Penulis: Mario Martins
Editor: Andriano Bobby
Poin-poin penting:
- Tuberkulosis (TB) adalah infeksi yang biasanya menyerang paru-paru.
- TB bisa menjadi sangat parah, terutama untuk orang yang hidup dengan HIV yang memiliki jumlah CD4 rendah.
- TB bisa diobati dan disembuhkan.
Perawatan yang lebih intensif diperlukan jika menggunakan pengobatan TB dan HIV pada waktu yang bersamaan. Beberapa obat anti-HIV dapat berinteraksi dengan obat anti-TB. Ada pilihan lain dari obat anti-HIV yang efektif yang dapat digunakan sebagai gantinya.
Baca Juga:
Tuberkulosis (TB) adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Biasanya memengaruhi paru-paru, tetapi dapat memengaruhi bagian tubuh lainnya, termasuk perut, tulang, dan sistem saraf. Ini adalah penyakit yang serius, namun bisa disembuhkan.
TB adalah penyebab penyakit dan kematian yang signifikan pada orang yang hidup dengan HIV di seluruh dunia. Di Inggris, TB adalah salah satu penyakit terkait AIDS yang paling umum. Meskipun kasus TB secara keseluruhan di Eropa telah menurun dalam beberapa tahun terakhir, kasus baru pada orang yang hidup dengan HIV meningkat antara tahun 2011 dan 2015.
TB disebabkan oleh bakteri yang disebut Mycobacterium tuberculosis (M.Tb). Penyakit ini dapat ditularkan ketika seseorang dengan TB di paru-parunya, batuk atau bersin, sehingga dapat menularkan bakteri dalam tetesan kecil.
Bakteri TB terkadang menyebabkan penyakit saat setelah terpapar. Tetapi biasanya, sistem kekebalan yang sehat dapat mencegah bakteri TB menyebabkan penyakit. Jika seseorang menjadi sakit karena TB, kondisi ini disebut TB aktif.
Biasanya TB tetap berada di paru-paru, tetapi tetap dikendalikan oleh sistem kekebalan, yang disebut dengan TB laten. Orang dengan TB laten tidak menular ke orang lain. Namun, bakteri di paru-paru dapat menyebabkan penyakit bertahun-tahun kemudian, dan ini disebut TB reaktivasi.
Orang yang hidup dengan HIV berisiko lebih besar menjadi sakit dengan TB saat pertama kali terpapar dengan bakteri tersebut. Jika mereka memiliki sistem kekebalan yang lemah, mereka lebih mungkin mengalami reaktivasi TB.
Gejala TB
TB paling sering menyerang paru-paru, menyebabkan gejala seperti:
- Batuk yang berlangsung selama lebih dari dua minggu (seringkali dengan dahak, yang bisa jadi mengandung darah)
- Kehilangan selera makan
- Penurunan berat badan
- Kelelahan
- Keringat malam
- Demam
- Bengkak di leher
- Sesak napas yang semakin memburuk dari waktu ke waktu.
Bakteri tersebut dapat menyebar ke bagian tubuh lain, menyebabkan gejala termasuk sakit kepala terus-menerus, nyeri, dan kekakuan pada persendian, kelenjar bengkak dalam waktu lama, kebingungan, dan sakit perut.
TB di bagian tubuh lain lebih sering terjadi pada orang dengan jumlah CD4 rendah. Tanpa pengobatan, TB berpotensi menyebabkan kematian. TB aktif dapat menyebabkan peningkatan viral load HIV yang besar pada orang yang tidak memakai pengobatan HIV, yang biasanya menurun lagi setelah TB diobati dengan benar.
Mencegah TB
Untuk orang HIV-negatif, ada vaksin hidup melawan TB yang dikenal dengan vaksin BCG. Ini hanya diberikan kepada orang di bawah 35 tahun, karena tidak bekerja dengan baik pada orang dewasa. Obat ini tidak boleh diberikan kepada orang yang hidup dengan HIV, karena ada kemungkinan kecil dapat menyebabkan penyakit mirip TB.
Tindakan sederhana, seperti membuka pintu dan jendela, dapat mengurangi risiko penularan TB. Meskipun TB menular, penyakit ini tidak menular seperti penyakit flu biasa. Seseorang yang berada di dekat penderita TB aktif dalam waktu lama yang memiliki kemungkinan risiko terinfeksi.
Orang-orang paling berisiko tertular TB adalah mereka yang berada dalam posisi yang berdekatan, terutama dalam kondisi ramai, dan jika mereka memiliki sistem kekebalan yang lemah. Sistem kekebalan yang lemah bisa disebabkan oleh jumlah CD4 yang rendah, tetapi bisa juga karena orang yang sangat muda atau sangat tua, atau yang memiliki kesehatan yang buruk karena alasan lain seperti penderita kanker, malnutrisi, termasuk pola makan yang buruk, atau penggunaan alkohol atau narkoba.
Penting untuk menghindari kontak dekat dengan orang yang mengidap TB aktif sampai mereka tidak menular. Jika seseorang merasa pernah terkena TB, dia harus segera menemui dokter secepat mungkin untuk konsultasi tindakan pengobatan yang tepat.
Tes Untuk TB
Ada beberapa cara untuk menguji TB. Jika seseorang memiliki gejala TB di paru-paru, dokter mungkin menganjurkan untuk melakukan rontgen dada dan sampel dahak untuk diperiksa di laboratorium. Jika tidak memiliki gejala, ada beberapa jenis tes yang dapat memeriksa TB laten. Salah satunya adalah tes kulit yang disebut tes PPD (atau tes Mantoux) dan hasil tes positif berarti kamu telah terkena TB.
Namun, beberapa orang yang hidup dengan HIV tidak merespon pada tes kulit seperti tes PPD, karena adanya kerusakan kekebalan. Jika sudah pernah mendapat imunisasi BCG terhadap TB, bisa jadi hasilnya positif saat melakukan tes PPD walaupun belum pernah terpapar TB.
Tes darah jenis baru yang lebih cepat dan lebih andal telah dikembangkan. Tes itu bernama interferon-gamma release assay (IGRA). Ini adalah tes yang direkomendasikan oleh pedoman British HIV Association (BHIVA) untuk orang yang hidup dengan HIV yang perlu dites untuk TB laten. Jika jumlah CD4 ODHIV di bawah 200, akan disarankan menjalani tes IGRA dan Mantoux.
Tes untuk TB di luar paru-paru dapat berupa tes darah dan urin, CT scan, dan biopsi.
Mengobati TB
Pedoman nasional pelayanan kedokteran Indonesia merekomendasikan penggunaan obat anti-TB isoniazid selama enam bulan. Perawatan pencegahan ini telah terbukti mengurangi risiko untuk berkembang menjadi tuberkulosis aktif selama 3 tahun ke depan. Memulai pengobatan ARV juga akan mengurangi kemungkinan TB diaktifkan kembali.
Semua orang yang hidup dengan HIV dan TB direkomendasikan agar memulai pengobatan HIV segera setelah TB mereka didiagnosis. Jika jumlah CD4 kurang dari 50, ODHIV akan memulai pengobatan untuk TB dan menunggu 8 sampai 12 minggu sebelum memulai pengobatan ARV. Ini dilakukan agar dapat mengurangi kemungkinan interaksi obat dan reaksi inflamasi mendadak terhadap keberadaan bakteri TB. Reaksi ini dapat disebabkan oleh bangkitnya sistem kekebalan setelah memulai pengobatan ARV.
TB aktif diobati dengan kombinasi antibiotik. Perawatan yang berhasil biasanya membutuhkan setidaknya enam bulan terapi, tanpa kehilangan dosis. Seperti pengobatan HIV, sangat penting bahwa pengobatan TB dikonsumsi sesuai resep. Perawatan yang direkomendasikan biasanya mencakup obat anti-TB rifampisin dan isoniazid.
Orang dengan TB seharusnya tidak berpotensi menularkan setelah dua minggu pengobatan. Tetapi penting untuk melanjutkan pengobatan sampai akhir masa pengobatan.
Seperti HIV, bakteri TB dapat berkembang mengalami resistansi terhadap obat, dan beberapa jenisnya resisten terhadap beberapa obat yang berbeda. Jenis ini dapat menyebabkan penyakit yang sangat serius yang disebut multidrug-resistant TB (MDR-TB), dan dapat ditularkan ke orang lain.
MDR-TB biasanya dapat berhasil diobati setelah mengidentifikasi obat mana yang masih ampuh terhadap bakteri penyebab TB. Beberapa jenis TB resistan tidak hanya terhadap obat lini pertama, tetapi juga terhadap banyak obat lini kedua. Ini disebut TB yang resistan terhadap obat secara luas, atau extensively drug-resistant TB (XDR-TB), dan banyak kasus yang terlihat sejauh ini terjadi pada orang yang hidup dengan HIV. Metode pencegahan normal dapat mengurangi risiko MDR-TB dan XDR-TB.
Perawatan yang lebih intensif diperlukan jika menggunakan pengobatan TB dan HIV pada waktu yang bersamaan. Beberapa obat anti-HIV dapat berinteraksi dengan obat anti-TB. Ada pilihan lain dari obat anti-HIV yang efektif yang dapat digunakan sebagai gantinya.
Seseorang yang menjalani pengobatan HIV ketika mengidap TB aktif dapat menyebabkan gejala yang disebut immune reconstitution inflammatory syndrome (IRIS), biasa disebut sindrom pemulihan kekebalan. Ini bisa membuat ODHIV menjadi sakit dan mengalami banyak gejala buruk dan dapat memengaruhi seseorang saat memulai pengobatan HIV.
Dokter terkadang merekomendasikan pelaksanaan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse). Istilah “DOTS” sendiri dapat diartikan sebagai pengawasan langsung menelan obat jangka pendek. Ini berarti pasien harus menjalani perawatan di rumah sakit atau di tempat lain di mana perawatan profesional kesehatan dilakukan untuk memastikan obat diminum pada waktu yang tepat sepanjang masa pengobatan agar dapat memberikan hasil yang efektif.