Photo by cookie_studio from freepik
Penulis: Sinta Tiara Rini
Editor: Andriano Bobby
Sebuah rekomendasi baru dari Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO tentang siapa yang harus menggunakan PrEP untuk mencegah HIV, tak dipungkiri menyebabkan kebingungan. Apalagi, persetujuan Truvada sebagai obat PrEP, atau profilaksis pra-pajanan, sempat memicu perdebatan sengit di Amerika Serikat (AS).
PrEP (pre-exposure prophylaxis) adalah obat yang membantu mengurangi risiko infeksi HIV dengan mencegah virus berkembang biak atau tumbuh di dalam tubuh.
Baca Juga:
PrEP telah direkomendasikan untuk semua lelaki yang berhubungan seks dengan lelaki (LSL). Bahkan, penggunaannya disarankan sebagai pilihan bagi LSL yang mungkin berisiko tinggi untuk terinfeksi HIV, serta kelompok lain dengan risiko sedang atau risiko tinggi. Mereka yang berisiko tinggi sering kali termasuk dalam “populasi kunci”, dan memiliki kemungkinan terinfeksi yang lebih tinggi dari rata-rata. Di sinilah garis pertempuran perlu diberi perhatian khusus jika komunitas global ingin mengakhiri penyebaran virus tersebut.
Populasi kunci termasuk LSL (yang kemungkinan 19 kali terinfeksi HIV daripada populasi umum), pekerja seks perempuan (14 kali lebih mungkin), perempuan transgender, dan mereka yang menyuntikkan narkoba (keduanya 50 kali lebih mungkin). Tetapi tidak semua orang dalam kelompok ini, terutama lelaki gay dan perempuan transgender, akan dianggap berisiko.
PrEP, Tidak untuk Semua Orang
Meski PrEP sangat penting untuk mencegah penyebaran HIV, ternyata PrEP tidak untuk semua orang. Lelaki yang tidak pernah melakukan seks anal mungkin tidak membutuhkan PrEP, begitu pula mereka yang selalu konsisten dan menggunakan kondom dengan benar mungkin juga tidak membutuhkannya.
Tetapi mereka yang sering melakukan seks anal dan tidak menggunakan kondom, terutama pasangan yang reseptif, harus sangat mempertimbangkan mengonsumsi PrEP. Mereka juga harus rela minum pil setiap hari, sesuai petunjuk. Sebuah resep mengharuskan menemui dokter secara teratur, biasanya setiap tiga bulan tetapi kadang-kadang sebulan sekali, untuk tes HIV dan obat-obatan yang diisi ulang.
Dr. Otto Yang, seorang profesor di divisi penyakit menular di Geffen School of Medicine di University of California, Los Angeles, AS,mengatakan bahwa memutuskan apakah akan menggunakan PrEP atau tidak perlu melibatkan analisis risiko-manfaat, seperti halnya setiap keputusan dalam kedokteran. Apalagi PrEP memang membawa risiko efek samping, walau pun sangat kecil, seperti gagal ginjal.
“Pada sisi yang ekstrem, PrEP sebaiknya tidak digunakan seseorang yang tidak terpapar, atau sangat jarang terpapar, dan selalu menggunakan kondom. Di sisi ekstrem lainnya adalah orang yang memiliki banyak paparan yang tidak terlindungi, tapi dapat diandalkan untuk menggunakan PrEP dengan benar, di sinilah PrEP akan mendapatkan manfaat yang paling besar,” demikian penjelasan Dr. Otto Yang.
Ada juga perdebatan besar mengenai apakah penggunaan PrEP dapat menyebabkan jenis virus yang resistan terhadap obat. Alasannya adalah karena resistensi telah muncul pada orang yang sudah terinfeksi HIV yang menggunakan PrEP tanpa mengetahui bahwa mereka terinfeksi.
Resistensi juga dapat terjadi jika obat tidak diminum secara teratur, dan uji klinis menunjukkan bahwa banyak orang meminum obat secara tidak teratur. Itulah mengapa kunjungan dokter rutin dimaksudkan untuk mendorong pasien untuk tetap berdisiplin. Isi ulang obat bergantung pada tes HIV yang terus berlanjut, dan pasien yang memakai PrEP perlu dites HIV empat kali setahun.
Sumber: PrEP ‘Not for Everyone’