Photo from hakanaborneosejahtera.co.id
Penulis: Sinta Tiara Rini
Editor: Andriano Bobby
Meski peningkatan layanan HIV di seluruh dunia terus meningkat, stigma dan diskriminasi yang diterima oleh mereka yang hidup dengan HIV tetap menjadi hambatan besar untuk melakukan tes HIV. Badan kesehatan global yang berbasis di Jenewa, Unitaid, menemukan cara baru untuk mengatasi isu ini, termasuk melalui kampanye media massa yang inovatif.
Dalam salah satu episode “Shuga Babi”, Eslie, salah satu tokoh protagonis, melakukan skrining HIV mandiri di rumah dan merekam pengalamannya secara langsung di vlognya.
Baca Juga:
Salah satunya adalah MTV Shuga, tayangan populer yang telah membantu mengungkap masalah kesehatan seksual di kalangan anak muda di Afrika, yang menghadirkan alur cerita baru yang menangani realitas HIV sehari-hari, termasuk isu skrining HIV mandiri.
Dalam salah satu episode “Shuga Babi”, Eslie, salah satu tokoh protagonis, melakukan skrining HIV mandiri di rumah dan merekam pengalamannya secara langsung di vlognya.
“Beberapa bulan yang lalu, aku tidur dengan seseorang yang tidak menggunakan kondom dan aku melakukan skrining HIV mandiri,” katanya kepada pemirsa online-nya. “Hasilnya negatif. Setelah tiga bulan aku ingin dites lagi.”
Matéo, pria yang “tidur” dengannya, menonton video di ponselnya saat Eslie membagikan kisahnya menggunakan alat skrining HIV mandiri. Dua puluh menit kemudian, dia melihat hasil tesnya, dan tersenyum lega.
Skrining HIV mandiri adalah proses cepat di mana konsumen memberikan cairan oral atau darah. Dengan menggunakan alat tes yang tersedia dan dikerjakan sendiri, konsumen tinggal menunggu selama 20 menit dan kemudian menafsirkan hasilnya. Dua garis berarti tesnya reaktif, di mana orang tersebut memerlukan tes konfirmasi di layanan kesehatan; satu baris berarti kamu non reaktif.
Didukung dan didanai oleh Unitaid, di bawah Organisasi Kesehatan Dunia, dan diproduksi oleh MTV Staying Alive Foundation, alur cerita terbaru acara ini adalah bagian dari upaya kampanye yang lebih luas untuk mendorong lebih banyak skrining HIV mandiri di Afrika. Ini karena, menurut Unitaid, hanya sekitar 70 persen ODHIV yang mengetahui status mereka. “Banyak yang mungkin positif (HIV) tinggal jauh dari klinik dan juga ragu untuk memeriksa status mereka karena stigma yang melekat pada HIV,” kata Heather Ingold, manajer program di Unitaid.
Bersama dengan LSM Prancis Solthis, Unitaid menyediakan sekitar 500.000 alat skrining HIV mandiri di tiga negara di Afrika Barat: Pantai Gading, Mali dan Senegal. Unitaid percaya bahwa skrining HIV mandiri adalah titik awal untuk menjangkau ODHIV yang tidak terdiagnosis.
Skrining mandiri HIV pertama kali diusulkan pada 1980-an, namun sebagian negara miskin dan berkembang di Afrika dan di seluruh dunia, belum melakukan program tersebut. Pada saat itu, tidak ada alat uji pra-kualifikasi WHO yang tersedia untuk pengadaan alat skrining HIV mandiri, dan hanya dua negara yang memiliki kebijakan nasional skrining HIV mandiri. Kini, 88 negara telah mengadopsi kebijakan ini dengan 31 negara di antaranya telah mengembangkan alat skrining HIV mandiri. Pada November 2018, sebanyak 2,3 juta alat skrining HIV mandiri telah didistribusikan di Afrika Timur dan Selatan, yang meningkatkan tes HIV hingga 28 persen di antara orang-orang yang belum pernah dites sebelumnya.
Akibat kriminalisasi pada kelompok LSL (lelaki yang berhubungan seks dengan lelaki), pekerja seks dan pengguna narkoba suntik, kelompok-kelompok ini seringkali terlalu takut untuk pergi ke fasilitas kesehatan. Di luar kriminalisasi populasi kunci ini, mereka yang mungkin berisiko tetapi bukan bagian dari kelompok-kelompok ini, ragu-ragu untuk diuji karena takut dikaitkan dengan kelompok-kelompok tersebut. Oleh karena itu, krining HIV Mamndiri diharapkan dapat melawan epidemi HIV dan AIDS di seluruh dunia.
Unitaid juga telah bekerja sama dengan MTV Staying Alive Foundation baik di Afrika Selatan dan Pantai Gading dalam hal alat skrining HIV mandiri dan profilaksis pra-pajanan (PrEP), obat-obatan yang diminum oleh orang-orang yang berisiko HIV untuk mencegah penularan virus dari hubungan seks atau suntikan.
Memanfaatkan penggunaan saluran televisi gratis di benua itu serta penyebaran cepat media sosial seperti YouTube, kampanye ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran tentang bahaya perilaku seksual berisiko, yang dapat menyebabkan HIV. Sejak awal, serial televisi ini telah diterima dengan sangat baik, ditayangkan di 87 saluran televisi di seluruh dunia, menjangkau lebih dari 719 juta rumah tangga yang belum pernah terjadi sebelumnya baik di dalam maupun di luar Afrika.
Diluncurkan untuk pertama kalinya di Kenya pada tahun 2009, acara tersebut tidak hanya menyentuh isu HIV tetapi juga topik luas termasuk kekerasan berbasis gender, pemberdayaan perempuan, hak kesehatan seksual dan reproduksi, dan skrining HIV mandiri tentunya. Tak pelak, Shuga menjadi “edutainment” pertama di benua Afrika di mana keberhasilan pertunjukan dan jangkauan pendidikannya sebagian besar didasarkan pada fakta bahwa produser memperhitungkan konteks budaya dan sosial, melalui alur cerita yang terencana dengan baik.
Memerangi HIV di semua lini bukanlah tugas yang mudah, tetapi penelitian telah menemukan bahwa multimedia dan kampanye yang dipimpin komunitas berhasil melakukan tugasnya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Universitas Johns Hopkins pada tahun 2009 di Kenya misalnya, menunjukkan bahwa lebih dari 80 persen penonton telah mengubah persepsi dan praktik mereka setelah menonton Shuga.
Demikian pula pada tahun 2017, Bank Dunia menemukan bahwa pertunjukan memainkan peran penting dalam memerangi HIV dan kekerasan berbasis gender secara umum. Studi yang dilakukan di Nigeria menemukan bahwa orang muda yang menonton Shuga dua kali lebih mungkin untuk melakukan tes HIV dan IMS, infeksi klamidia turun 58 persen di antara perempuan dan bahwa penggunaan jenis media massa ini mendorong perubahan perilaku positif.
Sumber: Self-testing kits make strides in fight against HIV in Africa