Photo by Ba Phi from Pexels
Berawal pada tanggal 25 september 2020, aku didiagnosis terinfeksi HIV di RSUD Palagimata Kota Baubau Sulawesi Tenggara dan memulai pengobatan ARV pada 28 september 2020. Aku mulai merasakan gejala HIV di dalam tubuh sejak tahun 2019. Saat itu aku mengalami rambut rontok, ketombe pada kulit kepala yang tak kunjung hilang, nafsu makan menurun, berat badan turun drastis, gatal-gatal di seluruh tubuh, jamur pada rongga mulut dan masalah pada saluran pencernaan.
Kejadian-kejadian buruk yang kualami terkait status HIV yang aku miliki tidak membuatku menyerah. Insya allah ke depannya aku akan lebih memberanikan diri untuk membuka statusku sebagai ODHIV.
Baca Juga:
Saat itu tepat pada bulan september 2020 kakak iparku yang berkerja sebagai seorang perawat sudah curiga dengan kondisi tubuhku dan berpikir kalau aku terinfeksi HIV. Dia bekerja di UTD Kota Baubau dan menyarankan untuk melakukan tes HIV dengan cara mengambil sampel darah. Setelah pemeriksaan dilakukan, hasilnya adalah positif HIV.
Saat itu dia tidak menyampaikan secara langsung kalau aku positif HIV dengan alasan bukan wewenang dia. Aku yang awam tentang HIV mengikuti apa yg dia sampaikan. Kemudian dia mempertemukanku dengan KPA (Komisi Penanggulangan AIDS) terkait masalah ini.
Singkat cerita, aku dan kakak ipar bertemu dgn KPA di daerahku untuk membahas masalah ini. Aku diarahkan untuk melakukan tes konfirmasi di RSUD Palagimata Kota Baubau. Tepat tanggal 25 september 2020 aku melakukan tes HIV kembali dan setelah dikonfirmasi positif, aku mulai menjalankan pengobatan ARV pada tanggal 28 september 2020.
Tiga minggu setelah konsumsi ARV kondisi tubuhku menjadi turun drastis dan harus dirawat inap di rumah sakit selama 10 hari. Saat itu kondisi tubuhku sangat lemah yakni, aku memiliki jumlah CD4 95, HB darah hanya 3,4 dan berat badan 45 kg yang sebelumnya 120 kg.
Alhamdulillah aku bisa melalui masa kritis itu. Tentunya karena semangatku untuk tetap hidup dan produktif dan tidak terlepas dari pertolongan Allah. Saat itu aku belum memahami bagaimana cara mengonsumsi ARV yang benar. Dalam pikiranku saat itu, yang penting diminum.
Pada tanggal 12 Desember 2020 aku mendapat diskriminasi fisik dari salah satu kakak kandungku yang mengetahui kalau aku positif HIV. Katanya aku membuat malu keluarga karena menyebarluaskan penyakit ini ke semua orang. Kakak mengatakan kalau keluargaku sangat malu. Mereka sudah mengeluarkan biaya besar untuk pengobatanku dan aku seenaknya menyebarluaskan penyakit itu. Padahal aku tidak merasa melakukan itu.
Dengan rasa takut akan terjadi diskriminasi yang lebih dari itu dan didasari semangatku untuk tetap hidup dan produktif, aku mulai mencari info tentang komunitas ODHIV di indonesia.
Aku mencari tahu tentang komunitas HIV melalui mesin pencarian Google. Aku menemukan informasi kalau di Jogja ada yayasan yg menaungi para ODHIV bernama YAYASAN KEBAYA. Tepat tanggal 15 desember 2020 aku memberanikan diri pergi dari rumah dalam kondisi tubuh yang belum benar-benar pulih. Saat itu aku masih mengalami diare berat, gatal-gatal pada kulit dan bernanah di seluruh badan.
Aku nekat pergi dari rumah dalam kondisi seperti itu hanya demi mencari kesembuhan agar bisa hidup produktif lagi seperti sedia kala.
Pada tanggal 20 desember 2020, aku mendatangi Yayasan Kebaya. Saat itu aku menyampaikan keperluan dan keinginanku. Alhamdulillah saat itu aku langsung bertemu dengan pimpinan yayasan dan aku diterima di selter yayasan dengan rasa penuh hangat layaknya saudara.
Perjalananku dari kota Baubau ke Jogja hanya bermodalkan kenekatan dan dalam kondisi tubuh yang sakit. Aku harus menjual ponsel yang kumiliki hanya untuk ongkos berangkat ke sana dan melakukan perjalanan dengan kapal laut kapal laut sampai Surabaya. Perjalanan kemudian dilanjutkan melalui jalan darat ke Jogja menggunakan bus. Alhamdulillah Allah melindungi saya selama perjalanan.
Setelah berada di selter Yayasan Kebaya, aku didampingi oleh pendamping sebaya untuk pengobatan terkait HIV. Di yayasan ini aku belajar banyak ilmu tentang HIV, mulai dari disiplin ARV, bertanggung jawab dengan kondisi kita sebagai ODHIV, pelayanan akses ARV, informasi mengenai infeksi seksual menular, mengunjungi selter anak dengan HIV/AIDS (ADHA), dan lain sebagainya.
Namun selama di Jogja, aku mulai mengalami infeksi oportunistik yang muncul akibat HIV dan kecerobohan di masa lalu. Saat itu aku mengalami infeksi kondiloma pada penis, ambien, dan herpes di wajah. Aku juga didiagnosis menderita penyakit kusta dan hingga saat ini masih melakukan proses penyembuhan. Saat itu aku sempat kaget saat didiagnosis kusta karena penyakit ini juga masih tergolong penyakit yang mendapat diskriminasi tinggi oleh masyarakat karena kurangnya edukasi.
Pasrah dan rasa putus asa itu pasti ada. Namun edukasi dan motivasi dari rekan-rekan sebaya sangat bermanfaat mendorongku untuk tetap semangat.
Sampai saat ini, dengan ilmu yang aku dapatkan, aku bertekad menjadi ODHIV yang bertanggungjawab apabila aku diberikan kesempatan memiliki umur yang panjang. Aku ingin mengedukasi masyarakat tentang HIV khususnya di wilayah Indonesia bagian timur yang masih minim informasi terkait HIV dan masih memiliki stigma dan diskriminasi yang tinggi terhadap ODHIV. Kondisi seperti itu yang membuat banyak orang yang memiliki HIV tidak menyadari statusnya dan terlambat mendapat pengobatan sehingga berujung pada kematian di usia muda.
Satu cerita yang hampir terlewatkan, ternyata ketika aku berada di Jogja, ada salah satu teman di kampung halamanku yang menyampaikan berita bahwa status HIV yang aku miliki telah tersebar luas di sana. Bahkan orang-orang yang mengenalku yang berada di daerah-daerah sekitar kampung halamanku pun telah mengetahui statusku. Dulu aku seorang aktivis pramuka dan PMI sehingga aku cukup dikenal di kampung halamanku. Informasi tentang status HIV yang aku miliki tersebar dengan cepat dari mulut ke mulut.
Status HIV aku terungkap karena ulah salah satu rekan organisasi yang berujung diskriminasi fisik dari salah satu kakak kandungku itu. Sebenarnya aku ingin marah dan ingin melaporkannya. Tapi apalah daya, alih-alih menghabiskan energi untuk berkonflik, aku lebih memilih untuk memaafkan, walau sebenarnya berat dan sangat mengganggu pikiranku. Aku hanya pasrah saja dan bersiap menghadapi diskriminasi yang akan aku terima apabila suatu saat nanti aku kembali ke kampung halaman. Aku memilih untuk memaafkan dan berdoa semoga mereka bisa lebih paham akan hal ini. Selebihnya hanya menjalani keadaanku dengan berserah kepada Tuhan.
Namun, seiring berjalannya waktu, dengan tersebarnya informasi terkait kondisiku, ada hal baik yang aku dapatkan. Sudah ada delapan orang temanku yang menghubungiku untuk berkonsultasi terkait HIV. Mereka memilih berkonsultasi denganku karena mereka melihat aku mampu melalui hal-hal yang berat dan menyakitkan, baik itu fisik maupun psikis.
Aku mengambil sisi positif dari kondisi yang kumiliki. Aku memiliki keyakinan bahwa hidup ini pasti ada “pro dan kontra”. Kejadian-kejadian buruk yang kualami terkait status HIV yang aku miliki tidak membuatku menyerah. Insya allah ke depannya aku akan lebih memberanikan diri untuk membuka statusku sebagai ODHIV. Bukan hanya karena bangga sebagai ODHIV, namun lebih untuk mengedukasi kepada semua orang bahwa orang dengan HIV itu tidak selamanya adalah konsekuensi dari istilah tabur tuai yg dilakukan sebelumnya. Orang dengan HIV juga bisa dikategorikan sebagai korban minimnya informasi dan edukasi. Orang dengan HIV juga memiliki hak untuk tetap hidup produktif.
Tidak satu orang pun yang ingin memiliki HIV. Aku hanya ingin semua stigma dan diskriminasi dapat hilang. Itu lah harapan dan cita-citaku. Kami, orang yang hidup dengan HIV, juga berhak hidup selayaknya manusia yang lain. ODHIV juga punya kesempatan hidup yang sama dan bisa lebih produktif dalam menjalani hidup.