Photo by ijeab from Freepik – Gambar Hanya Sebagai Ilustrasi
Hari ini mungkin kita bisa tertawa, tetapi kita tidak akan tahu apa yang terjadi kemudian. Mungkin seperti itu yang aku rasakan pada saat itu. Aku baru saja merayakan hari ulang tahunku bersama keluarga, tetapi beberapa minggu kemudian aku merasa bahwa hidupku hancur.
Aku hanya bercerita mengenai status HIV yang aku miliki kepada teman-teman terdekatku, dan aku bersyukur mereka tidak menghakimiku tetapi malah memberi dukungan untuk tetap semangat.
Baca Juga:
Pada September 2017, aku mengalami demam tinggi dan berkeringat yang berlebih pada malam hari selama hampir dua minggu. Aku pikir aku hanya sakit biasa karena kelelahan setelah pulang dari kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Kota Balikpapan. Pertama kali aku didiagnosis sakit tifus oleh dokter di dekat rumahku, tepatnya di Kecamatan Tenggarong, Kutai Kartanegara, tetapi aku tidak kunjung sembuh. Akhirnya aku memutuskan untuk berobat ke dokter yang lain dan aku didiagnosis positif demam berdarah. Jus Jambu dan obat penurun demam yang diberi oleh dokter aku konsumsi sampai akhirnya aku sembuh.
Satu bulan sudah berlalu, aku kembali ke Kota Samarinda untuk memulai perkuliahanku. Selain kegiatan kuliah, biasanya aku menghabiskan waktu dengan berkumpul bersama teman kontrakan, teman kuliah, ataupun teman-teman dari komunitas. Ada sebuah Puskesmas Pembantu (Pusban) sekaligus rumah dinas perawat yang dijadikan tempat perkumpulan untuk teman-teman komunitas. Pusban itu memang di khususkan untuk pemeriksaan HIV dan IMS karena dekat dengan tempat prostitusi.
Setiap malam selalu ramai dengan orang-orang yang entah hanya ingin bersantai di sana atau pun mengajak temannya untuk melakukan pemeriksaan HIV. Aku juga termasuk yang cukup sering berkumpul di sana walaupun tidak setiap malam. Terkadang mereka juga saling bertukar informasi terkait HIV dan IMS sehingga sedikit banyak aku mengetahui cara penularan HIV dan IMS, pengobatannya, dan pencegahannya.
Sebelumnya aku sudah melakukan tes HIV pada bulan Januari 2017. Kemudian aku memutuskan untuk melakukan tes HIV lagi pada malam tanggal 6 Oktober 2017. Entah apa yang aku rasakan pada malam itu, aku hanya terdiam di kursi antara bingung atau syok karena melihat bahwa hasilnya reaktif. Seketika aku teringat demam dan keringat berlebih yang aku alami pada bulan sebelumnya yang memang merupakan gejalanya. Pada malam itu aku diarahkan ke Pendukung Sebaya untuk diberikan penguatan dan mereka juga menyarankan untuk melakukan penegakan status di rumah sakit.
Pada 9 Oktober 2017, aku ditemani dengan pendukung sebaya dan melakukan test HIV di rumah sakit. Pada saat itu aku sudah pasrah dan menerima kenyataan jika memang hasilnya tetap reaktif. Keesokan harinya aku kembali ke rumah sakit untuk membaca hasil pemeriksaan HIV kemarin, dan ya, hasilnya tetap reaktif. Dokter segera menyarankan aku untuk melakukan pemeriksaan fungsi hati dan fungsi ginjal sebelum memulai pengobatan antiretroviral (ARV). Pada saat itu pemeriksaan fungsi hati dan fungsi ginjal tidak di tanggung oleh BPJS, sehingga aku harus mengeluarkan biaya sebesar empat ratus ribu rupiah yang bagi anak kuliah dan anak rantau sepertiku cukup menguras isi dompet.
Singkat cerita, fungsi hati dan fungsi ginjalku memiliki kondisi yang normal sehingga aku bisa memulai pengobatan ARV. Aku diberi penjelasan oleh dokter terkait ARV yang akan aku konsumsi, mulai dari cara meminum, waktu meminumnya, efek samping dan lainnya. Aku mendapat ARV jenis Fixed Dose Combination (FDC) yang hanya dikonsumsi satu kali satu hari, dan aku memutuskan untuk meminumnya pada jam 10 malam.
Malam harinya aku kembali berkumpul di Pusban. Di sana aku banyak tertawa mendengar cerita dari teman-teman komunitas dan aku juga diberikan penguatan lagi oleh perawat untuk rutin mengonsumsi ARV. Tepat jam 10 malam aku meminum ARV untuk pertama kalinya, dan aku cukup kesulitan karena ukuran obat yang cukup besar. Tidak ada efek yang aku rasakan, hingga satu jam kemudian aku merasa di sekitarku seperti berputar. Aku berbaring untuk mengurangi rasa tidak nyaman, tetapi rasa itu tidak kunjung hilang.
Akhirnya aku diantar pulang karena aku tidak sanggup untuk membawa motor. Sepanjang jalan aku hanya memejamkan mata dan menyandarkan kepalaku di pundak temanku. Pada saat tiba di kontrakan dan membuka pintu, aku langsung berlari ke toilet karena merasa sangat mual dan akhirnya muntah-muntah. Selama satu minggu penuh aku merasakan efek samping yang tidak berhenti bahkan di siang hari. Hal ini membuatku susah berkonsentrasi selama kuliah. Akhirnya aku bisa menyesuaikan diri dengan efek samping yang dialami hingga saat ini walaupun intensitas waktunya tidak seperti awal-awal mengonsumsi ARV.
Aku hanya bercerita mengenai status HIV yang aku miliki kepada teman-teman terdekatku, dan aku bersyukur mereka tidak menghakimiku tetapi malah memberi dukungan untuk tetap semangat. Aku masih belum berani untuk membuka statusku kepada orangtua lantaran takut akan reaksi mereka. Bahkan pada saat aku harus melakukan operasi kondiloma akuminata di bulan April 2018, orang tuaku tidak mengetahui statusku. Ya, aku mengurus semuanya sendiri bahkan hampir tidak ada yang menjenguk sampai akhirnya teman satu kamarku menelepon karena aku tidak berkabar seharian. Setelah satu tahun lebih aku mengonsumsi ARV, aku baru memberanikan diri untuk membuka status HIV ke orangtuaku. Beliau sangat sedih dan mempertanyakan kenapa aku tidak bilang dari awal. Aku tidak menyangka bahwa beliau tidak marah karena mengetahui statusku, bahkan beliau sangat ingin mengetahui lebih jauh mengenai apa yang aku alami selama ini.
Satu tahun sudah berlalu. Aku menyelesaikan kuliah dengan gelar sarjana. Setelah menyelesaikan kuliah, aku ditawarkan oleh teman komunitas untuk mendaftar sebagai Pendukung Sebaya di KP Mahakam Plus. Dengan niat ingin membantu sesama teman, akhirnya aku mendaftar dan diterima pada 2019. Suka dan duka aku alami selama menjadi Pendukung Sebaya. Aku bertemu banyak teman baru dari berbagai usia, dan dari berbagai latar belakang. Mereka mengajariku untuk semakin menghargai hidup, untuk selalu bersyukur, dan untuk berusaha melakukan yang terbaik yang bisa kita lakukan. Sedih rasanya saat melihat bahwa tidak sedikit teman-teman yang sudah melakukan yang terbaik untuk bertahan hidup tapi pada akhirnya mereka meninggal dunia.
Hingga saat ini sudah tiga tahun lebih aku mengonsumsi ARV. Aku masih ingin memberikan penguatan kepada teman-teman bahwa ini bukan merupakan akhir, tapi merupakan awal dari kisah kita yang baru untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Walaupun kita hidup dengan HIV, tetapi kita masih bisa melakukan segala sesuatu seperti yang dilakukan oleh mereka yang tidak hidup dengan HIV. Kita memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai manusia. Saya Berani, Saya Sehat.