Photo by freepik
Penulis: Sinta Tiara Rini
Editor: Andriano Bobby
Di Amerika Serikat, kasus HIV pada laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki (LSL) jauh lebih tinggi daripada kelompok lain karena berbagai macam alasan. Ada faktor biologis yang secara dramatis meningkatkan kerentanan LSL terhadap infeksi seks. Faktor sosial, budaya, dan ekonomi seperti stigma, rasisme, homofobia, dan tingkat kemiskinan yang tinggi, juga semakin menambah risiko.
Ada faktor biologis, sosial, budaya, dan ekonomi yang secara dramatis meningkatkan kerentanan LSL terhadap infeksi seks.
Baca Juga:
Tapi tahukah kamu bahwa hampir satu dari 10 pria yang diidentifikasi sebagai heteroseksual ternyata juga melakukan hubungan seks secara eksklusif dengan pria lain? Sebanyak 70% pria yang mengidentifikasi langsung diri mereka sebagai LSL, dilaporkan menikah dengan seorang wanita. Kemudian 10% lelaki menikah yang diidentifikasi sebagai heteroseksual ternyata telah melaporkan perilaku hubungan sesama jenis selama satu tahun sebelumnya.
Ada lebih dari 685.000 LSL HIV-positif yang tinggal di Amerika Serikat saat ini berdasarkan data 2022. Di antaranya 15% tidak terdiagnosis. Kemudian, LSL menyumbang 67% dari semua diagnosis HIV baru serta 83% dari semua diagnosis baru itu di antara laki-laki berusia 13 tahun ke atas. LSL berusia antara 13 dan 24 tahun menyumbang 92% dari semua infeksi HIV baru di antara laki-laki.
Faktor Risiko Biologis
LSL memiliki risiko biologis HIV yang lebih besar karena seks anal. Sederhananya, seseorang lebih mungkin tertular HIV dari seks anal daripada seks vaginal. Faktanya, risikonya bisa 18 kali lebih besar daripada seks vaginal. Ada beberapa penjelasan untuk ini:
- Susunan jaringan dubur: Vagina dilapisi dengan lapisan sel, yang dikenal sebagai sel epitel, yang memberikan penghalang terhadap infeksi. Sedangkan rektum hanya dilapisi dengan satu lapisan sel-sel ini.
- Kerapuhan jaringan dubur: Jaringan dubur rapuh dan rentan terhadap kerusakan. Hal ini memberikan virus lebih mudah akses langsung ke dalam tubuh.
- Respon imun: Jaringan rektum juga kaya akan sejenis sel imun yang disebut sel T CD4. Ironisnya, ini adalah sel-sel yang menjadi sasaran infeksi HIV.
Karena faktor ini dan lainnya, HIV dapat menyebabkan infeksi dengan cepat. Penelitian telah menunjukkan bahwa dalam waktu satu jam setelah paparan dubur, HIV dapat menembus garis depan pertahanan kekebalan tubuh, dan dalam waktu 24 jam, menyebar ke seluruh tubuh.
Bagaimana Infeksi HIV Terjadi
Perilaku seksual juga menambah risiko HIV pada LSL. Ini termasuk memiliki banyak pasangan seks atau menggunakan situs kencan daring. Meskipun faktor-faktor ini tidak eksklusif untuk LSL, faktor-faktor tersebut dapat memperbesar risiko pada kelompok tertentu.
Studi telah menunjukkan bahwa LSL, sebagai sebuah kelompok, juga berisiko lebih besar karena:
- LSL lebih cenderung memiliki banyak pasangan seks jika dibandingkan dengan laki-laki yang secara eksklusif berhubungan seks dengan perempuan.
- LSL berusia antara 18 dan 24 tahun lebih cenderung melakukan hubungan seks dengan pasangan yang lima tahun atau lebih, lebih tua dari mereka. Hal ini penting karena semakin tua seseorang, semakin banyak hubungan seksual (dan kemungkinan paparan HIV) yang mungkin mereka alami.
- Seks Tanpa Kondom. Seks anal tanpa kondom semakin menambah risiko terkena HIV. Walau risiko pada mitra reseptif (“bottom”) lebih besar, mitra insertif (“top”) juga berisiko signifikan. Hal ini karena cairan darah di dubur mengandung konsentrasi HIV yang tinggi – dalam beberapa kasus sebanyak lima sampai 25 kali lebih tinggi dibandingkan dalam darah di area vagina.
Faktor Risiko Sosial Ekonomi
Kelompok tertentu memiliki risiko HIV yang lebih besar, terutama LSL dari kalangan menengah ke bawah yang identik dengan kemiskinan dan tingkat pengangguran yang tinggi, semuanya berkontribusi terhadap tingginya tingkat HIV secara tidak proporsional. Kemiskinan tidak hanya membatasi akses seseorang ke layanan kesehatan tetapi juga meningkatkan ke akses tindakan kriminal, penyalahgunaan zat obat-obatan yang semuanya merupakan faktor risiko HIV.
Stigma, Homofobia, dan Rasisme
Stigma juga dapat berperan dalam penularan HIV. Orang dengan HIV sering menjadi sasaran stigma, bukan hanya karena status HIV mereka tetapi juga karena orientasi seksual dan ras mereka. Beberapa orang salah percaya bahwa tingginya tingkat HIV menegaskan bahwa orang gay dan biseksual adalah “promiscuous”, “berpenyakit”, atau “tidak bermoral”. Sikap ini dapat membuat banyak LSL bersembunyi.
Alih-alih mempermalukan diri sendiri atau didiskriminasi, beberapa pria mungkin menghindari tes dan pengobatan HIV sampai penyakitnya parah dan lebih sulit ditangani. Tes positif juga dapat memaksa mereka untuk mengungkapkan bagaimana mereka terinfeksi, yang mungkin belum siap mereka lakukan.
Di antara mereka yang dites positif, isolasi dan kurangnya dukungan sosial dapat menyebabkan depresi, penyalahgunaan alkohol atau narkoba, pengambilan risiko seksual, dan perawatan medis yang tidak konsisten. Banyak yang memulai pengobatan untuk HIV akhirnya tidak melanjutkan pengobatan.
Sebuah studi tahun 2021 dari Rutgers School of Public Health menemukan bahwa stigma HIV, baik yang dirasakan maupun yang nyata, memengaruhi LSL dalam beberapa cara, yaitu:
- Stigma yang terinternalisasi diterjemahkan menjadi tingkat pengobatan HIV yang lebih rendah.
- LSL dengan stigma terinternalisasi lebih cenderung terlibat dalam perilaku seksual berisiko seperti berganti-ganti pasangan, seks tanpa kondom, dan narkoba dengan seks.
- Diskriminasi perawatan kesehatan yang dirasakan diterjemahkan menjadi kurangnya kesadaran akan strategi pencegahan HIV.
- Stigma, homofobia, dan rasisme berkontribusi pada penggunaan kondom yang tidak konsisten dan strategi pencegahan lainnya.
Mencegah HIV pada LSL
Betapapun mengerikannya statistik itu, ada cara efektif untuk mengurangi risiko HIV secara individual, termasuk membatasi jumlah pasangan seksual dan melakukan praktik seksual (seperti masturbasi bersama atau seks oral) yang menimbulkan risiko penularan minimal. Inti dari pencegahan HIV adalah dua alat penting: kondom dan strategi berbasis obat yang dikenal sebagai profilaksis pra pajanan HIV (PrEP).
Kondom
Salah satu cara paling efektif untuk mengurangi risiko HIV adalah dengan menggunakan kondom setiap kali berhubungan seks. Untuk menghindari selip atau pecah, pilihlah kondom yang pas. Kondom tidak hanya mengurangi risiko HIV tetapi juga infeksi menular seksual (IMS) lainnya. Hal ini penting karena IMS dapat meningkatkan risiko tertular HIV, baik dengan membuat luka terbuka (seperti sifilis atau herpes) atau dengan menarik sel T CD4 yang lebih defensif ke tempat infeksi (yang lebih disukai menginfeksi HIV).
PrEP
Profilaksis pra pajanan HIV (PrEP) terdiri dari dosis harian yang dapat mengurangi ririsiko tertular HIV hingga 90%. Ada juga bentuk PrEP yang dapat disuntikkan yang disebut cabotegravir yang hanya memerlukan satu suntikan setiap dua bulan namun di Indonesia belum tersedia.
Apakah lesbian aman dari HIV?
Lesbian memiliki tingkat HIV yang lebih rendah daripada heteroseksual atau laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki (LSL). Namun hal ini bukan berarti bahwa perempuan yang berhubungan seks dengan perempuan “aman” dari HIV. Ada banyak faktor risiko yang dapat meningkatkan kemungkinan HIV di antara mereka, antara lain:
- Penggunaan narkoba suntikan
- Berhubungan seks dengan pria juga
- Kurangnya akses ke layanan kesehatan
- Kekerasan dan pelecehan seksual.
Sumber: Why Do Gay Men Get HIV?