ARV di sekolah. Mereka khawatir dan mereka ingin mengetahui penyebab kamu tidak teratur minum ARV.”
Keesokan harinya di TASO, aku diberi tahu bahwa aku memiliki viral load yang terlalu tinggi. Aku sangat terkejut dan kaget. Meskipun demikian, hal itu masih tidak membuatku paham betapa pentingnya kepatuhan minum ARV sehingga aku masih tetap sering mengabaikan kepatuhan minum obat.
Teman-temanku juga mulai curiga bahwa aku sering mengambil sesuatu dari kamar saat aku harus meminum ARV. Suatu malam, salah seorang temanku melihatku membuka botol ARV dan bertanya apa itu. Aku tidak tahu harus berkata apa karena malu. Sejak saat itu, aku berhenti meminum ARV. Untungnya, aku akhirnya memberi tahu konselor tentang hal itu, dan kemudian dia memberi tahu bibiku.
Setelah bibi dan konselor mengetahui kegalauanku dalam melakukan kepatuhan meminum ARV selama tinggal di asrama, segalanya mulai menjadi lebih baik dan aku juga mulai menerima dukungan dari kepala sekolah. Akhirnya, aku menjadi terbuka tentang status HIV-ku. Terlepas dari ketakutanku sebelumnya, ternyata sebenarnya teman-temanku mendukungku untuk patuh minum ARV.
Kemudian aku menjadi pemimpin kelompok dukungan sebaya remaja yang mengajari mereka yang bernasib sama denganku, tentang hidup dengan HIV. Pada tahun 2017, aku melakukan tes viral load dengan hasil jumlah VL yang rendah. Sejak saat itu aku tidak pernah lagi memiliki jumlah viral load yang tinggi, bahkan sekarang sudah tidak terdeteksi. Pencapaian ini aku raih dengan dukungan yang aku terima dari orang-orang di sekitarku.
Karena kemampuanku dalam hal kepemimpinan, komunitas TASO mengizinkanku untuk mengikuti pelatihan Training of Trainers (ToT) yang diadakan oleh Elizabeth Glaser Pediatric AIDS Foundation (EGPAF). Setelah itu, aku mendapat posisi sebagai Ariel Youth Ambassador, The Ariel Foundation International. Di tahun 2019, aku mengikuti Ambassadors Reunion dan di sana aku bisa menceritakan kisahku kepada banyak ODHIV.
Aku juga mendengar kisah mereka yang membuatku merasa tidak sendirian. Aku ingin berterima kasih kepada EGPAF karena telah memberiku kesempatan berada di platform di mana aku dapat menceritakan kisah hidupku kepada banyak ODHIV lain dari berbagai tempat. Bekerja sebagai Ariel Ambassador sejujurnya merupakan pencapaian terbesar bagiku karena memberi harapan bahwa kita akan mampu menanggulangi HIV/AIDS.
Melihat kembali ulasan hidupku, aku menyadari ketangguhan yang aku miliki tidak hanya datang dari dalam diriku, tetapi juga dari orang-orang di sekitarku, terutama bibiku. Aku akan selalu berterima kasih padanya karena telah mengajariku untuk menjadi kuat dalam menghadapi kesulitan. Dia dan banyak orang lainnya menunjukkan kepadaku bahwa HIV tidak akan mematikan potensiku dan aku harus selalu menghargai diriku sendiri.
Ketika aku mulai mempercayai ini, perlahan-lahan aku mulai membantu diriku sendiri. Ketangguhanku hidup dengan HIV datang dari dalam diriku dan aku sangat berterima kasih terhadap diriku sendiri karena menyadari akan hal ini.
(Tulisan ini merupakan saduran dari artikel yang dimuat di situs web aids2020.org yang berjudul: San Francisco and Oakland Youth Force (SFOYF), STORIES OF RESILIENCE – Noah Junior’s Story, oleh Noah Junior Tiago).