Di Indonesia, pada era sebelumnya upaya penanggulangan AIDS diprioritaskan pada upaya pencegahan. Dengan semakin meningkatnya pengidap HIV dan kasus AIDS yang memerlukan terapi ARV, maka strategi penanggulangan HIV/AIDS dilaksanakan dengan memadukan upaya pencegahan dengan upaya perawatatan, dukungan serta pengobatan.
Pada tahun 2002, Permohonan Indonesia untuk dana dari Global Fund Ronde 1 disetujui, dengan dana hampir 16 juta dolar untuk HIV. Fase 1 program, dengan dana hampir 7 juta dolar, mulai diterapkan pada Juli 2003.
2000 – 2002
Pertemuan Nasional HIV/AIDS II dilakukan pada April 2000 di Jakarta. Surveilans di antara 67 pengguna narkoba suntikan yang ditahan di Lapas Kerobokan di Bali pada akhir tahun menemukan 35 (56%) terinfeksi HIV.
2001, Dengan dukungan dari Ketua Badan POM, berapa jenis ARV generik dari India mulai tersedia di Indonesia, termasuk AZT, 3TC, gabungan AZT+3TC, d4T dan nevirapine. Dengan obat ini, terapi antiretroviral (ART) yang baku mulai tersedia di Indonesia, walau harga masih mahal (lebih dari Rp 1 juta per bulan).
2002, Permohonan Indonesia untuk dana dari Global Fund Ronde 1 disetujui, dengan dana hampir 16 juta dolar untuk HIV. Fase 1 program, dengan dana hampir 7 juta dolar, mulai diterapkan pada Juli 2003.
2003
Pada Maret 2003, Menteri Kesehatan RI mengatakan bahwa pemerintah akan memberi subsidi ARV generik sebesar Rp 200.000 per bulan untuk setiap Odha yang membutuhkannya. Beberapa provinsi memutuskan untuk menyediakan ARV secara gratis untuk sejumlah Odha di provinsinya.
Pada Agustus 2003, Kimia Farma meluncurkan produk ARV-nya. Pada awal disediakan AZT (Reviral), 3TC (Hiviral), gabungan AZT+3TC (Duviral), serta nevirapine (Neviral). Harga untuk Duviral dan Neviral ditetapkan sebagai Rp 345.000.
Menyambut Hari AIDS Sedunia, Presiden Republik Indonesia Megawati bertemu dengan beberapa Odha di istana negara.
2004 – 2005
2004, Setelah upaya advokasi yang melibatkan kelompok dukungan sebaya dari seluruh Indonesia, Depkes mengubah kebijakan untuk menyediakan ART dengan subsidi penuh pada 4.000 Odha.
Pada Mei 2005, Agustina Saweri, meninggal dunia di Jayapura. Odha berusia 26 tahun itu memperoleh embel-embel ‘Buah Merah’ di namanya setelah ia diboyong ke Jakarta pada Oktober 2004 untuk memberi kesaksian tentang khasiat buah tersebut sebagai alternatif pengobatan AIDS. Agustina didesak untuk berhenti penggunaan ART-nya, karena tidak dibutuhkan lagi setelah memakai Buah Merah.
2006 – Sekarang
Agustus 2006, diumumkan bahwa penyebaran HIV/AIDS di Tanah Papua diperkirakan telah memasuki kelompok masyarakat umum (generalized epidemic).
Hingga maret 2017, kasus HIV yang dilaporkan di Indonesia sebanyak 242.699 orang dan kasus AIDS sebanyak 87.453 orang.
Foto: Wesley, HIV Positif asal Wamena, Papua. (kompas – Saya Positif)