Photo from hellosehat.com
Penulis: Sinta Tiara Rini
Editor: Andriano Bobby
Tahukah kamu bahwa ternyata interaksi antara agen penguat antiretroviral (booster) dan kortikosteroid dapat menyebabkan sindrom Cushing, menurut penelitian di Perancis yang diterbitkan dalam Journal of Antimicrobial Chemotherapy.
Sindrom Cushing adalah kumpulan gejala yang muncul akibat terlalu tingginya kadar hormon kortisol di dalam tubuh.
Baca Juga:
Sindrom Cushing adalah kumpulan gejala yang muncul akibat terlalu tingginya kadar hormon kortisol di dalam tubuh. Gejala-gejala ini dapat muncul mendadak atau bertahap, dan bisa semakin memburuk jika tidak ditangani.
Ya, hampir semua kasus sindrom Cushing yang diidentifikasi di antara orang dengan HIV (ODHIV) adalah karena interaksi obat antara zat penguat ritonavir atau cobicistat dan kortikosteroid. Sindrom Cushing terkadang muncul dua minggu usai meminum obat yang berinteraksi.
“Pemberian bersama rejimen booster dengan kortikosteroid harus dihindari,” seru para peneliti. “Jika ini tidak memungkinkan, terapi antiretroviral harus dialihkan ke rejimen yang tidak dikuatkan (non-booster) atau kortikosteroid harus diganti dengan yang lebih baik (yaitu bedometason dan hidrokortison).”
Interaksi potensial antara booster antiretroviral ritonavir dan kortikosteroid telah diketahui sejak 1999. Ritonavir, booster cobicistat dan kortikosteroid yang lebih baru semuanya dimetabolisme dengan menggunakan jalur CYP3A4 di hati. Hal ini dapat menyebabkan akumulasi steroid, supresi adrenal dan akhirnya sindrom Cushing, dengan gejala yang sering mencakup akumulasi lemak di dada, di sekitar perut dan di antara bahu, dan wajah bulat dan bengkak. Sindrom ini bisa berdampak serius jika tidak segera diobati.
Laure Peyro-Saint-Paul dan rekan peneliti menganalisis French Pharmacovigilance Database (FPVD) untuk mengidentifikasi kasus sindrom Cushing di antara ODHIV dan non-ODHIV, yang dilaporkan antara tahun 1996 (ketika ritonavir pertama kali disetujui) dan 2018. Mereka ingin mengetahui frekuensi interaksi antara penguat antiretroviral dan kortikosteroid yang mengarah pada perkembangan sindrom Cushing. Tujuan lainnya adalah untuk mengidentifikasi jenis kortikosteroid yang terlibat dalam interaksi dan tingkat keparahan sindrom Cushing.
Menurut para penliti, risiko interaksi obat-obat dengan kortikosteroid sering diremehkan karena kesalahpahaman akan risiko minimal ketika kortikosteroid diberikan melalui rute inhalasi, intra-artikular atau topikal.
Perlu kamu ketahui bahwa durasi rata-rata pemberian bersama obat yang berinteraksi dan timbulnya sindrom Cushing adalah sembilan bulan. Namun, kasus muncul setelah 14 hari pemakaian, artinya interaksi obat-obatan ini dapat terjadi setelah paparan singkat. Keseriusan sindrom Cushing yang terjadi tak lama setelah pemberian bersama kortikosteroid dan obat antiretroviral yang diberikan, dapat dijelaskan oleh besarnya interaksi obat-obat.
Kasus sindrom Cushing berdampak serius pada 86% ODHIV dibandingkan dengan 60% dari non-ODHIV. Sindrom ini lebih kecil kemungkinannya untuk sembuh pada ODHIV dibandingkan non-ODHIV yaitu 61% vs. 75%.
Para peneliti percaya bahwa temuan mereka sangat penting mengingat populasi ODHIV yang semakin berusia panjang. Ini juga berarti bahwa semakin banyak individu yang menggunakan beberapa jenis obat yang berbeda untuk mengobati berbagai kondisi medis. Selain itu, sejumlah besar orang dengan HIV adalah perokok – baik saat ini atau sebelumnya – dan karena itu mungkin memerlukan kortikosteroid inhalasi untuk mengobati penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) atau asma.