Photo by tirachardz from Freepik
Life is the art of drawing without an eraser, demikian kutipan John W.G. Hidup adalah seni menggambar tanpa penghapus. Semua tergantung kita, bukan? Tentang hidup kita ini. Apa yang ingin kita gambar? Apa yang akan kita goreskan? Ingin kita tulis seperti apa? Hanya satu hal yang harus kita ingat: apapun yang telah digambar tidak bisa dihapus. Bila sudah ‘telanjur’ kita gambar, coret, goreskan. Semua menjadi milik kita, dan bisa memengaruhi orang sekitar kita. Contoh paling dekat adalah memengaruhi pasangan, anak, maupun keluarga. Tentu tak elok bila kita menggambar semau kita jika tidak mempertimbangkan perasaan mereka.
Aku rasa kita harus terus menjaga agar isu tentang HIV dan AIDS ini tidak menjadi basi dan dilupakan banyak orang.
Baca Juga:
Tidak ada hidup yang seluruhnya manis, pun tak semua bagian kehidupan itu pahit. Tinggal bagaimana kita menjadikan pahit manis itu menjadi sebuah harmoni rasa. Menyajikannya dengan pernak-pernik menawan. Ini akan membuat kita semangat agar terus menjalani hidup dan kehidupan yang memang akan terus berlangsung bak film yang terus diputar.
Aku adalah seorang perempuan yang sejak 16 Juni 2011 telah dan sedang menjalani peran dari “Sang Sutradara” untuk berperan sebagai pribadi bernama Asti, perempuan dengan HIV yang tertular dari suami. Aku berani menjalani peranku. Aku berani menjawab ketika ada orang bertanya perihal status positif HIV yang kumiliki. Warga sekitar tempat tinggalku mengetahui kondisiku dan suami. Mereka tahu tanpa aku harus menggembar-gemborkan bahwa aku memiliki HIV. Aku tidak harus teriak tentang itu. Mereka tahu statusku mungkin karena sering melihat postingan-postinganku di media sosial, seperti Instagram, Facebook, dan kanal YouTube. Di akun sosial media milikku jelas terpampang nyata bahwa aku adalah orang dengan HIV atau ODHIV.
Ada sebuah peristiwa kecil yang makin memperjelas bahwa warga di sekitarku paham dengan status HIV yang aku dan suami miliki. Saat itu Ibu RT datang ke rumah mengantar seseorang dari Puskesmas yang sedang berkeliling untuk memeriksa kesehatan di lingkungan tempat tinggalku. Petugas Puskesmas itu hanya memeriksa kamar mandi dan membahas jentik nyamuk. Alhamdulilah bak kamar mandi baru saja dikuras dan disikat bersih. Lalu ada beberapa pertanyaan yang harus aku jawab tentang kondisi kesehatan. Percakapan yang paling aku ingat saat itu adalah ketika dia bertanya, “Pernah ada anggota keluarga yang terkena TB, Mbak Asti?” Saat itu aku menjawab pernah, yaitu Mas Anwar suamiku.
Suamiku didiagnosa TB (Tuberculosis) pada awal Juni 2011. Petugas Puskesmas itu lanjut bertanya, “Apakah sudah melakukan pemeriksaan secara keseluruhan? Aku menjawab, ya, tapi semua negatif TB. Kamudian ada pertanyaan, “Apakah sudah melakukan tes HIV?”, yang dengan cepat tanpa ragu aku menjawab, sudah. Ketika ditanya apa hasilnya, aku tersenyum sambil menjawab, alhamdulilah positif, namun lebih bersyukur lagi karena anak-anak negatif HIV.
Ketika itu Bu RT yang mendampingi petugas Puskesmas ikut mendengar jawababanku. Namun hingga saat ini tidak ada diskriminasi yang aku terima dari warga lingkungan tempat tinggalku. Tidak ada penggrebekan, pengusiran atau apa pun perlakuan diskriminatf karena stigmatisasi. Mas Anwar tetap diajak ngobrol sama Pak RT, diajak rapat pengurus RT, dan tetangga sekitar masih mencuci motor atau mobilnya ke Mas Anwar. Oh iya, suami aku membuka usaha jasa cuci motor dan mobil. Aku juga tetap biasa saja ngobrol dengan tetangga. Bahkan guru di sekolah anakku, ustadz anakku, dan orangtua teman anakku, mereka tidak mengubah sikap hanya karena status positif HIV aku dan suami. Ya, kami baik-baik saja tinggal bersama warga sekitar. Tanpa aku harus membuat acara seminar, sosialisasi bersama lembaga dalam isu HIV, dan acara formal lainnya.
Bagaimana bila ada masyarakat di wilayah lain yang masih melakukan stigmatisasi yang berujung diskriminasi? Diakui atau tidak, tindakan seperti itu masih ada dan masih terjadi. Apakah bijak bila kita menyalahkan masyarakat tersebut? Teori ayam dan telur bisa jadi awal diskusi. Lebih dulu mana ayam atau telur? Terlebih bagi yang giat di bidang seputar isu HIV dan AIDS. Sesekali aku merenung tentang hal ini. Sudah lebih dari tiga dekade isu HIV dan AIDS ada di Indonesia. Apa yang sudah kita lakukan selama ini? Sejauh ini memang banyak, mulai dari edukasi, sosialisasi, inovasi, hingga kolaborasi. Namun kadang aku berpikir, apakah usaha untuk mengedukasi dan melakukan sosialisasi terkait isu HIV dan AIDS itu sudah dilakukan secara masif di seluruh wilayah di Indonesia?
Aku rasa kita harus terus menjaga agar isu tentang HIV dan AIDS ini tidak menjadi basi dan dilupakan banyak orang. Aku sudah tidak lagi berada di dalam program HIV, tapi seperti ada dorongan dari dalam diriku untuk menjaga agar semua usaha edukasi dan sosialisasi terkait HID dan AIDS yang sudah dilakukan tersebut tidak menjadi basi. Biarpun sudah bukan bagian dari peer support atau pendukung sebaya yang bekerja dan digaji tiap bulan untuk melakukan pendampingan bagi orang dengan HIV dan AIDS, aku merasa perlu bersenang-senang dalam melakukan sosialisasi HIV, terutama untuk mengikis stigma dan diskriminasi.
Bersenang-senang? Iya. Tak ada ikatan dengan apa pun dan siapa pun. Tak ada bentuk tanggungjawab yang mengikat karena nanti akan terasa membebani. Aku menikmati aktifitas menulis tentang HIV berserta isu-isu yang terkait di platform media sosial milikku. Karena itu aku menganggapnya bersenang-senang dalam menyebarkan informasi tentang HIV.
Hal yang menyenangkan ini pun ada tantangan dan kendalanya. Terkadang ada yang sedikit sinis saat aku membahas tentang HIV di Facebook, misalnya. Seolah-olah aku kurang kerjaan dengan mengulas ARV atau antiretroviral, CD4 atau Cluster Differentitation 4 . Alih-alih menanggapi kenyinyiran orang, aku membuat tulisan lagi di media sosial untuk menjelaskan bahwa teman sosmed aku beragam, tidak hanya teman sebaya dalam komunitas dukungan sebaya/KDS saja. Ada teman sekolah, ada tetangga, ada mantan teman kerja, dan lain-lain. Intinya, aku terkoneksi dengan banyak orang dari berbagai latar belakang sosial masyarakat. Artinya mereka belum tentu sudah terpapar informasi HIV dan AIDS, seperti halnya teman di KDS dan teman yang giat di isu HIV dan AIDS.
Ada yang berpendapat bahwa aku menyebarkan aib diri sendiri. Apalagi saat aku menerbitkan buku dengan judul “Mashed Potatoes, Menikmati Hidup Tanpa Menyesalinya”. Aib kok diceritakan ke orang banyak, begitu kata mereka. Namun aku tidak pernah berpikir bahwa itu aib, sehingga aku tidak mempedulikan komtear miring mereka.
Aku juga pernah dianggap bersikap sok artis. Saat itu aku membalas kesinisan mereka dengan candaan, “Ya memang aku artis”. Ini terjadi karena aku mau difoto oleh siapa pun tanpa malu.
Menghadapi tantangan dan kendala tersebut membuatku banyak bersabar karena menulis itu sama seperti memasak, harus tekun dan sabar. Ibarat memasak, ketekunan dan kesabaran dalam mengolah masakan akan menghasilkan cita rasa yang lezat dan nikmat. Selain kesabaran, aku perlu memiliki kepercayaan diri yang tinggi dalam menyebarkan informasi terkait isu-isu HIV. Kalau rasa percaya diri lenyap, ya sudah, usaha apa pun terasa sulit.
Selain itu aku menghindari perasaan tertekan atau baperan. Jangan larut dalam rasa tertekan hanya karena omongan miring orang lain.
Dengan bekal sabar, percaya diri, dan tidak baperan, aku terus melanjutkan apa yang sudah kulakukan. Aku tidak berhenti membuat konten HIV dan AIDS di sosial media. Aku juga membuat variasi konten seperti videoku sedang menyanyi atau pun memperlihatkan aktivitas memasakku. Aku memperlihatkan kehidupan ODHIV yang sama menyenangkannya dengan orang yang tidak memiliki HIV. Semua aku lakukan dengan iklas dan siap menerima kritik apa pun, yang penting aku menikmati berproses dalam kehidupanku tanpa tekanan dari pihak mana pun.
Bisa disimpulkan bahwa aku berani bersenang-senang membahas isu HIV seperti halnya membahas hal-hal ringan. Seperti tak ubahnya aku menyanyi, memasak, apa pun hal yang menyenangkan. Katakanlah ini semacam makanan ringan sebagai makanan penutup. Namun aku memilih bahan-bahan memasaknya. Kopi, ladyfinger, bubuk cocoa, mascarpone, susu, dan voila!, Tiramisu ala Chef Asti Anwar. Karena pahit manis tentang HIV dan AIDS bisa menjadi harmoni indah dalam kehidupan.