Photo by bowonpat from Freepik
Penulis: Sinta Tiara Rini
Editor: Andriano Bobby
Sandy (bukan nama sebenarnya), 33 tahun, didiagnosis HIV pada 26 Agustus 2019. Ia menikah dan memiliki satu anak perempuan berusia 4 tahun. Sandy mulai menerima pengobatan antiretroviral (ART) tiga hari setelah diagnosis untuk menekan virus di tubuhnya. Untuk perlindungan ganda, ia memakai kondom setiap kali berhubungan seks dengan istrinya. “Ketika putri kami lahir, saya masih negatif HIV,” kata Sandy di mana ia dan istri adalah pasangan serodiskordan.
PrEP telah disetujui oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) dengan merek Truvada pada tahun 2012.
Baca Juga:
Dokter menyarankan agar mereka dapat mulai merencanakan bayi lagi setelah status viral loadnya tidak terdeteksi. “Kami ingin punya anak kedua – mudah-mudahan laki-laki,” harapnya. “Kami akan berada di bawah pengawasan ketat dari dokter. Saya benar-benar tidak ingin mengambil risiko menginfeksi istri saya dan bayi kami.”
Sandy mengaku sudah mengetahui tentang PrEP, obat yang dapat mencegah orang yang HIV-negatif terkena virus bila dikonsumsi sesuai resep. Istrinya setuju untuk mengonsumsi PrEP jika disarankan oleh dokter, sebab dalam waktu dekat PrEP bisa didapatkan di Tanah Air.
PrEP telah disetujui oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) dengan merek Truvada pada tahun 2012. Negara-negara yang telah menyetujui PrEP pada 2018 termasuk Prancis, Korea Selatan, Australia, dan Kanada. Di Asia Tenggara, hanya Thailand yang membuat PrEP tersedia untuk umum, sejak 2017.
Dalam wawancara The Jakarta Post dengan Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan RI, Siti Nadia Tarmizi, membenarkan bahwa Indonesia berencana untuk memperkenalkan PrEP akhir tahun ini dalam sebuah proyek percontohan. Dengan dukungan dari Global Fund to Fight AIDS, Tuberculosis and Malaria, PrEP akan tersedia di Jakarta, Bandung di Jawa Barat, Semarang di Jawa Tengah, Surabaya di Jawa Timur, Yogyakarta, Denpasar dan Badung di Bali, dan Makassar di Sulawesi Selatan.
Global Fund akan menyediakan 25.000 botol PrEP dan menargetkan 7.000 penerima. Jumlah tersebut akan ditingkatkan secara berkala pada tahun 2022 dan 2023. Ini artinya, PrEP bisa didapatkan secara gratis dan mereka yang dianggap berisiko tinggi terinfeksi HIV seperti kelompkok LSL, transgender, wanita pekerja seks, pengguna narkoba suntikan dan pasangan serodiskordan, dianggap memenuhi syarat untuk mendapatkan PrEP.
Lain lagi dengan kisah Reynald, seorang manajer proyek berusia 24 tahun di Jakarta, yang didiagnosis terinfeksi HIV dua tahun lalu. Tiga bulan menjalani ART, ia mencoba mendapatkan PrEP untuk pasangannya saat itu. Klinik, bagaimanapun, memberi tahu Reynald bahwa akan sulit baginya untuk mendapatkan PrEP untuk pasangannya – yang membuatnya sangat kecewa.
“Mereka mengatakan kepada saya bahwa saya hanya dapat memesan PrEP dari dokter di Bali atau di Bangkok sehingga mereka dapat mengirimkannya ke Jakarta. Itu akan memakan waktu lama dan tidak murah. Mengapa orang dengan HIV yang ingin mengambil tindakan pencegahan untuk pasangannya diberi kesulitan?” keluhnya, menambahkan bahwa PrEP sulit ditemukan bahkan di kota-kota besar.
Saat ini, ada beberapa klinik di Jakarta dan Bali yang mengimpor PrEP dan membuatnya tersedia untuk dibeli setelah pemeriksaan kesehatan dan tes HIV. Namun, situs belanja online lokal ternyata juga menyediakan PrEP dengan merek Teno M, yang diimpor dari Thailand dan dibanderol seharga Rp 1,35 juta (US$93,11). Ini tentu sangat berisiko karena setiap obat yang beredar di Indonesia harus didaftarkan, karena kalau tidak didaftarkan akan merugikan konsumen.
PrEP, HIV dan Stigma
Bagus Prabowo dari UNAIDS mengatakan bahwa pengenalan PrEP sudah dimulai pada tahun 2017, tetapi dihentikan oleh stigma. “Stigma terhadap PrEP datang dari pejabat publik bahkan LSM,” katanya. Bagus mengatakan PrEP dapat bermanfaat bagi mereka yang berisiko tinggi terinfeksi HIV tetapi tidak dapat menggunakan kondom karena alasan tertentu, seperti pekerja seks.
Stigma terhadap program pencegahan HIV bukanlah hal baru di Indonesia. Pada 2012, Nafsiah Mboi, menteri kesehatan saat itu, menghadapi reaksi keras — kebanyakan dari kelompok agama— setelah dituduh mempromosikan penggunaan kondom di kalangan remaja. Pada tahun 2013, Nafsiah secara terbuka berdebat dengan anggota parlemen Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Wirianingsih setelah dia menyarankan bahwa pasien HIV dan AIDS tidak boleh dicakup oleh program kesehatan nasional dan malah “dihukum”. Nafsiah tidak sependapat dengan Wirianingsih, dengan alasan bahwa konstitusi menjamin perawatan kesehatan bagi semua warga negara Indonesia. Wirianingsih kemudian meminta maaf.
Menurut PBB, hanya 26 persen orang Indonesia yang hidup dengan HIV yang menerima ARV meskipun tersedia secara gratis. Proporsi orang Indonesia yang menerima ARV secara signifikan lebih rendah daripada cakupan global sebesar 87 persen.
Sementara Ayu Oktariani, aktivis Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI), sebuah organisasi yang mengadvokasi perempuan dengan HIV, berharap PrEP segera diperkenalkan di Indonesia. Dia mengungkapkan keprihatinannya bahwa PrEP masih dikaitkan dengan laki-laki gay saja. “PrEP sebagai pengobatan pencegahan HIV dapat bermanfaat bagi pasangan heteroseksual serodiskordan juga,” katanya.
Hendry Luis, Direktur Eksekutif Yayasan Bali Peduli mengatakan bahwa di Bali, orang asing biasanya lebih mengetahui PrEP daripada penduduk lokal. Meski demikian, ia tetap optimistis PrEP bisa diperkenalkan ke Indonesia. “Pandemi membuat banyak masyarakat Indonesia semakin sadar akan pentingnya pencegahan penyakit,” katanya.
Dr. Bagus dari UNAIDS mengakui bahwa kontroversi pasti akan muncul begitu PrEP resmi diperkenalkan. “Kita harus selalu siap dengan kontroversi. Namun, kami akan terus berjalan berdasarkan bukti ilmiah,” pungkasnya.
Sumber: Better late than never: Indonesia readies HIV prevention drug PrEP