Photo from www.dailymail.co.uk
Memiliki bayi seharusnya menjadi saat yang penuh dengan kebahagiaan, kegembiraan dan harapan. Begitula pula dengan Victoria dan suaminya yang merasa sangat gembira ketika mengetahui bahwa dirinya hamil. Tentu saja di hari USG pertama ia tidak sabar untuk melihat bayi mereka di layar monitor hitam putih.
“Saat pertama kali kami melihat bayi kami, seharusnya hal itu terasa ajaib, namun alih-alih bahagia, dokter menyatakan bahwa saya terinfeksi HIV. Dunia saya hancur saat itu,” kenang Victoria.
Baca Juga:
“Saat pertama kali kami melihat bayi kami, seharusnya hal itu terasa ajaib, namun alih-alih bahagia, dokter menyatakan bahwa saya terinfeksi HIV. Dunia saya hancur saat itu,” kenang Victoria.
“Mau tak mau aku berpikir telah mengecewakan bayiku, dan dia bahkan belum lahir. Peluang apa yang dimiliki seorang bayi yang hidup bersama ibu yang HIV-positif? Apa yang akan dia pikirkan tentangku? Apakah dia masih akan mencintaiku?”
Setelah didiagnosis, Victoria masuk ke dalam lubang depresi yang gelap. “Aku diganggu oleh pikiran-pikiran bahwa suami dan bayiku akan lebih baik tanpaku, bahwa mereka layak mendapatkan yang lebih baik daripada istri dan ibu yang HIV-positif. Setiap hari, aku terbangun oleh pikiran-pikiran yang melumpuhkan dan siksaan mental. Hal ini adalah bagian terburuk dari hidup dengan HIV. Ironisnya, akulah yang menyebabkan penderitaan ini pada diriku sendiri. Dan semua itu untuk apa?”
Meskipun pengobatan modern telah mencapai titik ketika terinfeksi HIV bukan lagi sebuah hukuman mati, dan sebagian besar dari kita yang hidup dengan virus tersebut dapat menjalani kehidupan yang sehat dan produktif, fakta yang menyedihkan adalah bahwa masih terdapat stigma mengenai HIV. Bahkan mengucapkan kata HIV atau AIDS terasa seperti kosa kata yang sarat muatan dan mengandung konotasi memalukan bagi mereka yang hidup dengan virus tersbebut.
“Aib yang tersirat karena didiagnosis terinfeksi HIV positif selama kehamilan benar-benar meruntuhkan harga diriku. Aku merasa cacat, pantas menerima semua stigma negatif terkait HIV dan menjadi orang yang lebih rendah karenanya.”
Vicotria menjadi mudah marah, apalagi ia tidak bisa mengubah fakta bahwa ia terinfeksi HIV, namun ia tidak akan membiarkan informasi yang sudah ketinggalan zaman atau pendidikan yang buruk tentang HIV memengaruhinya. “Aku ingin membuktikan pada diri sendiri bahwa stigma hidup dengan HIV bukan lagi menjadi beban.”
Jadi, Victoria memutuskan untuk mengobati HIV dan terbuka tentang statusnya. “Aku dengan bangga meminum obat antiretroviral (ARV) di depan umum jika diperlukan. Aku menerima HIV sebagai bagian dari diriku. Dan setelah beberapa saat, fakta bahwa aku adalah orang yang hidup dengan HIV (ODHIV) tidak lagi terasa menyakitkan.
“Namun, aku tidak akan berpura-pura bahwa semua ini mudah. Butuh kekuatan mental, terapi, dan dukungan suami yang sangat besar untuk membantuku agar bisa tetap hidup sehat. Bahkan sekarang, beberapa tahun setelah didiagnosis, aku masih berjuang dari waktu ke waktu, namun aku selalu kembali pada pemikiran yang sama: HIV tidak mendefinisikan siapa aku.”
Dengan belajar menerima diagnosisnya, Victoria merasa hidup lebih mudah lebih nyaman. Ia juga ingin membantu perempuan lain atau ibu hamil yang telah didiagnosis terinfeksi HIV untuk menunjukkan kepada mereka bahwa mereka tidak sendirian, dan membantu ODHIV untuk menerima diagnosis mereka tanpa penyesalan, dan pada akhirnya melawan stigma itu sendiri.
“Saat hamil 5 bulan, aku membuka TikTok dan memposting video pertamaku tentang diagnosis HIV positif saat hamil. Aku tidak mengharapkan bahwa video ini menjadi viral. Nyatanya video aku menghasilkan banyak follower. Tak lama kemudian, orang-orang mulai bertanya kepadaku tentang HIV, ingin mengetahui lebih banyak tentang kondisi tersebut mulai dari cara melakukan tes, obat apa yang tersedia, dan apa artinya ‘tidak terdeteksi’. Melalui video, aku dapat mengedukasi ribuan orang tentang HIV dan menunjukkan bahwa HIV tidak menghalangiku untuk menjalani hidup yang sehat dan bahagia.
“Aku pikir melihat seorang wanita hamil didiagnosis HIV positif dan ternyata dapat hidup sehat dengan suami bahkan bayinya berstatus negatif HIV, sungguh mengejutkan banyak orang. Kehamilan biasanya merupakan masa yang emosional dan menarik simpati banyak orang, jadi jika kehamilan ini dibayangi oleh diagnosis HIV-positif, sepertinya membuatku mendapatkan banyak simpati dan kasih sayang terhadap situasiku dan HIV secara keseluruhan.”
Menerima hidup dengan HIV saat hamil adalah hal tersulit yang harus dilalui oleh Victoria. Namun, perjalanan ini tidak diragukan lagi telah membuat Victoria menjadi orang yang lebih kuat dan memungkinkan dirinya untuk mencintai diri sendiri secara keseluruhan. “Membagikan kisahku secara terbuka terbukti menjadi pengalaman katarsis yang luar biasa, memungkinkan aku menerima semua hal buruk dan negatif, kemudian mengubahnya menjadi sesuatu yang positif. Aku berharap dengan berbagi cerita ini, aku dapat membantu orang-orang untuk mengurangi rasa malu karena hidup dengan HIV dan belajar untuk mencintai diri mereka sendiri apa adanya,” pungkas Victoria.