Photo by KamranAydinov from freepik
Penulis: Sinta Tiara Rini
Editor: Andriano Bobby
John yang berusia dua puluh tujuh tahun telah hidup dengan rasa takut terinfeksi HIV, hampir sejak dia memulai aktivitas seksual. Sebagai anggota komunitas laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki (LSL) di Nigeria, John tahu dia berisiko terinfeksi HIV. “Saya aktif secara seksual, jadi saya tahu bahwa sangat penting untuk menggunakan kondom, tetapi terkadang khilaf,” akunya.
Proyek TMA berhasil menggunakan media sosial untuk menyampaikan pesan pencegahan HIV.
Baca Juga:
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan bahwa orang yang melakukan hubungan seks tanpa kondom dan banyak pasangan dan yang menyuntikkan obat-obatan terlarang berisiko lebih tinggi terhadap HIV dibandingkan populasi umum dan mengklasifikasikan mereka sebagai populasi kunci. Di Nigeria, populasi kunci berjumlah sekitar 1 persen dari populasi orang dewasa dan terhitung sekitar 23 persen dari diagnosis HIV baru. Laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki (LSL), perempuan pekerja seks, dan penasun atau pengguna narkoba suntik menjadi target dukungan karena risiko mereka lebih tinggi tertular HIV.
Didanai oleh United States Agency for International Development di bawah proyek Key Populations CARE 1, LSM setempat menerapkan Total Market Approach (TMA). Proyek TMA mendukung upaya pemerintah Nigeria untuk memperluas layanan HIV dengan mengusung kampanye media sosial Keep It Safe and Sweet (KISS) yang meningkatkan kesadaran dan mempromosikan penggunaan komoditas pencegahan HIV termasuk kondom, pelumas berbahan dasar air, obat antiretroviral untuk profilaksis pra pajanan (PrEP), dan skrining HIV mandiri (SHM) di antara populasi kunci di Nigeria.
Antara Maret dan September 2020, proyek ini menjangkau lebih dari 1.000 LSL dan perempuan pekerja seks dengan pesan pencegahan HIV melalui platform WhatsApp, Facebook, Twitter, dan Instagram khusus. John termasuk di antara mereka yang menerima pesan-pesan ini. “Saya telah mendengar tentang PrEP tetapi saya mengetahuinya sepenuhnya setelah saya bergabung dengan grup WhatsApp tertutup yang disiapkan untuk LSL oleh proyek TMA.”
Proyek TMA berhasil menggunakan media sosial untuk menyampaikan pesan pencegahan HIV. “Saya mulai menggunakan PrEP pada Juli 2020 setelah tes HIV dilakukan pada saya dan saya dinyatakan memenuhi syarat,” lanjutnya.
Selain John, kampanye KISS meyakinkan beberapa populasi kunci untuk mempelajari status HIV mereka sehingga mereka dapat mengetahui apakah mereka memenuhi syarat untuk PrEP. Ketersediaan tes mandiri sangat penting bagi populasi kunci yang takut akan stigma atau pelecehan oleh pihak berwenang sehingga mereka jarang melakukan tes HIV secara terbuka.
Seorang LSL di salah satu grup WhatsApp yang menggunakan alat skrining HIV mandiri di rumah berbagi pengalamannya dengan mentor grupnya dan berkata bahwa dia baru saja melakukan skrining HIV mandiri dengan hasil negatif, merasa bahagia dan segera ingin memulai PrEP.
Bagi John, dan banyak populasi kunci lainnya dalam proyek TMA, kesadaran tentang skrining HIV mandiri dan PrEP, telah menghilangkan ketakutan mereka terhadap HIV dan mengubah perilaku mereka menjadi lebih baik.
Sumber: HIV Self-testing Helps People Learn Status and Lower Risk