Photo by tzido from Freepik – Gambar Hanya Sebagai Ilustrasi
Namaku Thalassophile (bukan nama sebenarnya). Aku anak sulung berusia 22 tahun. Di usiaku yang masih muda, ada banyak perjalanan berliku dalam perjuangan melawan HIV di tubuhku. Ada begitu banyak banyak air mata, keringat, darah, dan usaha yang pasti sudah tak terhitung lagi jumlahnya. Melalui kisah ini aku berharap dapat memberi inspirasi dan makna bagi hidup orang lain serta tidak hanya betapa pentingnya mengetahui status kita sedini mungkin, tapi juga bagaimana kita bisa mencintai diri kita sendiri.
Aku mengalami pelecehan seksual pada kelas 4 SD. Karena hubungan yang tidak baik dengan orang tua, aku tidak bisa memberitahukan ini kepada mereka.
Baca Juga:
Selain terinfeksi HIV aku juga seorang LSL. Tidak mudah menjadi LSL di negara ini. Fakta bahwa aku ODHIV tak pelak membuat hidupku cukup berat. Apalagi sejak kecil aku tidak dekat dengan kedua orangtuaku karena dititipkan di rumah nenek, juga pada saat itu aku mempunyai adik perempuan berkebutuhan khusus (autisme), sehingga orang tuaku memilih fokus ke pengobatan adikku.
Aku mengalami pelecehan seksual pada kelas 4 SD. Karena hubungan yang tidak baik dengan orang tua, aku tidak bisa memberitahukan ini kepada mereka. Namun pasca pelecehan aku sadar bahwa aku seorang LSL dan aku kesadaran terhadap orientasi seksual ini semakin besar seiring bertambahnya usia. Saat memasuki bangku kuliah di semester pertama, aku memulai sebuah hubungan dengan seorang lelaki. Singkat cerita, orang tua mengetahuinya dan ayahku menentang habis-habisan sehingga membuat aku merasa putus asa dan ingin mengakhiri hidup. Sejak saat itu, ayah tidak lagi menganggap aku sebagai anaknya.
Sejak saat itu hari-hariku terasa hampa hingga akhirnya aku nekat untuk melakukan hubungan seksual di usia 19 tahun tanpa dibekali pendidikan seks yang cukup. Aku juga mulai kecanduan berhubungan seks untuk mengalihkanku dari rasa depresi. Tak heran dengan pola hidup seperti itu aku terinfeksi HIV.
Pada Juli 2019, aku sedang kuliah di semester 5, dan pada saat itu diwajibkan melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN). Sayangnya aku terpaksa vakum karena kondisi kesehatan saat itu terdapat kelenjar getah bening di leher yang membengkak. Ibuku yang sudah menerima orientasi seksualku menyarankan untuk melakukan pemeriksaan dan hasilnya dokter mendiagnosis aku terinfeksi virus Toxoplasma yang berasal dari kucing.
Karena aku memang memelihara kucing, aku tidak menduga bahwa itu merupakan gejala infeksi HIV. Seiring berjalannya waktu, kelenjar yang berada di leher, ketiak, dan panggul tidak kunjung mengecil sampai akhirnya aku mulai mempertanyakan apa yang sebenarnya terjadi pada tubuhku. Dari rentang waktu Juli 2019 hingga Februari 2020 aku merasakan tubuhku berubah menjadi mudah sakit, kehilangan nafsu makan dan sering mengalami demam. Apa mungkin aku terinfeksi HIV?
Aku mulai rajin melakukan riset soal virus Toxoplasma, apa penyebabnya dan bagaimana penyembuhannya. Di sebuah artikel aku menemukan bahwa orang yang berpotensi terkena toxo adalah mereka yang terinfeksi HIV. Aku juga melakukan riset soal HIV dan merasa lega karena pada saat itu aku menemukan banyak artikel yang mengatakan HIV sudah bisa dikendalikan melalui obat yang harus diminum seumur hidup.
Aku pun memberanikan diri untuk melakukan tes HIV dan mempersiapkan mentalku dan bertekad untuk berjuang hidup apapun hasilnya. Usai menerima hasil diagnosis positif HIV, perasaanku menjadi tak keruan dan aku pun langsung menghubungi sahabat-sahabatku. Saat memberikan hasil diagnosis, dokter juga menyarankan untuk melakukan tes Tuberkolosis (TBC). Meski demikian aku tak segera melakukan pengobatan antiretroviral (ARV) karena merasa harus berdamai dengan diriku sendiri dan pada saat itu orang tuaku tidak mengetahuinya karena mereka akan bersikap menghakimiku sehingga membuatku merasa frustrasi.
Aku menjalani hari-hari seperti biasa dan meminta para sahabat untuk bersikap biasa saja, “Tolong jangan kasihani gue, sebab gue bisa survive karena gue fighter sejak kecil,” tegasku pada mereka.
Pada saat itu aku menjadi orang yang masa bodoh lantaran konflik di rumah yang berkepanjangan, tugas kuliah, pekerjaan dan karena ayahku menggap aku adalah aib keluarga yang hanya dijadikan mesin ATM. Namun, ada saat di mana aku sedih mengapa hidupku tidak seberuntung anak-anak lainnya yang mendapat kasih sayang dari orangtua mereka.
Ada saat di mana aku benar-benar terpuruk di saat ayahku menggadaikan rumah kami tanpa sepengetahuan aku dan ibu, dan aku dipaksa untuk membayar semua cicilan rumah ke pihak bank, karena pada saat itu ayah tidak memiliki pekerjaan, bahkan ayah sampai meminta aku untuk memberikan semua gajiku kepada ayah. Saat itu aku juga harus berjuang menyelesaikan skripsiku. Namun karena masalah pribadi dan keluarga, aku merasa bingung mana yang harus diprioritaskan hingga aku lupa kalau aku terinfeksi virus yang tidak bisa dianggap spele.
Kembali Depresi
Aku kembali merasa depresi dan sayangnya kali ini para sahabat tidak bisa membantu karena mereka sedang bergumul menyelesaikan studi mereka. Saat itu aku memutuskan pergi dari rumah dan mencari hiburan melalui aplikasi kencan online. Saat itu datanglah seorang lelaki yang menawarkan cinta, tepat di saat aku merasa rapuh dan bisa dikatakan hampir gila. Lelaki tersebut menerima kondisiku sebagai ODHIV dan aku merasa mungkin dia orang yang tepat yang Tuhan kirimkan untuk mendukungku dan memberikan kasih sayang.
Aku tak menyangka bahwa hubungan itu membuatku semakin terpuruk karena lelaki tersebut hanya memanfaatkan keuanganku dan sering bersikap abbusive. Di saat aku ingin mengakhiri hubungan, dia selalu membuatku bersalah karena aku telah menularkan HIV kepada dirinya. Pada saat itu ayahku tidak melarangku bertemu ibu dan adikku karena aku memilih untuk meninggalkan rumah dan tidak mau membayar cicilan rumah. Namun aku memberanikan diri menghubungi ibuku dan memberitahu soal status HIV-ku.
Bersamaan dengan itu, ibu menggugat cerai ayahku karena ibuku sudah tidak tahan dengan kelakuan ayah. Fase baru dimulai dalam hidupku saat aku menjadi tulang punggung keluarga yang membiayai ibu dan adikku. Semakin banyak masalah yang kuhadapi membuatku mengesampingkan kondisi tubuhku. Sementara itu, butuh waktu lebih dari 1 tahun untuk bisa mengakhiri hubungan yang tidak sehat dengan pasanganku karena aku selalu dimanipulasi bahkan diancam oleh mantanku jika sampai aku mengakhiri hubungan kami.
Pada akhirnya aku mulai melakukan pengobatan. Aku merasa lega dan mulai menyayangi diriku sendiri usai memutuskan hubungan yang tidak sehat dengan mantanku dan fokus pada orang-orang yang aku sayangi. Aku juga bisa mewujudkan usaha di bidang brand clothing yang sudah aku rencanakan sejak 2019. Saat itu aku merasa semakin berkembang sebagai seorang manusia. Aku lebih banyak berpikir positif dan merasa lebih bahagia. Aku juga tidak takut mengungkapkan statusku sebagai ODHIV dan tak sungkan-sungkan mengedukasi orang-orang di sekitarku bahwa HIV bisa ditangani selama kamu patuh menjalani pengobatan. Aku juga memberikan edukasi tentang hubungan seks yang aman dan bagaimana mencintai diri sendiri. Aku ingin meningkatkan kesadaran kepada orang-orang di sekitarku untuk lebih peduli dengan kesehatan dan bersyukur atas hidup yang mereka jalani.
Cintai diri kalian karena itu adalah kunci kebahagiaan dan jika kalian berada di dalam sebuah hubungan yang tidak sehat, entah itu keluarga, pertemanan, atau hubungan apapun, segeralah ambil tindakan untuk melepaskan diri dari hubungan tersebut. Kalian semua sangat berarti dan kita semua berhak bahagia. Kita semua juga berhak untuk menjadi versi terbaik dalam hidup kita. Ingat, kalian tidak perlu menunggu hidup kalian tidak sulit lagi sebelum memilih untuk menjadi bahagia, dan cintai diri kalian sendiri.