Photo by tirachardz from Freepik
Halo sahabat, perkenalkan namaku Aji (bukan nama asli). Aku seorang karyawan swasta berusia 25 tahun yang hidup dengan HIV (ODHIV) selama lebih dari satu setengah tahun. Saat ini aku sedang bekerja di sebuah perusahaan swasta di Jakarta Selatan. Alhamdulillah wa syukrulillah, kini hidupku menjadi lebih berkualitas setelah menjalani terapi Antiretroviral (ARV).
Perlahan, aku bangkit dari kesedihan dan mencoba untuk fokus melanjutkan hidup. Saat itu aku berusaha berpikir positif bahwa segala sesuatu pada hakikatnya adalah sebuah pembelajaran.
Baca Juga:
Awal mula sebelum aku mengenal ARV, tubuhku sering sekali merasa cepat lelah dan mengantuk saat sedang beraktivitas di siang hari. Aku juga sering berkeringat dingin tanpa sebab ketika tidur di malam hari yang membuat kualitas tidurku jauh dari kata layak. Dengan berbekal kesadaran mandiri dan sedikit keberanian, aku memutuskan untuk mengecek kesehatan ke Rumah Sakit terdekat.
Saat itu aku masih berprasangka baik pada diriku, “Ah, palingan ini sakit biasa, setelah berobat juga akan sembuh,” gumamku dalam hati sambil menunggu namaku dipanggil oleh suster ke ruang pemeriksaan. Setelah menunggu sekitar 1 jam, akhirnya aku masuk ke ruang pemeriksaan dan menceritakan keluhanku kepada dokter. Aku tersentak saat dokter mendiagnosis bahwa aku menderita salah satu Infeksi Menular Seksual (IMS) dan menyarankanku untuk segera melakukan tes HIV sambil merujuk ke poli kulit untuk mendapatkan penanganan pertama.
Dengan berat hati dan sedikit gelisah, aku pulang ke rumah. Aku langsung mencari di internet tentang apa saja gejala-gejala HIV yang biasa terjadi dan di mana aku bisa mengakses VCT. Aku kaget, dari informasi yang kutemukan di portal website, 80% gejala HIV sedang dan pernah kualami. Aku pun ingat, pada akhir tahun 2019 lalu, aku pernah melakukan kegiatan beresiko. Dari situ mentalku sangat jatuh. Aku sangat gelisah dan merenungkan apakah benar aku terinfeksi virus HIV? Jika memang benar, berapa bulan lagi sisa umurku? Apakah keluarga akan sangat marah jika aku memberitahukan hal ini? Apakah teman-temanku akan menjauhiku? Masih banyak pertanyaan-pertanyaan yang menghancurkan mentalku. Aku benar-benar terguncang saat itu. Tapi akhirnya, aku tetap memberanikan diri untuk tes HIV di puskesmas terdekat.
Sebelum melakukan tes, di sepanjang malam aku terus berdoa ke pada Tuhan untuk senantiasa menjauhkanku dari hal-hal buruk. Namun jika memang aku nantinya dinyatakan positif HIV, aku meminta kepada Tuhan untuk menguatkan hatiku, meneguhkan imanku, menjaga kesehatanku, dan mematikanku dalam keadaan husnul khatimah.
Aku melakukan pemeriksaan HIV pada pertengahan Januari. Setelah menunggu beberapa saat, dokter menyatakan bahwa aku ‘positif HIV’. Hancur rasanya saat mendengar kabar tersebut. Waktu terasa berhenti. Sesak sekali. Sampai di rumah, aku luapkan kesedihan di dalam kamar. Berjam-jam aku menangis sejadi-jadinya. Padahal aku pribadi yang susah untuk menangis.
Perlahan, aku bangkit dari kesedihan dan mencoba untuk fokus melanjutkan hidup. Saat itu aku berusaha berpikir positif bahwa segala sesuatu pada hakikatnya adalah sebuah pembelajaran. Aku ingin di sisa hidup ini dapat menjadi pribadi yang lebih baik, membanggakan orang tua, dan berguna bagi orang-orang sekitar. Aku percaya ini adalah bukti rahmat Tuhan kepadaku, karena aku tidak langsung dimatikan dalam keadaan menyedihkan melainkan masih diberi kesempatan untuk meminta maaf kepada orang tua, berbenah diri, dan yang paling penting masih bisa memperbaiki kualitas hidupku dengan ARV! Ya, ARV. Aku baru ingat untuk menceritakan tentang perjalananku mengakses ARV.
Sebelumnya aku berfikir bahwa ODHIV tidak akan memiliki umur panjang, mati dalam keadaan menderita, dan menjadi aib keluarga. Namun saat aku mulai ikhlas dengan status HIV ini, perlahan aku mulai berdamai dengan HIV di tubuhku, dan mulai sadar bahwa yang aku pikirkan itu sepenuhnya salah. Aku ODHIV, aku layak untuk hidup sama seperti orang normal pada umumnya.
Aku ingat betul, saat pertama kali memberitahukan statusku kepada keluarga. Orangtuaku sangat terpukul, terutama ibu. Namun bukannya marah, mereka justru merangkulku dengan pelukan yang sangat hangat. Hangat sekali. Di saat itulah aku sadar bahwa cinta dan kasih sayang kedua orangtua itu sepanjang masa dan tidak akan pernah pudar. Dari pelukan mereka, semangatku untuk hidup pun kembali berkobar.
Setelah aku mendapatkan suntikan semangat dari kedua orangtua, pelan-pelan mulai membuka statusku ke beberapa sahabat terdekat. Bukan maksud membongkar aib, tapi aku merasa dengan bercerita kepada orang yang tepat, beban di hati ini sedikitnya berkurang dan menjadi lebih ikhlas. Kamu tahu apa yang kudapatkan setelahnya? Ya, pelukan erat. Sederhana namun penuh makna. Aku bersyukur pada Tuhan karena diberikan lingkaran pertemanan yang positif hingga saat ini.
Akhir Januari 2020 aku resmi memulai terapi ARV. Pada awal memulai terapi, tubuhku sedikit mengalami kontraksi. Dua hari pertama, setiap bangun tidur, aku merasa layaknya orang mabuk. Lalu di hari ketiga hingga hari keenam, badanku dipenuhi ruam. Dokter memberi tahu bahwa ARV yang aku konsumsi sedang bekerja melawan virus ditubuhku. Setelah itu hingga detik ini, Alhamdulillah, aku tidak lagi mengalami gejala-gejala apapun.
Seiring berjalannya waktu, aku merasa hidupku semakin berkualitas. Tidurku menjadi lebih nyenyak, tenagaku pun kembali pulih. Dokter yang menanganiku sangat baik, semoga Tuhan membalas kebaikanmu, dok. Beliau sering mengajakku untuk mengikuti seminar HIV dan diperkenalkan dengan beberapa penyintas HIV lainnya. Kami pun saling berbagi kisah dan saling memberi dukungan. Suatu ketika ada salah seorang ODHIV yang mengajakku untuk bergabung dengannya di sebuah organisasi non-profit untuk menjadi relawan. Aku diberi kesempatan untuk bersama-sama mengedukasi masyarakat populasi berisiko perihal pentingnya menjaga diri dan mengajak mereka untuk berani melakukan tes HIV di layanan kesehatan.
Awal mula aku bergabung di organisasi ini aku cukup kesulitan karena harus menembus medan penjangkauan yang cukup berat. Hutan belantara, pelosok desa, sampai ke daerah di lereng gunung menjadi makanan keseharianku. Hingga sampai pada suatu ketika hatiku tergetar saat menjumpai sosok pemuda di pedalaman desa yang sudah mengalami infeksi oportunistik. Selain HIV positif, dia juga terinfeksi TBC dan diare akut. Melihat kondisinya yang menyedihkan dengan mata kepala sendiri membuat pilu. Aku pun akhirnya berbagi kisah dan menyemangati pemuda tersebut bahwa harapan untuk hidup itu masih ada, dan aku buktinya. Sampai pada akhirnya pemuda itu pun bersemangat kembali dan mau melanjutkan pengobatannya.
Sejak kejadian itu, aku merasa hidup menjadi lebih bermanfaat ketika aku bisa berbagi kisah dan memberikan semangat kepada mereka yang sempat hilang arah dan merasa tidak punya harapan. Aku selalu berharap kepada mereka (khususnya yang baru dinyatakan positif HIV) untuk bisa berdamai dengan status baru mereka, bahkan kalau bisa mereka tidak lagi merasa sebagai seorang ODHIV. Pesanku, tetap jalani hidup seperti biasa dan patuh menjalani terapi ARV. Tunjukkan kepada dunia bahwa ODHIV hanyalah diagnosa medis semata dan tidak akan merubah status kita sebagai seorang manusia seutuhnya. Kita masih bisa menggapai impian dan mimpi-mimpi kita tanpa ada batasan. YA, TANPA ADA BATASAN.
Sedikit tahadus bini’mah, saat ini aku sudah dinyatakan ‘undetected’ alias sudah tidak terdeteksi. Orangtuaku juga sepertinya lupa kalau aku adalah seorang ODHIV. Aku dikelilingi oleh orang-orang baik dan kesehatanku sangat prima seperti tidak terjadi apa-apa. Tidak bosan-bosan aku berharap teman-teman semua bisa tetap patuh konsumsi ARV. Jauhi hal-hal yang akan menjerumuskan kita kembali ke lubang yang sama, belajar dari kesalahan sebelumnya, and the last but not least stay cool and healthy! See you on top!
Warm Regards,
Your buddy