Penulis: Sinta Tiara Rini
Editor: Andriano Bobby
Perempuan selalu bisa menjadi cahaya bagi sesamanya, seperti halnya Raden Ajeng Kartini yang menjadi ikon pemberdayaan kaum perempuan di Tanah Air. Pada tahun 1984, Ruth Coker Burks menjadi pelita bagi mereka yang hidup dengan HIV dan AIDS di Amerika Serikat.
Sistem kekebalan yang sehat dapat melawan banyak virus dan patogen berbahaya lainnya. Tetapi orang dengan HIV memiliki sistem kekebalan yang lemah yang membuat mereka rentan terhadap infeksi oportunistik tertentu.
Baca Juga:
Bermula ketika Burks menemukan pria muda yang sekarat karena menderita penyakit AIDS, ia kemudian menjadi pengasuh bagi ratusan orang yang sekarat di mana kebanyakan mereka adalah lelaki yang berhubungan seks dengan lelaki (LSL) dan telah ditinggalkan oleh keluarganya.
Ketika Ruth, yang saat itu berusia 26 tahun, mengetahui ada banyak pria muda yang dibiarkan mati sendirian dan bahkan seringkali tidak dijemput jenasahnya untuk dimakamkan, dia berpikir, “Siapa yang tahu akan datang suatu masa ketika orang tidak ingin menguburkan anak mereka?”
Selama sepuluh tahun ke depan, Burks memperkirakan bahwa dia telah membantu merawat lebih dari 1.000 orang yang sekarat karena AIDS dan bahkan menggali sendiri 40 kuburan untuk mereka di pemakaman keluarganya.
Suatu hari Burks sedang mengunjungi seorang teman di Rumah Sakit Universitas di Little Rock, Arkansas, Amerika Serikat, di mana Burks sudah cukup tahu tentang AIDS dan rasa takut akan penyakit itu tidak menghentikannya untuk menyelinap ke dalam ruangan perawatan.
Di dalam, dia menemukan seorang pemuda kurus yang sangat ingin melihat ibunya sebelum dia meninggal. Saat dia memberi tahu perawat, “Mereka tertawa. Mereka berkata, ‘Sayang, ibunya tidak akan datang. Dia sudah di sini enam minggu. Tidak ada yang datang.'” Burks lalu meyakinkan perawat untuk memberikan nomor ibunya dan dia mencoba menghubungi untuk terakhir kalinya, tetapi jelas ibunya tidak berniat datang untuk melihat putranya yang dia anggap sudah “tiada”.
Burks kemudian kembali ke kamar dan meraih tangannya. “Aku akhirnya tinggal bersamanya selama tiga belas jam sampai dia menghembuskan napas terakhirnya di dunia ini,” kenang Burks.
Karena keluarganya menolak untuk mengambil jenasahnya, Burks memutuskan untuk menguburkannya sendiri di pemakaman setempat di mana keluarganya memiliki sejumlah spot di sana. “Tidak ada yang menginginkannya,” katanya, “dan saya mengatakan kepadanya dalam 13 jam yang panjang itu bahwa saya akan membawanya ke pemakaman kecil saya yang indah, tempat ayah dan kakek nenek saya dimakamkan, dan mereka akan mengawasinya.”
Selama beberapa tahun berikutnya, Burks aktif merawat orang-orang dengan AIDS dan telah mengkremasi dan mengubur lebih dari 40 orang di mana kebanyakan mereka adalah LSL yang ditolak oleh keluarga mereka.
“Saya sendiri yang menggali lubang untuk menaruh abu mereka, dan saya akan mengadakan pemakaman sendiri. Saya tidak bisa mendapatkan pendeta atau pengkhotbah untuk melayani pemakaman mereka, dan saya mendapat kehormatan untuk menyerahkan mereka kembali kepada teman-teman mereka dan kepada Tuhan.”
Selama waktu epidemi AIDS yang menghancurkan komunitas LSL di seluruh Amerika Serikat, Burks mulai mendapatkan rujukan dari rumah sakit pedesaan dari seluruh negara bagian. Burks dijuluki sebagai “perempuan gila” yang tidak takut, dan menjadi tempat perawatan LSL yang sekarat karena AIDS. Berkali-kali Burks menjangkau orang tua mereka. Tetapi, dari 1.000 orang yang dia rawat, dia mengatakan bahwa hanya segelintir orang tua yang menerima anak-anak mereka yang sekarat.
Burks juga melihat bagaimana komunitas LSL saling mendukung untuk mengumpulkan dana guna membeli obat dan membayar sewa tempat tinggal.
Pada pertengahan 1990-an, perawatan yang lebih baik, pendidikan, dan penerimaan sosial membuat Burks berhenti merawat pasien secara pribadi. Upaya Burks, bagaimanapun, terungkap dalam beberapa tahun terakhir ketika kampanye crowdfunding berhasil mengumpulkan 75.000 USD untuk akhirnya memenuhi mimpinya membuat tugu peringatan bagi mereka yang ia makamkan, dengan kalimat yang tertera:
“Inilah yang terjadi. Pada tahun 1984, itu dimulai. Mereka terus datang dan datang. Dan mereka tahu bahwa mereka akan dikenang, dicintai dan diurus, dan bahwa seseorang akan mengucapkan kata-kata yang baik atas mereka ketika mereka meninggal.”
Sumber: Meet The Woman Who Cared For Hundreds of Abandoned Gay Men Dying of AIDS