Penulis: Mario Martins
Editor: Andriano Bobby
Namaku Vito. Banyak hal yang aku alami dalam perjuangan selama 17 tahun hidup dengan HIV. Aku ingat awal-awal aku didiagnosis dengan HIV, perjuanganku untuk mendapatkan ARV, menerima banyak perlakuan diskriminatif, hingga akhirnya memiliki hidup penuh makna tanpa harus menjadi berbeda dengan orang tanpa HIV.
Ini kisahku.
Perjuanganku tidak berhenti hingga aku berhasil mendapatkan ARV saja. Saat itu aku harus menghadapi perjuangan berikutnya, yaitu menghadapi efek samping obat antiretroviral yang sangat parah yang disebut sindrom Stevens-Johnson.
Baca Juga:
Aku menghabiskan waktu sekitar 3 tahun lamanya untuk berjuang mendapatkan akses antiretroviral (ARV) semenjak pertama kali didiagnosis memiliki HIV. Perjuanganku saat itu membutuhkan usaha yang besar dan tekad yang sangat kuat karena saat itu hanya sedikit layanan penyedia ARV di Jakarta.
Pada awal-awal perjuanganku hidup dengan HIV, aku harus berhadapan dengan alur dan proses yang rumit dan menghabiskan banyak waktu hanya demi mendapatkan ARV. Saat itu stok ARV yang bisa aku terima hanya untuk dosis seminggu. Jika ingin memiliki ARV untuk persediaan 1 bulan, aku harus mengeluarkan biaya tambahan yang tidak sedikit.
Perjuanganku tidak berhenti hingga aku berhasil mendapatkan ARV saja. Saat itu aku harus menghadapi perjuangan berikutnya, yaitu menghadapi efek samping obat antiretroviral yang sangat parah yang disebut sindrom Stevens-Johnson.
Sindrom Stevens-Johnson, yang biasa disingkat SJS (Stevens-Johnson syndrome), adalah reaksi buruk yang sangat gawat terhadap obat. Efek samping obat ini berpengaruh pada kulit, terutama selaput mukosa. SJS disebabkan oleh reaksi toksik terhadap obat, terutama antibiotik, antikejang dan obat antinyeri, termasuk yang dijual tanpa resep. Terkait HIV, penyebab SJS yang paling umum adalah nevirapine (hingga 1,5% penggunanya) dan kotrimoksazol walau kasus ini jarang terjadi. Reaksi ini dialami segera setelah mulai obat, biasanya terjadi dalam 2 – 3 minggu penggunaan obat.
Sindrom Stevens-Johnson biasanya diawali dengan demam, sakit kepala, batuk, dan pegal, yang dapat berlanjut hingga 14 hari. Kemudian pasien mengalami ruam datar berwarna merah pada muka dan batang tubuh yang kemudian dapat meluas hingga ke sekujur tubuh dengan pola yang tidak rata.
Daerah ruam pada sindrom Stevens-Johnson terlihat membesar, meluas dan membentuk lepuh di tengahnya. Kulit lepuh sangat longgar dan mudah lepas bila digosok. Pasien SJS juga memiliki lepuh pada selaput mukosa yang melapisi mulut, tenggorokan, dubur, kelamin, dan mata.
Gejala awal pada sindrom Stevens-Johnson meliputi:
- Ruam
- lepuh dalam mulut, mata, kuping, hidung atau alat kelamin
- bengkak pada kelopak mata, atau mata merah
- konjungtivitis (radang selaput yang melapisi permukaan dalam kelopak mata dan bola mata)
- demam terus-menerus atau gejala seperti flu.
Sindrom Stevens-Johnson tergolong kondisi yang jarang terjadi, dan muncul akibat reaksi tubuh terhadap obat atau infeksi. Penderita sindrom ini membutuhkan penanganan segera dengan menjalani rawat inap di rumah sakit, karena berpotensi menyebabkan kematian.
Sindrom Stevens-Johnson yang aku alami saat itu mengharuskan aku mendapat perawatan di rumah sakit sehingga membuat keluargaku mengetahui status HIV aku. Butuh 3 bulan lamanya untuk melakukan perawatan di rumah dan kunjungan rutin untuk konsultasi ke poliklinik. Saat itu aku harus bolak balik melakukan kunjungan rutin yang sangat melelahkan. Mulai dari kunjungan ke poli kulit hingga poli paru, dan ambil sampel darah.
Proses penyembuhanku terhadap sindrom Stevens-Johnson membuatku menghadapi diskriminasi dari keluarga, apalagi setelah mereka mengetahui status HIV yang aku miliki. Saat itu mereka tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang HIV.
Pernah suatu kali ibu sedang mengupas mangga dan aku bertanya, “Mak, kenapa piring Ito terpisah. Emangnya ngga kayak biasanya ya makan bareng-bareng?” Saat itu aku tidak diperbolehkan untuk makan bersama, dilarang untuk menggendong keponakanku, dan bentuk-bentuk larangan lainnya terkait stigma dan diskriminasi pada orang dengan HIV.
Namun perlakukan stigma dan diskriminasi yang aku terima dari keluargaku tidak berlangsung lama. Aku cukup beruntung karena dibantu oleh salah satu konselor HIV yang saat itu jumlahnya hanya sedikit di Jakarta. Konselor yang membantuku saat itu turut memberi penjelasan yang benar tentang orang yang hidup dengan HIV sehingga keluargaku menjadi lebih mengerti tentang ODHIV dan pada akhirnya memperlakukanku dengan normal kembali.
Saat ini aku aktif menjadi relawan di Yayasan Pesona Jakarta, sebuah yayasan yang berfokus pada kepedulian terhadap isu-isu HIV dan AIDS. Posisiku saat ini adalah sebagai koordinator lapangan wilayah Jakarta Utara. Hingga saat ini pun aku masih turut melakukan pendampingan terhadap beberapa orang dengan HIV.
Aku bersyukur karena hingga kini hasil tes viral load yang aku dapatkan selalu tidak terdeteksi dengan nilai CD4 di atas 800. Aku juga menjalani hidup dikelilingi oleh orang-orang yang sangat menyayangiku.