Photo from freepik
Penulis: Sinta Tiara Rini
Editor: Andriano Bobby
Kelompok LGBT+ (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender) sejatinya berada pada risiko yang lebih besar untuk memiliki gangguan kesehatan mental. Hal ini disebabkan karena sebagai minoritas, kelompok LGBT+ kerap menghadapi pengalaman sulit, seperti diskriminasi karena seksualitas atau identitas gender mereka, yang berdampak pada kesehatan mental. Penelitian juga menunjukkan bahwa masalah kesehatan mental, seperti depresi dan kecemasan, lebih sering terjadi pada kelompok LGBT+.
Alasan mengapa ada tingkat masalah kesehatan mental yang lebih tinggi di antara kelompok LGBT+ itu sangat kompleks. Banyak pengalaman buruk yang dialami oleh kelompok LGBT+ seperti seperti stigma, prasangka, dan diskriminasi.
Baca Juga:
Meski demikian, menjadi bagian dari kelompok LGBT+ tidak berarti secara otomatis memiliki masalah kesehatan mental, tetapi lebih mungkin mengembangkan masalah tersebut. Dalam sebuah tinjauan studi tentang masalah kesehatan mental di kelompok LGBT+, ditemukan beberapa fakta berikut:
- Kelompok LGBT+ lebih berisiko melakukan perilaku bunuh diri dan melukai diri sendiri daripada kelompok non-LGBT+
- Pria gay dan biseksual memiliki kemungkinan 4 kali lebih besar untuk mencoba bunuh diri sepanjang hidup mereka daripada populasi lainnya
- Kelompok LGBT+ memiliki kemungkinan 1,5 kali lebih besar untuk mengalami depresi dan kecemasan dibandingkan dengan populasi lainnya
- 67% transgender pernah mengalami depresi sebelumnya, dan 46% di antara mereka berpikir untuk mengakhiri hidup mereka
- Lesbian dan perempuan biseksual memiliki tingkat pemikiran yang lebih tinggi untuk bunuh diri dan melukai diri sendiri, dibandingkan dengan perempuan pada umumnya.
- Dari semua kelompok identitas seksual, kelompok biseksual paling sering memiliki kesehatan masalah mental termasuk depresi, kecemasan, menyakiti diri sendiri, dan bunuh diri.
Alasan mengapa ada tingkat masalah kesehatan mental yang lebih tinggi di antara kelompok LGBT+ itu sangat kompleks. Banyak pengalaman buruk yang dialami oleh kelompok LGBT+ seperti seperti stigma, prasangka, dan diskriminasi.
Stigma dari layanan kesehatan
Para ahli kesehatan pada awalnya sempat mengira bahwa lesbian, gay, dan biseksual adalah penyakit mental. Dahulu homoseksualitas dipandang sebagai ‘bagian dari masalah’ dan dibutuhkan perawatan psikiatri. Namun pandangan ini berubah pada tahun 1990 ketika Badan Kesehatan Sedunia (WHO), menghapus homoseksualitas dari daftar penyakit mental.
Meski demikian, situasi yang dialami kelompok transeksual lebih kompleks karena mereka sempat dianggap menderita gangguan identitas gender. Belakangan istilah ‘gangguan identitas gender’ telah dihapus dari kategori kesehatan jiwa. Bagian baru tentang ‘ketidaksesuaian gender’ telah dimasukkan ke dalam ‘kondisi yang berkaitan dengan kesehatan seksual’. Hal ini tentu merupakan langkah positif bagi kelompok transeksual karena menjadi transeksual tidak lagi dikategorikan sebagai penyakit kesehatan mental.
Disforia gender
Disforia gender mengacu pada penderitaan yang dirasakan orang ketika jenis kelaminnya tidak sesuai dengan identitas gendernya. Ketika hal ini menyebabkan banyak kesusahan, ini dapat didefinisikan sebagai gangguan kesehatan jiwa. Tetapi ada kontroversi mengenai apakah disforia gender harus diklasifikasikan sebagai suatu gangguan kesehatan jiwa
Sebuah studi kesehatan mental transgender menunjukkan bahwa 88% transgender pernah mengalami depresi dan 84% berpikir untuk mengakhiri hidup mereka
Diskriminasi dan intimidasi
Pada tahun 2018, ada survei yang menunjukkan bahwa 40% dari 108.100 responden memiliki pengalaman negatif dalam 12 bulan sebelumnya karena mereka adalah bagian dari kelompok LGBT+. Jenis insiden yang paling umum adalah pelecehan verbal. Sebesar 91% dari kelompok LGBT+ tidak melaporkan insiden tersebut karena mereka merasa melaporkannya tidak ada gunanya atau sia-sia.
Kelompok transgender mengalami setidaknya dua kali atau lebih ancaman pelecehan maupun kekerasan fisik atau seksual dibandingkan dengan kelompok LGBT atau masyarakat umum lainnya secara keseluruhan. Kelompok transgender juga telah diserang secara fisik dan mengalami kejahatan rasial yang dapat meningkatkan risiko kesehatan mental mereka.
Ditemukan bahwa 69% orang LGBT+ yang menjadi korban kejahatan rasial, mengalami depresi dan 76% di antaranya melaporkan kecemasan yang terus berlanjut.
Diskriminasi dan intimidasi di tempat kerja
Karyawan LGBT+ lebih mungkin mengalami konflik dan pelecehan di tempat kerja dibandingkan dengan rekan heteroseksual dan cisgender mereka. Sebuah penelitian terhadap lebih dari 15.000 pekerja menemukan bahwa 40% karyawan dari kelompok LGB+ dan lebih dari 55% pekerja trans mengalami konflik di tempat kerja selama 12 bulan terakhir. Studi yang sama juga menemukan bahwa 16% pekerja LGB+ dan 18% dari karyawan trans merasa mental mereka tidak aman di tempat kerja.
Kemudian, 19% karyawan LGB pernah mengalami intimidasi verbal dari rekan kerja, pelanggan, atau pengguna layanan karena perilaku dan orientasi seksual mereka dalam lima tahun terakhir. Lalu, 15% karyawan LGB pernah mengalami homofobia, verbal bullying dari rekan-rekan mereka dalam lima tahun terakhir. Sementara 25% karyawan trans dipaksa menggunakan toilet yang tidak pantas di tempat kerja, atau tidak disediakan sama sekali, selama tahap awal transisi.
Karena itu penting untuk memberikan layanan dan dukungan kesehatan mental bagi kelompok LGBT+ di manapun mereka berada.
Sumber: LGBT+ mental health